Chapter 15: Hanya Miliknya

591 54 4
                                    

"Lo udah denger?"

Elio yang sedang melihat ke arah lapangan dari jendela kelas menoleh, menatap Ezra dengan alis tertaut. "Tentang?"

"Ervin bakalan masuk sekolah mulai Minggu depan," jawab Ezra setelah menelan biskuit dalam mulutnya. "Dan dia bakalan pindah kelas."

"Oh, ya? Secepat ini?" Elio terkejut. Ia kira akan membutuhkan waktu setidaknya tiga bulan untuk sembuh—baik secara fisik maupun psikis—tapi ternyata tidak, ya? Elio dibuat terkagum dengan pemulihan Ervin yang terbilang cepat dan mentalnya yang sekuat baja. Jelas sangat berbeda dengan mainan terakhirnya yang jadi gila setelah Elio jahili sedikit. Membuat Elio berkeinginan untuk membuat sang sahabat menjadi gila juga.

"Iya." Ezra mengangguk. "Meski lukanya parah banget sampai bikin dia harus pake kursi roda ke mana-mana, penyembuhannya terbilang cepat. Dan ini udah dua bulan kurang kalau lo lupa. Jadi, gak secepat itu juga."

"Gue kira bakalan lebih lama dari ini," sahut Elio seraya menatap lapangan kembali. Ia menopang dagu dengan mata terpaku pada Iluka yang sedang melakukan pemanasan di barisan paling belakang.

Dahi Elio mengerut, tampak tak suka ketika dua lelaki asing mendekati sang pujaan hati. Namun, senyumnya terulas manis tak lama setelahnya kala melihat Iluka yang berusaha menjauhi keduanya.

Ah, ia senang kucing kecilnya menjaga jarak dari lawan jenis—sesuai keinginan Elio. Membuat rasa cinta Elio semakin besar saja.

"Gue juga mikir gitu," ungkap Ezra sembari menatap arah pandang Elio—lapangan. "Katanya dulu kaki Ervin sempet mau diamputasi saking udah gak berbentuknya—gue gak tau seberapa hancur, sih—tapi entah karena alasan apa dibatalin. Gue ikutan seneng dia gak jadi diamputasi. Kasian juga kalau sampai beneran dipotong."

Ezra memasukkan sekeping biskuit, mengunyahnya, menelannya, lalu melanjutkan, "Menurut lo, siapa yang udah nyiksa Ervin?"

"Entahlah. Bisa jadi orang terdekat atau yang punya dendam sama dia," jawabnya seraya mengedik tak peduli. Dalam hati melanjutkan, 'Dan gue masuk keduanya.'

"Lo mau ngapain kalau udah tau pelakunya?"

"Ya, gue hajarlah!" serunya kesal. "Enak aja temen baik gue dia siksa sampe segitunya. Dasar biadab!"

Elio menarik salah satu sudut bibir. Terhibur dengan reaksi Ezra yang sangat peduli dengan Ervin. Benar-benar teman yang baik. "Kalau gitu, ayo, hajar gue!"

Ezra mengernyit. Tak paham dengan maksud Elio. Dan sebagai teman yang baik, tentu Elio perlu menjelaskan sampai Ezra mengerti. "Tadi lo bilang bakal hajar siapa pun yang udah nyiksa Ervin, 'kan?"

"Terus hubungannya sama ngehajar lo apa?"

Dasar bodoh. Padahal Elio sudah menjelaskan dengan kalimat yang sederhana, tapi bisa-bisanya Ezra tidak paham juga. Walau menyebalkan, tapi itulah yang menarik dari diri Ezra—bisa Elio permainkan sesukanya. "Karena gue pelakunya. Tunggu apa lagi? Ayo, hajar!"

"Lo?" Ezra ternganga. "Seorang El yang hatinya selembut kapas, anak dari pemilik firma hukum terkenal, yang sering ngorbanin diri saking gak teganya buat ngusir cewek yang bikin lo risih, yang gak bisa nolak di saat anak sekelas minta bantuan, nyiksa Ervin?" lanjutnya dengan ekspresi tak percaya.

"Yang bener aja!" seru Ezra kesal seraya memukul punggung Elio. "Candaan lo gak lucu!"

Elio mengedik. Mau Ezra percaya ataupun tidak, itu bukan urusannya. Yang terpenting Elio sudah berkata jujur dan untuk sisanya ia serahkan semua pada Ezra. Toh, pada akhirnya, mau percaya atau tidak adalah masalah pilihan.

Elio berdiri, kemudian berjalan keluar kala bel istirahat berbunyi. Di belakangnya, Ezra setia mengikuti. "Btw, El, bukannya lo pacaran sama Iluka? Tapi kenapa akhir-akhir ini lo malah deket sama Nata? Jangan bilang lo terpengaruh sama omongannya si Ervin?"

"Enggaklah," jawab Elio spontan. "Cuma ... ada beberapa alasan. Lo tau sendiri akhir-akhir ini Nata sering dapet teror dan karena dia gak punya seorang pun buat dijadiin tempat cerita sama dimintain pertolongan, gue yang paling deket harus bantu, dong? Demi kemanusiaan."

"Demi kemanusiaan kata lo? Bilang aja mau pendekatan," goda Ezra seraya tertawa. "Kalau lo deket sama Nata, terus Iluka lo ke manain?"

"Iluka masih jadi prioritas gue, dong. Dia itu cinta mati gue."

"Brengsek lo!" hinanya. Walau begitu, Ezra tahu bila sang sahabat tidak bercanda kala mengatakan cinta yang ditujukan pada gadis berkacamata dari kelas sebelas. Apalagi cara menatap Elio pada Iluka memang berbeda, membuat Ezra semakin yakin jika cinta yang Elio miliki sangatlah besar.

Ezra tahu itu, tapi hati tidak bisa dikendalikan ke mana akan berlabuh, 'kan? Ia juga tidak ingin mencintai gadis yang sama dengan temannya. Namun, entah sejak kapan Ezra menaruh hati pada Iluka. Ketika sadar, rasa cinta yang ia miliki sudah terlanjur besar.

"Kalau lo udah bosen sama Iluka, kasih tau gue, ya? Gue tertarik sama dia soalnya, haha." Apa yang Ezra katakan memang terdengar seperti candaan, tapi itu berasal dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia menginginkan Iluka meski tau sang sahabat merasakan hal serupa. Ia mencintai Iluka. Walau tak sebesar Elio, tapi ia tidak bisa mengabaikan ini, 'kan? Setidaknya Ezra perlu berjuang. Agar tidak menjadi penyesalan di masa depan nanti.

"Iluka ...." Elio mengepalkan tangannya erat. Menahan keinginan membunuh yang muncul ke permukaan. "Gak bakal mau sama lo," lanjutnya dingin.

"Kalau ternyata dia mau, lo mau apa?"

Mata Elio menajam. Wajahnya dipenuhi amarah. Tubuhnya gemetar saking murkanya. Hanya dengan membayangkan Iluka pergi darinya saja sudah membuat amarah Elio naik ke ubun-ubun. Ia tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Namun, jika ternyata Iluka mencintai orang lain, tentu saja .... "Gue bunuh kalian berdua."

Iluka itu miliknya. Selamanya akan menjadi miliknya.

Hanya Elio yang bisa menjadi pasangan hidup Iluka. Elio tidak akan membiarkan siapa pun merebut Iluka darinya. Tidak peduli apa pun yang terjadi, Iluka akan terus berada di sisinya. Bahkan jika Iluka mati sekali pun, Elio tidak akan pernah melepasnya.

Elio ... akan menyingkirkan semua yang menjadi penghalang.

"Gue bercanda, El. Hahaha."

***

Pukul empat sore hari. Pembelajaran sudah selesai. Bel pulang berbunyi. Membuat para siswa berhambur ke luar, terkecuali Iluka. Gadis itu masih duduk nyaman di bangku paling belakang dekat jendela seraya membaca buku—kegiatan yang selalu dilakukan untuk menunggu sekolah sepi.

Tiga puluh menit berlalu. Iluka yakin kebanyakan siswa sudah pergi meninggalkan sekolah. Ia memasukkan buku ke dalam tas, menyampirkan ransel di pundak kanan, lalu berjalan santai keluar kelas. Iluka menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Kakinya terus melangkah menyusuri koridor yang sepi.

Kemudian—tanpa diduga—seseorang membekap mulut dan hidung Iluka dari belakang. Tubuh Iluka ditarik masuk ke dalam bilik toilet. Ia berontak. Berusaha membebaskan diri. Namun, tenaga orang yang membekapnya terlalu kuat, membuat Iluka tidak bisa melawan walau sudah mengeluarkan seluruh tenaga.

Beberapa saat berlalu. Tubuh Iluka mulai terasa lemas. Matanya memberat diiringi dada yang mulai terasa sesak. Pandangannya memburam. Tak berapa lama, tubuh Iluka tergolek tak berdaya. Ia jatuh pingsan akibat kain yang menutupi hidungnya telah dilumuri obat bius.

Di belakangnya, lelaki dengan penutup kepala hitam menyangga tubuh Iluka agar tidak menyentuh lantai. Setelahnya menggendong Iluka di bahunya—seperti mengangkat karung beras—dan berjalan menyusuri lorong sepi menuju mobil yang terparkir di belakang sekolah. Ia bersiul, senang rencananya berjalan mulus. "Iluka, lo harus dikasih hukuman," bisiknya seraya menyeringai.

____________________________________________
06 Desember 2023

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang