Chapter 8: Lo Sampah

605 61 6
                                    

"Mah, kenapa Iluka gak punya ayah?"

Iluka ingat. Kala itu, sepulang dari taman kanak-kanak, Iluka bertanya pada sang ibu yang sedang menyetrika pakaian milik pelanggan. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu terdiam, setelahnya mengangkat Iluka dan menaruhnya di pangkuan.

Inggrid menarik seulas senyuman hangat. "Kenapa Iluka nanya itu?" Untuk sesaat, sorot matanya terlihat hampa. Iluka bukannya tidak sadar, tapi rasa penasaran terlanjur menggunung. Maka dari itu, Iluka mengabaikan keanehan dari sang ibu dan menceritakan kejadian di sekolah ketika teman-temannya dijemput oleh orangtua lengkap.

"Iluka enggak iri." Ia menjelaskan. Takut sang ibu salah paham. Ia memiringkan kepalanya, lalu melanjutkan, "Iluka cuma penasaran kenapa gak punya ayah."

"Iya, Mamah paham." Inggrid tersenyum geli. Tak lama, wajahnya berubah murung. Ia mengelus kepala Iluka penuh sayang, kemudian bertanya, "Apa Mamah aja gak cukup?"

Iluka panik. Bukan itu maksudnya. Sungguh. Lekas melambai dan menjawab, "Enggak! Yang Iluka butuhin cuma Mamah. Iluka gak butuh ayah. Beneran!"

Inggrid kembali tersenyum. Ia memeluk tubuh kecil Iluka, lantas membalas, "Yang Mamah butuhin juga cuma kamu. Selama ada kamu, Mamah gak butuh yang lain."

Perbincangan pun terhenti sampai di sana. Inggrid meminta sang putri untuk segera mengganti pakaian dan tidur siang, sedangkan dia melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Kemudian, pada malam harinya, ketika Iluka kecil terbangun musabab ingin pergi ke kamar mandi, Iluka mendapati sang ibu menangis di ruang tamu seraya menatap sebuah foto kusam berisikan gambar seorang pria dengan latar taman hiburan. Iluka tau siapa itu, ibunya pernah memberi tahu sekilas jika pria yang ada dalam foto adalah ayahnya.

Iluka menatap punggung sang ibu yang bergetar, sedangkan isak tangis yang terdengar membuat mata Iluka berkaca-kaca. Sungguh, Iluka tak kuasa melihat Inggrid menangis seperti itu. Dadanya terasa sesak. Tidak lama setelahnya, air mata yang dibendung mengucur deras. Iluka turut menangis tanpa sepengetahuan sang ibu.

Iluka sakit. Ia menyalahkan diri sebab bertanya sesuatu yang membuat ibunya bersedih. Iluka kembali ke kasur dengan air mata yang tak henti menetes, lalu menutup seluruh tubuh dengan selimut.

Pada detik itu, Iluka kecil memutuskan untuk tidak pernah bertanya lagi perihal apa pun yang menyangkut sang ayah. Iluka tidak ingin Inggrid bersedih seperti sekarang ini. "Maafin Iluka, Mamah. Iluka janji gak bakal nakal lagi," bisik Iluka sebelum akhirnya masuk ke dunia mimpi.

***

"Ka." Elio memanggil. Mendongak, menatap wajah rupawan sang pujaan hati dari bawah. "Cerita dong! Jarang-jarang, 'kan, kita akur kayak gini." Elio membenamkan wajah pada perut Iluka, kemudian mengeratkan pelukan.

Elio rasa ... setiap momen yang dihabiskan bersama Iluka sangatlah berharga. Maka dari itu, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk terus menempel pada gadis berambut panjang ini.

"Itu karena lo selalu nyari perkara, brengsek. Coba lo diem dan gak bikin gue naik darah, kita pasti bakalan akur." Iluka berkata dongkol. Ia menggeplak kepala Elio, lalu bertanya, "Cerita apa?"

Elio meringis, pura-pura kesakitan. Ia menarik kedua sudut bibir, senang karena berhasil membuat Iluka yang memiliki kesabaran setipis tisu kesal.

Elio menghirup aroma floral yang menguar dari tubuh Iluka yang membuatnya tenang dalam-dalam. Lantas membalas, "Apa aja. Tentang lo, ibu lo, atau apa pun. Gue bakal denger semuanya."

"Mamah, ya?" Iluka diam sejenak. Mulai merangkai kalimat dalam kepala untuk mendeskripsikan sosok yang paling berarti baginya itu. "Mamah itu ... wanita kuat."

Selain itu, Inggrid memiliki wajah cantik, tubuh langsing, otak pintar, serta anggun. Inggrid nyaris sempurna tanpa cela. Tidak heran jika wanita tersebut mampu menarik perhatian anak dari seorang konglomerat.

Satu-satunya kekurangan yang Inggrid miliki adalah terlahir di keluarga miskin dan ... kehadiran Iluka.

Seandainya Iluka tidak hadir, ibunya tidak akan diusir. Seandainya Iluka tidak dilahirkan, ibunya tidak akan hidup luntang-lantung tanpa tempat berpulang. Atau seandainya Inggrid lahir di keluarga yang jauh lebih berada, mungkin kisah cinta dengan sang ayah akan berjalan mulus.

Mengingat bagaimana Inggrid yang tetap mencintai Ardhani—sang kekasih yang sudah bukan miliknya lagi—hingga akhir hayat membuat Iluka semakin membenci pria itu.

Jika bukan karena Ardhani, Iluka tidak akan hadir. Jika bukan karena Ardhani, Inggrid tidak akan mati menyedihkan. Iluka benar-benar ingin membuat tua bangka satu itu menerima hukuman atas perbuatannya dulu. Iluka ingin melihat sang ayah menyesal dan hancur dengan matanya sendiri.

Ah, Iluka semakin tidak sabar menunggu hari itu tiba.

Iluka mengelus kepala Elio seraya menuturkan, "Beliau orang paling tulus yang pernah gue kenal. Satu-satunya rumah yang gue punya. Selama ada Mamah, gue gak butuh yang lain."

Bagi Iluka, Inggrid adalah segalanya. Iluka rela melakukan apa saja asal Inggrid tidak bersedih. Termasuk mengorbankan perasaannya sendiri.

"Gue inget pernah pulang dengan keadaan baju kotor penuh lumpur. Badan gue luka-luka. Yah, itu wajar. Malahan bakal aneh kalau tubuh gue baik-baik aja setelah didorong ke selokan. Gue nangis. Anehnya, mamah ikutan nangis. Padahal gue yang sakit, tapi kenapa malah tangis mamah yang lebih keras?"

Iluka menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar bibirnya melengkung ke atas. "Mungkin karena ikatan batin kali, ya? Mamah jadi ngerasain sakit seolah luka itu ada di tubuhnya." Iluka berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Sejak saat itu, gue janji sama diri gue sendiri buat gak nangis lagi. Gue takut bikin mamah ikutan nangis. Dan karena itu gue makin di-bully karena dianggap aneh."

"Lo gak aneh," lontar Elio setelah Iluka membereskan ceritanya.

"Iya, gue tau. Yang aneh itu lo." Iluka tergelak kala merasa gigitan di perutnya. Pemuda itu tampak merajuk. Bukannya dibujuk, Iluka malah kian terbahak. Membuat Elio yang mendengarnya mencebik kesal.

Setelah meredakan tawa, Iluka melirik ponsel di atas nakas yang tak henti berdering sedari tadi. Iluka sudah tidak tahan. Telinganya terasa pengang. Lekas meminta Elio untuk mengangkat panggilan demi kesehatan telinga Iluka. "Angkat, gih! Siapa tau penting."

Elio melepas peluk. Berguling ke samping, lantas mematikan ponsel. Setelahnya tidur telentang sembari menatap plafon kamar. "Penting apanya? Adik lo tuh nyebelin banget. Sumpah. Padahal gue cuma nyapa doang, tapi dia udah kegeeran kalau gue suka."

"Dan berakhir terus-terusan nelepon lo?"

"Iya." Elio menendang-nendang udara. "Rasanya gue pengen potong tangan cewek murahan itu biar gak bisa nelepon gue lagi."

"Lo sampah," cibir Iluka. "Di depan Nata, lo ramah banget. Giliran di belakang malah ngomongin kayak gini."

"Lebih sampah mana sama yang minta orang buat ngejebak adiknya sendiri?" Elio balas mencibir. "Tapi, yah, gue lebih suka lo yang kayak gini. Secarakan gue juga bukan cowok baik. Dengan begini ... kita cocok, 'kan?"

Ternyata dia sadar diri. Tadinya Iluka mengira Elio tidak sadar jika dirinya tak lebih dari lelaki tidak waras yang hobi membuat orang menderita.

Iluka berdehem. Ia mendudukkan diri, mengambil bantal di belakang tubuh, lalu memeluknya erat. "Lo tau ada anak yang bunuh diri karena di-bully sama Nata?"

"Memang ada?"

"Katanya, sih, ada. Dia loncat dari rooftop dan mati gak lama setelahnya. Gue gak tau itu bener atau enggak. Tapi seandainya bener, gue bisa manfaatin itu, 'kan?"

Elio menatap Iluka kagum. "Wah, lo lebih sampah dari apa yang keliatannya." Dan perkataan Elio berhasil membuat bantal mendarat di wajahnya.

____________________________________________
10 November 2023

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang