Chapter 21: Pertemuan Pertama

402 43 1
                                    

Beberapa jam sebelum Iluka datang ke kediaman Pratama.

Hotel Heaven.

Hotel mewah bertingkat empat puluh tiga dan memiliki lebih dari enam ratus kamar. Salah satu hotel bintang lima dengan keamanan tinggi yang terkenal dalam negeri. Hanya orang-orang yang memiliki kekayaan melimpah saja yang mampu menyewa kamar saking mahalnya harga sewa permalam. Meski begitu, kamar hotel senantiasa terisi penuh setiap harinya.

Selain itu, ada alasan mengapa orang-orang rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk menghabiskan satu malam di hotel ini. Alasannya sendiri adalah karena setiap tamu memiliki akses terbatas ke lantai mereka dengan kartu kunci elektronik yang dikodekan; elevator juga hanya akan berfungsi jika tamu memiliki kartu kunci yang sesuai.

Singkatnya, keamanan pribadi yang sangat tinggi membuat para tamu nyaman untuk melakukan 'kesenangannya'. Mereka jadi tidak perlu merasa cemas atau takut bila para reporter tiba-tiba muncul di depan kamar dan 'menggerebek' kamar mereka karena keamanan hotel yang tinggi.

Selain itu, Hotel Heaven dilengkapi dengan tim keamanan profesional yang siap setiap waktu untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan para tamu. Seluruh area umum dan lobi hotel pun dipantau oleh kamera CCTV untuk mengawasi aktivitas secara konstan. Dengan keamanan yang begitu tinggi, tidak heran bila Hotel Heaven menjadi salah satu hotel paling mahal dalam negeri.

"Gue ragu bisa nerobos masuk." Iluka mencebik kesal. Ia mengembuskan napas kasar, lantas berjongkok sembari mengacak rambut sebal. Iluka mendongak, menatap dua penjaga gerbang bertubuh kekar yang tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri—di masing-masing sisi gerbang—sedari tadi. "Kenapa si brengsek itu bikin hotel yang kayak gini, sih? Nyusahin banget," gerutu Iluka dengan kedongkolan yang semakin menjadi.

Menyadari ketidakmampuannya, Iluka memilih mengganti rencana. Ia memutuskan untuk menunggu si pemilik hotel di sini—di pinggir jalan raya yang gelap—dibanding mencoba menerobos masuk dan mendapatkan hasil yang sudah bisa dia tebak bagaimana akhirnya.

Iluka menyipitkan mata, lantas menyapu pandang. Keadaan jalan dua arah ini sepi. Apalagi sejak jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka sebelas setengah jam yang lalu, nyaris tidak ada satu pun mobil yang lewat. Selain itu, tempat Iluka berjongkok saat ini cukup gelap serta lumayan jauh dari gerbang masuk hotel.

Iluka kembali mengedarkan pandang, menatap rimbunan pohon di setiap sisi jalan, lantas mengusap tengkuk seraya berbisik, "Selain gelap, di sini sedikit horor." Meski begitu, tempat ini sangat cocok bagi Iluka. Ia jadi tidak perlu khawatir bila akan ada saksi mata nantinya.

Tak berapa lama, Iluka melihat mobil sedan hitam keluar dari area hotel. Lekas berdiri, mengambil ancang-ancang, kemudian berlari, dan melompat ke arah jalanan. Iluka sengaja menabrakkan diri pada bagian bumper depan mobil hitam keluaran terbaru yang melaju pelan membelah jalanan untuk menjalankan rencananya. Ia berguling di aspal beberapa kali, lantas meraung nyeri. Membuat si pengemudi—Ardhani—keluar dengan wajah panik.

"Kamu tidak apa-apa?" Pria awal empat puluhan bertanya panik, setelahnya memukul kepala sendiri. "Ah, ini pertanyaan bodoh. Jelas kamu sedang kesakitan."

Dia berjongkok. Membantu Iluka duduk dan berkata, "Ayok, masuk ke mobil saya! Biar saya bawa kamu ke rumah sakit. Saya minta maaf karena sudah menabrak kamu. Untung saja tadi saya menjalankan mobilnya pelan. Kalau tidak, kamu akan mendapatkan luka lebih dari ini."

Iluka meringis. Menatap luka gores yang diakibatkan gesekan dengan aspal barusan di lutut serta siku. Ia mengangguk, menyetujui ucapan Ardhani. Turut mensyukuri mobil yang melaju pelan. Bila tidak, mana mungkin Iluka berani meloncat ke depan mobil itu, 'kan? Sebab nyawa Iluka terlalu berharga untuk dikorbankan begitu saja.

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang