Prolog

3K 180 58
                                    

ILUKA ADIRA duduk meringkuk di sudut halte. Ia sekarat; tinggal menghitung waktu sampai ajal datang menjemputnya. Dan seperti manusia yang berada di persimpangan kematian pada umumnya, Iluka tak henti memanggil Tuhan dengan suara lirih.

Napas dan matanya memberat. Lekas meremat dada seraya meraup oksigen sebanyak paru-parunya mampu menampung-meski lagi-lagi yang bisa terhirup hanya sedikit.

"Sakit ...."

Tubuhnya nyaris mati rasa. Pukulan dan tendangan yang para pria berwajah garang layangkan tidak main-main kerasnya. Padahal, Iluka tiada beda dengan anak berusia sembilan tahun lainnya yang tidak bisa menoleransi rasa sakit mahadahsyat macam ini.

Sensasi mati rasa yang mendera beberapa menit lalu terganti panas, ngilu, dan nyeri yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Jangankan untuk berdiri, sekadar mengangkat satu lengan saja Iluka tidak bisa. Seakan tulang-belulangnya berpindah tempat dan persendiannya tidak berfungsi lagi-saking sakitnya setiap inchi bagian tubuh.

Iluka menghela napas berat. Tubuhnya yang dipenuhi lebam bergetar hebat, giginya bergemelatuk disertai wajah yang kian memucat. Ia mengeratkan pelukan pada lutut, mencoba menghalau angin yang terus menampar permukaan kulit-membuat rasa nyeri semakin menjadi.

"Dingin ...."

Usaha Iluka sia-sia. Rasa dingin yang menusuk kulit dari berbagai penjuru tetap Iluka rasa.

"Aku pengen 'pulang'."

Bagi anak sekecil Iluka, hidup tanpa didampingi orang dewasa sangatlah menyiksa. Ditambah kekerasan yang Iluka dapat kian menambah penderitaanan.

Iluka sudah tidak sanggup menjalani hidup seorang diri lagi. Lagi pula, di dunia ini tidak ada tempat baginya. Iluka juga tidak ingin hidup berkelana tanpa tujuan dan tanpa ada seorang pun yang mengharapkan kehadirannya seperti ini. Jadi, bolehkah Iluka menyusul sang ibu-satu-satunya rumah yang ia punya-saja?

Mata Iluka menatap langit yang perlahan berubah dari biru ke oranye hingga merah dengan sayu. "Kata mamah, orang bisa mati karena kedinginan, 'kan?" Iluka berpikir sejenak, lantas melanjutkan, "Hm? Mati karena itu bukan hal buruk."

Kemudian, kala langit sepenuhnya gelap, rintik hujan mulai berjatuhan hingga semakin lama semakin deras, dan ketika kesadaran Iluka semakin menipis, ketukan sepatu dan benda yang bergesekan dengan aspal terdengar mendekat.

Iluka memilih abai. Namun, tatkala sepasang kaki beralas sandal jepit berhenti dua meter di hadapan, Iluka mendongak. Menatap anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahunan dengan tubuh basah kuyup serta noda merah-di kaos putih polosnya-yang perlahan memudar terkena hujan.

Bocah itu, Iluka pernah bertemu beberapa kali. "Elio?"

Elio tersenyum cerah. Tongkat baseball yang sedari tadi ia seret, dilempar sembarang arah. Setelahnya menatap wajah pucat Iluka yang terdapat lebam di ujung bibir penuh minat. Lalu, dengan senyum yang masih terpatri apik, mengulurkan tangan yang disambut kernyit heran dari Iluka.

"Ayok, balas dendam! Kamu gak perlu takut. Aku bakal lindungi kamu dengan nyawaku. Gak bakal ada yang bisa nyakitin kamu. Siapa pun itu gak bakal bisa. Jadi, ayok, balas mereka semua!"

Iluka sama sekali tidak paham. Namun, melihat senyum mempesona Elio membuat Iluka tersihir dan tanpa sadar menerima uluran tangan tersebut. Tanpa tau bila lelaki yang berbeda satu tahun darinya itu menatap Iluka dengan tatapan mengerikan layaknya menemukan 'barang' paling langka. Seakan mengatakan bila apa pun yang terjadi, 'sesuatu yang langka' itu harus menjadi miliknya.

"Orang yang mukul kamu sampai luka kayak gini." Elio menunjuk luka di sudut bibir Iluka dengan tangan kirinya yang bebas. "Kamu ... pengen mereka gimana?"

Iluka berkedip dan menjawab lugu, "Mereka orang jahat dan orang jahat harus dihukum."

"Dihukum?" Elio mengulang, tak lama mengangguk seraya menjawab, "Mereka bakalan aku hukum." Wajah Elio dipenuhi rona bahagia kala mengatakan itu. Diikuti kedua mata yang berbinar cerah setelahnya.

Ah, ternyata Elio masih belum pandai menyembunyikan perasaan ini; perasaan di mana dadanya meletup penuh kebahagiaan; perasaan ketika jantungnya berdebar cepat.

Elio melepaskan tautan tangan dengan Iluka, setelahnya membalikkan badan dan berjongkok. "Ayo, naik dan ikut aku pulang! Bunda pasti seneng kalau tau aku bantu orang tanpa perlu disuruh."

Iluka menatap Elio lekat. Lelaki itu ... datang pada Iluka layaknya malaikat. Apa mungkin ... Tuhan mendengar doa Iluka, lalu dengan kemurahan hati mengirim Elio sebagai penyelamat hidupnya? Bila begitu, tidak apa-apa, 'kan, Iluka ikut? Meski sejujurnya tidak ada alasan bagi Iluka untuk menolak. Toh, daripada bertemu orang jahat, lebih baik ikut Elio saja, 'kan?

Iluka berdiri. Sontak meringis kala merasa nyeri di pergelangan kaki. Terlanjur sakit, Iluka memaksa kakinya melangkah maju, kemudian mengalungkan tangan pada leher Elio. Tak lama setelahnya, Elio berdiri dan membawa Iluka berjalan di bawah hujan.

"I-lu-ka ...," gumam Elio seraya menyeringai puas.

Mulai detik ini, Iluka miliknya. Elio tidak akan membiarkan Iluka meninggalkan dan tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya. Sebab sampai kapan pun, Iluka hanya miliknya. Iluka hanya milik Elio seorang.

____________________________________________
10 September 2023

A/n

Halo! Selamat datang di cerita baruku! Jika suka, jangan lupa tekan bintang di sudut kiri bawah. Jangan lupa juga buat masukin ke reading list-nya. Anyway, cerita ini masih banyak kekurangan. Jadi, jangan sungkan buat ngasih kritik beserta saran. Karena aku akan sangat terbantu dengan itu. Terima kasih 💜💜💜

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang