Chapter 9: Teror

559 56 11
                                    

"Sumpah demi apa pun, dari semua hari yang udah gue jalanin, baru kali ini gue ngerasa hidup kayak di neraka." Iluka diam. Tidak tahu harus menjawab apa kala Elio mengadu dengan suara frustasi. "Gue pulang aja, ya? Udah gak tahan lama-lama bareng ni cewek."

Pertanyaan Elio dari ujung telepon sukses membuat Iluka berteriak panik. "Jangan! Tunggu bentar! Gue hampir nyampe di apartemennya Nata." Iluka menaikkan masker hitam hingga menutupi hidung, setelahnya berlari memasuki lift dan menekan tombol dengan nomor dua satu di atasnya.

"Gue nyaris mati, Ka! Lo gak tau, sih, gimana susahnya nahan rasa ketidaksukaan. Gue gak tau apa yang udah lo lakuin sampai-sampai gue rela ngorbanin diri kayak gini. Seandainya lo gak ngancam, udah gue lempar ni cewek dari jembatan dari tadi."

Iluka tidak mendengarkan. Fokus menatap monitor di atas pintu lift yang memperlihatkan angka berwarna merah yang silih berganti. Iluka mengetukkan ujung kaki pada lantai lift seraya menggigit bibir bawah gelisah. "Setengah jam! Kasih gue waktu setengah jam. Kalau rencana ini berhasil, gue bakal kabulin satu keinginan lo."

"Apa pun?"

"Ya, apa pun."

"Oke, setuju! Awas aja kalau lo tarik."

"Gak bakal. Tapi, lo beneran udah urus cctv-nya, 'kan?" Iluka berulang kali melirik ke atas. Kali ini, layar menunjukkan angka sembilan belas. Butuh melewati tiga lantai lagi sebelum pintu terbuka.

"Aman. Lo tinggal masuk aja. Beberapa penjaga udah gue kasih obat tidur. Harusnya obat itu udah bekerja dari lima menit lalu. Intinya, lo gak perlu ngekhawatirin apa pun lagi."

Iluka mengangguk paham. Selepas mengucap terima kasih, Iluka langsung mematikan sambungan telepon. Beberapa detik setelahnya, pintu lift terbuka. Gegas keluar dan menyusuri lorong apartemen. Langkahnya terhenti di depan pintu bernomor 323—kamar apartemen milik Nata.

Iluka menekan jempolnya yang terlapisi sarung tangan dan sidik jari buatan pada alat pemindai. Pintu terbuka. Kontan mengembangkan senyum. Sebelum masuk, Iluka melirik ke segala penjuru. Setelahnya masuk terburu.

Keadaan apartemen milik sang adik tampak rapi terawat. Arsitekturnya modern minimalis. Beberapa furnitur—dari mulai kursi, meja, lemari—terbuat dari bahan kualitas terbaik.

Pemilihan hiasan dinding dan tata letak sofa begitu pas. Semua benda yang ada di sini terlihat berkelas. Dalam sekali lihat pun, Iluka tahu harganya tidaklah murah. Mungkin jika Iluka tidak bertemu Elio, sampai mati pun Iluka tidak akan sanggup membeli satu pun furnitur yang ada di sana.

Iluka mendudukkan diri pada sofa. Rasanya empuk. Membuatnya berdecak iri. "Dia hidup lebih baik dari yang gue duga." Iluka menarik salah satu sudut bibirnya. "Dia hidup bahagia tanpa tau kalau saudara seayahnya menderita. Ini gak adil."

Iluka berdiri. Berjalan mengililingi apartemen, kemudian bergumam, "Lihat aja, gue bakal ambil apa yang harusnya jadi milik gue." Setelahnya menendang meja marmer hingga terjatuh. Dilanjut mengacak-acak setiap sudut apartemen. Tak lupa menyiram cairan merah dari botol ke sepenjuru ruang tamu.

Setelahnya pergi ke kamar Nata. Iluka melempar semua benda yang ada di atas meja rias. Mengambil lipstik merah dan menuliskan kata 'mati' sebanyak tiga kali dengan ukuran besar di atas cermin. "Pembunuh, anak pelakor, membusuk di dasar neraka sana," gumam Iluka seraya menuliskan kata yang diucap dengan tulisan kecil.

Iluka mundur. Melihat hasil karyanya, lalu berujar, "Kayak ada yang kurang, tapi apa, ya? Oh, iya!" Iluka mengambil selembar kertas dan pena. Menulis beberapa kalimat menggunakan tangan kiri dengan serius. Sengaja Iluka lakukan agar tulisan di kertas tidak dikenali siapa penulisnya.

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang