04. Teman Baru

239 107 500
                                    

Pagi ini tak ada semangat untuk Bagaskara, rasanya ia ingin menghentikan waktu saja. Ucapan yang Nala lontarkan semalam, cukup membuat pikirannya kalang kabut. Kalimat menusuk itu, sukses membuat pikirannya menjadi lebih terbuka.

"Ck! Apa yang sedang kau pikirkan? Jika kau memiliki masalah finansial, bicaralah padaku. Aku akan dengan senang hati meminjamkannya."

Ucapan bernada sindiran itu, berasal dari laki-laki tampan yang sudah tujuh tahun bersamanya. Suka serta duka, mereka lewati bersama-sama. Melvin namanya. Sosok pria tegap, dengan postur tubuh yang jangkung, memiliki lesung pipi dan alis yang tebal ini, sudah paham tabiat dari Bagaskara.

"Apa kau--sedang terlilit hutang?" tanya Melvin.

Bagaskara menoleh secepat kilat, lalu memukul kepalanya dengan sangat keras. "Apa yang kau katakan?! Enak saja! Biarpun keuanganku tidak stabil, tapi aku enggan untuk meminjam uang pada siapapun."

"Lalu?" tanyanya penasaran.

Bagaskara menghela nafas lelah, ia memijit pangkal hidungnya. "Nala berkeja paruh wakt--"

"Lalu? Apa yang kau khawatirkan, bukankah itu bagus?"

"Dengarkan terlebih dahulu! Baru kau bisa bereaksi semaumu!" seru Bagaskara, yang langsung mendapat cengiran dari Melvin. "Vin ... Nala berusaha keras untuk berkerja paruh waktu, hanya demi kehidupan kita bertiga. Bukan hanya itu saja, dia ingin jika aku melanjutkan study-ku yang sempat tertunda."

"Bagas, tidak semua hal harus kamu lakukan sendiri. Jika kau mempercayai adikmu, maka lakukanlah apa yang dia minta. Apa kamu tau, dia seperti itu karena apa?" tanyanya, yang langsung mendapat gelengan darinya. "Dia berusaha untuk membalas semua hutang budimu, Bagas. Dia sudah dewasa, dan pikirannya juga sudah matang, maka sudah sepantasnya dia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Nala juga manusia berhati, dia tidak ingin melihatmu kesusahan sendiri. Dia tidak ingin melihat impianmu terkubur begitu saja. Sadarlah itu, Bagaskara!"

Bagas nampak diam. "Lalu, pantaskah aku, jika menerima uang pemberian dari Nala?"

"Hey! Jika Nala yang menyuruhmu untuk memakainya, maka pakai uang itu untuk kebutuhanmu sendiri! Tetapi, jika uang itu hasil pencurianmu dari Nala, maka jangan dipakai, kembalikan sekarang juga."

"Aku harus apa?" tanya Bagas. "Tapi  mengingat jika dia sedang berusaha keras untuk lulus dari sekolah bergengsi, jujur itu membuatku ketakutan, Melvin. Dia bisa seperti ini, karena kepintarannya, dan apakah kau mangerti, jika sistem beasiswa di sekolah itu, sangatlah ketat? Dan bagaimana jika Nala turun peringkat? Bagaimana jika waktu belajarnya terganggu, akibat dia yang berkerja paruh waktu?"

Melvin menghela nafas lelah. "Aku tau bagaimana rasanya ingin mati. Bagaimana sakitnya untuk tersenyum. Bagaimana mencoba untuk menyesuaikan diri, tapi tidak bisa. Bagaimana kamu melukai dirimu sendiri di luar dan mencoba untuk membunuh sesuatu di dalam diri." Pria itu menatap Bagaskara, dengan tatapan teduh. "Apa kau paham, apa yang aku ucapkan?"

"Aku paham, apa maksud dari perkataanmu. Ta--"

"Berhentilah menjadi baik, kita manusia juga perlu memiliki sifat egois! Egois meskipun hanya sebentar, itu tidak masalah, Bagas. Apa kau dapat merelakan semua impianmu terkubur begitu saja?" tanya Melvin. "Cita-citamu sebagai seorang artis, apa kau bisa merelakannya?"

"Apa yang kau maksud!" seru Bagaskara.

"Sudahlah, maka jika kau tidak ingin menginginkan uang itu, setidaknya investasikan uangnya."

"Ah, aku pusing!" teriak kekesalan Bagaskara.

"Kurasa, kau harus berunding dengan kedua adikmu." Melvi menatap Bagaskara dengan tatapan serius. "Tolong ingat setiap kalimat yang aku ucapkan."

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang