12. Pendarahan Otak

100 45 129
                                    

"Gimana keadaan, Nala?" tanya Bagaskara yang baru saja tiba di rumah sakit.

Cio dengan segera berdiri dari duduknya, ia hendak menjelaskan, namun kalah cepat oleh Aaron.

"Ini salahku," cicit Aaron.

Hal itu membuat darah di kepala Bagaskara mendidih, kedua tangannya mengepal, emosinya naik, dadanya bergemuruh hebat, giginya saling bergemelatuk satu sama lain.

Brak!

Bagaskara memukul dinding rumah sakit, hal itu membuat Aaron terdiam.

"Aku yang salah di sini, maafkan aku. A-aku tau, kesalahanku fatal, Bang. Seharusnya aku menjemputnya lebih awal, maka kejadian ini tidak akan terjadi." Aaron menjelaskan dengan wajah menunduk.

"Bang, udah." Nila yang baru saja tiba, dengan segera menenangkan kakak pertamanya.

"Lalu, bagaimana keadaannya?" tanya Bagaskara, kini emosinya sudah bisa dikontrol.

"B-bang, Do-dokter belum memberitahu kondisinya, dia meminta keluarga pasien untuk segera datang," ucap Jae.

"Baiklah," ucapnya, lalu Bagaskara berjalan menuju ruangan dokter berada, meninggalkan Nila yang sudah menangis.

"Tenanglah," ucap Aaron, lalu menepuk pundak Nila dengan pelan.

"B-bang, Kak Nala, akan baik-baik saja 'kan?" tanya Nila.

Aaron tak bisa menyembunyikan cairan bening itu, ia lalu menghapusnya dengan kasar. "Maaf, ini salahku. Jika saja aku tepat waktu menjemputnya, dia tidak akan seperti ini."

Nila menggeleng lemah, ia tersenyum sendu. "Aku tidak menyalahkanmu, aku menyalahkan Kakakku sendiri. Mengapa bisa menyembunyikan hal menyakitkan selama itu? Mengapa dia tidak mau jujur pada kami? Kami keluarganya, tapi mengapa dia tidak mau berkata jujur? Apa salah kami?! Jika dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, laku apa arti keluarga baginya? Apakah keluarga itu, hanya sebuah lelucon baginya? ADA KAMI! KAMI SELALU ADA UNTUKNYA, TAPI KENAPA DIA SEPERTI INI?!"

Jessy dengan segera memeluk Nila, adik dari Nala tersebut, nampak sangat terpukul. "Tenanglah, dia pasti memiliki alasan."

Nila melepaskan pelukan tersebut, lalu menatap Jessy dengan tatapan terluka. "Kak ... bagaimana j-jika Kak Nala tidak bisa kembali?"

"Maka Aaron akan menyalahkan dirinya seumur hidup," timpal Cio.

Nila yang mendengar itu, dengan segera menoleh pada Cio. Lalu kedua matanya membulat sempurna, ketika melihat baju seragam yang dikenakan oleh lelaki itu. Penuh dengan darah yang sudah mengering, bahkan kedua tangannya pun masih berlumuran darah.

"B-bang?" beo Nila.

Hal itu, membuat Cio mengernyit bingung. "A-apa?"

"Itu," tunjuknya. "Apakah itu darah Kak Nala?"

Cio melihat dirinya sendiri, ia lalu tersenyum dalam diam. "Y-ya, aku yang menemukan Kakakmu."

Nila dengan segera berlutut di hadapan Cio, membuat beberapa orang yang ada di sana, dengan segera membangunkan adik kecil Nala.

"A-apa yang kau lakukan?" tanya Cio dengan kebingungan.

Nila menyentuh ujung sepatu yang dikenakan oleh Cio, ia menunduk hendak mencium sepatu tersebut. Bulir air matanya tak dapat ia bendung lagi, ia menangis terisak. Merasa bersyukur karena kakaknya dapat ditemukan dengan cepat, jika saja telat, mungkin kini kakaknya hanya tinggal nama dan tentu akan meninggalkan mereka semua.

"Berdiri," ucap Cio.

Namun Nila tak menghiraukan ucapan itu.

"Anila!"

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang