Chapter 16: Penyekapan

542 59 0
                                    

Iluka tahu Elio tidak waras.

Namun, ia tidak mengira jika Elio setidak waras ini. Ketidakwarasannya melampaui perkiraan Iluka. Ia kesal. Memang apa yang sudah ia perbuat sampai-sampai disekap di tempat asing seperti ini?

Terlebih ... tangannya terikat dasi dan salah satu kakinya dirantai. Selain itu, nyaris seluruh dinding di kamar ini dipenuhi foto Iluka dengan berbagai pose dan ukuran. Ada juga kamera pengawas yang dipasang di setiap sudut ruang. Iluka jadi merasa seperti tahanan.

"Gila," gumamnya dengan mata menatap segala penjuru.

Jendela yang ada dalam kamar sudah dipasang teralis besi. Fentilasinya juga ditutup. Seandainya Iluka bisa melepaskan ikatan dan borgol, ia tetap tidak bisa melarikan diri. Elio tidak setengah-setengah dalam melakukan penculikan kali ini.

Terlepas dari situasinya kini, kamar ini cukup nyaman untuk ditinggali. Ruangannya luas dan lengkap. Ada dua sofa dekat jendela, ada lemari kayu yang entah apa isinya, ada rak buku, lampu meja dengan bentuk kelinci lucu, dan ... kasur yang sangat empuk. Dibandingkan tempat penyekapan, ini lebih terlihat seperti kamar hotel.

Iluka merebahkan diri. Ia menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Karena sudah terlanjur begini, mari jangan terlalu banyak berpikir dan nikmati sisa waktu-sampai dibebaskan-dengan tenang.

Niatnya, sih, seperti itu, tapi nyatanya Iluka tidak bisa merealisasikan keinginannya.

Ia turun dari ranjang dan mendekati pintu yang terkunci. Setiap melangkah, bunyi gemerincing akibat gesekan antar rantai berbunyi nyaring. Membuat kamar yang semula hening berubah bising.

Iluka menendang pintu beberapa kali, kemudian berteriak kesal, "Lo niat nyulik gak, sih?! Gue kelaparan, bego! Lo mau tahanan lo ini mati kelaparan?!"

Iluka mundur dengan napas tersengal. Setelah berteriak tadi, amarahnya sedikit berkurang. Ia jauh lebih tenang. Iluka menatap pintu yang tak kunjung terbuka, lalu berbalik dan mendudukkan diri di sofa terdekat.

Jika ditanya apa Iluka takut ketika diculik seperti ini, jawabannya jelas tidak. Iluka tau dirinya tidak akan dibunuh meski berbuat seenaknya. Kalau disiksa, itu mungkin saja. Tapi, toh, selama nyawanya tidak dalam bahaya, Iluka tidak peduli dengan yang lain.

"Tapi, gimana kalau ternyata perkiraan gue salah? Gimana kalau akhirnya gue dibunuh?" tanyanya mulai paranoid. Ia menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruknya. "Gak mungkin! Walau gak waras, dia gak mungkin bunuh gue. Gue ... masih berguna."

Iluka menoleh kala pintu dibuka. Ia tersenyum melihat Elio datang seraya membawa semangkuk mie. Meski bentuknya tidak menarik, tapi aromanya menggugah selera. Membuat perut Iluka kian keroncongan. "Dari tadi, kek. Gue nyaris mati kelaparan," ujar Iluka seraya mendekati pemuda dengan kemeja biru lengan panjang tersebut.

Elio diam. Raut wajahnya datar. Matanya menatap tajam. Namun, ketika melihat mata Iluka yang berbinar begitu menatap mie di tangannya, raut wajahnya melunak-terlihat lebih bersahabat. Ia mengembuskan napas panjang, kemudian berbisik, "Gue kalah."

Pada akhirnya, semarah apa pun Elio pada Iluka, ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada gadis itu. Selalu saja begini.

"Suapin!"

Elio yang masih terhanyut dalam lamunan tersentak kaget. Dengan mata terbelalak menanggapi. "H-hah?"

"Tangan gue lo iket kalau lo lupa." Iluka menunjukkan tangannya yang terikat dasi. "Jadi, suapin!"

Elio berdehem. Merangkul pundak Iluka dan membawanya ke pinggir ranjang. Ia mendudukkan Iluka, setelahnya ikut duduk, lantas menyuapi Iluka sesuai perintah gadis itu. "Lo lagi gue sekap," celetuk Elio.

"Gue tau." Iluka menjawab sekenanya.

"Lo tau?" tanyanya memastikan.

"Iya." Iluka menatap Elio aneh. Ada apa dengan pemuda itu? Bagaimana mungkin Iluka tidak tau jika tangan dan kakinya saja diikat? Bukankah hanya orang bodoh yang tidak bisa memahami situasi ini?

"Lo tau, tapi kenapa lo gak ada takut-takutnya?!" Elio bertanya setengah berteriak. Membuat Iluka memejamkan mata terkejut. "Bukannya reaksi normal itu teriak ketakutan dan minta dilepasin?! Kenapa lo malah kayak gini?!" tanyanya lagi, tak habis pikir.

"Lo kenapa, sih?" Iluka menatap kesal. Acara makannya jadi terganggu karena pertanyaan tidak bermutu Elio. Meski begitu, ia harus sabar. Jangan sampai karena Iluka tidak bisa menahan amarah membuat nyawanya melayang. Maka dari itu, ia menjelaskan, "Begini, gak setiap orang yang diculik bereaksi sama."

"Tapi semua yang gue culik selalu gitu," bantah Elio. "Nangis, teriak, mohon-mohon, dan mati. Eh, ada beberapa yang gue bebasin, sih, meski akhirnya malah masuk RSJ."

"Gue ulangi, gak setiap orang. Buktinya ada di depan lo, 'kan?" Lagi pula, Iluka tidak ingin membuang-buang tenaga untuk hal yang tidak perlu. Dan seandainya dia berteriak memohon dilepaskan, memang Elio akan mengabulkan? Tentu saja tidak. Jadi, untuk apa membuang tenaga untuk hasil yang sudah jelas?

"Lo bener." Elio mengangguk paham, lalu menyuapi Iluka yang protes karena tidak kunjung disuapi. "Dari awal lo emang gak waras. Gak heran lo bisa santai pas lagi diculik."

"Sialan! Lo yang gak waras, berengsek!" maki Iluka seraya berusaha menendang kaki Elio. Ia menarik kakinya kembali ketika usahanya tidak membuahkan hasil lantaran lelaki itu terus mengelak dengan gesit.

Elio tertawa kesenangan, kemudian kembali bertanya, "Gue liat di film-film, kalau orang yang disekap dikasih makan, makanan itu bakalan dilempar, tapi kenapa lo enggak?"

"Kalau gue lempar, emang lo bakalan bawain makanan lain?"

"Enggak," jawab Elio lugu.

"Nah, itu. Gue gak mau kelaparan. Jadi, gak perlulah buang-buang makanan." Iluka jelas lebih takut kelaparan ketimbang mati di tangan pemuda sadis itu. Entah apa yang salah dengan isi kepalanya. Lagi pun, salah satu aturan ketika diculik adalah jangan pernah membuat penculik kesal jika ingin melihat matahari esok hari. Dan itu yang sedang Iluka praktekkan; tidak membuat Elio marah.

Elio menaruh mangkuk kosong di atas nakas, memberi Iluka minum, kemudian berkata dengan serius. "Gue ingetin, lo lagi diculik, bukan lagi liburan. Jadi, tolong jangan bersikap ceroboh dan masa bodo kayak gini. Jangan lupa kalau gue itu berbahaya. Gue bisa bunuh lo kapan aja kalau lo lupa."

"Gue tau dan bukannya gue yang kayak gini yang bikin lo makin tertarik?"

Itu benar. Iluka yang berbeda dari kebanyakan orang membuat Elio kian terobsesi untuk mendapatkannya. Iluka yang unik, aneh, dan tidak takut dengan apa pun semakin membuat Elio tergila-gila.

Bahkan ketika berhadapan dengan iblis berwujud manusia sepertinya pun, Iluka masih bisa makan dengan tenang ataupun mengumpat. Orang yang seperti Iluka itu langka. Mungkin hanya ada satu di dunia. Makanya Elio sudah tertarik sejak pertemuan pertama dan memutuskan untuk memiliki barang langka itu dengan segala cara.

"Walau begitu, lo harus tetep hati-hati. Gimana kalau gue kasih racun dalam makanan ini?" tanya Elio seraya membelai rambut Iluka penuh sayang.

Iluka terbengong. Memang ada, ya, penculik yang meminta korbannya untuk waspada? Sepertinya hanya Elio saja yang seperti ini. Mengingat otak Elio yang bermasalah membuat Iluka maklum.

"Racun, ya?" ulang Iluka seraya berkedip beberapa kali. "Yah, gak papa. Mati tinggal mati, 'kan?" tanyanya tak peduli. "Lagi pula, selama ini lo pasti tau gue gak punya semangat buat hidup semenjak nyokap meninggal. Jadi, gak masalah kalau gue mati hari ini."

Iluka meringis ketika merasa perih di kulit kepalanya. Dari pantulan cermin di lemari, dia dapat melihat tangan Elio yang meremas rambutnya kuat. Wajahnya terlihat marah dibarengi tatapan tajam bak siap menerkam. Iluka menelan ludah susah payah seraya berbisik lirih, "O-ow ... gue ... dalam masalah."

____________________________________________
09 Desember 2023

Elio's Obsession [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang