10. Penyesalan

172 83 387
                                    

Hubungan antara Nala dan Aaron nyatanya semakin akrab, dimana ada lelaki tersebut, Nala selalu di sampingnya. Seperti saat ini. Gadis itu setia menemani Aaron yang tengah bermain di lapangan bola, sesekali melempar senyum.

"Nala?"

Panggilan itu, membuat Nala menoleh dan mendapati Nathania tengah tersenyum. "E-hai!"

"Pulang sekolah, ada kerjaan?" tanya Natha.

"Mm, karena hari ini jadwal les sedang libur. Sepertinya aku akan berkerja," jawab Nala.

"Yah," seketika raut wajah Nathania berubah menjadi sendu.

"Kenapa?" tanya Nala.

"Kita hendak berkumpul, dan pastinya Aaron juga akan ikut."

Nala hanya menggangguk saja. "Maaf, ya."

"Oh, tidak! Tidak masalah, aku memahamimu, Nala."

"Tapi, mengapa wajahmu begitu sembab? Apakah Kathrine kembali mengusikmu?" tanya Cio.

Nala menggeleng lemah, ia kembali mengingat pertengkarannya bersama Abangnya. Lalu air mata tanpa disangka-sangka, menetes begitu saja, membuatnya kesusahan untuk menghapus bulir air tersebut.

"Apakah sangat sakit?" tanya Nathania.

Nala tersenyum singkat. "Ini sudah biasa bagiku."

"Oh, tidak!" Nathania lalu mendekat Nala dengan begitu erat, ia menepuk pundak gadis tersebut dengan pelan. "Jangan dipendam, keluarkan saja. Jika kau butuh teman cerita, kami siap mendengarkanmu."

Mendengar ucapan itu, membuat Nala tersenyum.

"Lihatlah Aaron, dia sedang mengumbar pesonanya!" pekik Jessy.

Pekikan itu, membuat Nala sontak melihat. Dan benar saja, Aaron tengah mengumbar senyum kepada para gadis yang sedang menontonnya di lapangan. Tanpa menghiraukan lebih lanjut, ia kembali fokus pada bukunya, biar bagaimanapun, ia harus tetap belajar.

"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Aaron?" tanya Jessy, lalu menoel-noel pipi Nala.

Nala sontak menoleh, "Kami tidak ada hubungan apapun."

"Lalu, kapan kalian akan menjalin hubungan?" tanya Nathania secara tiba-tiba.

"Aku sedang belajar, bisakah kalian berhenti menggangguku?"

Pertanyaan dengan nada sarkas itu, tidak membuat Jessy dan Nathania menjauh. Mereka bahkan semakin menggodanya.

"Berhenti menggoda, Nala." Aaron datang, dengan seragam yang sudah basah akibat keringat. "Kalian tidak mendengar suara bell?"

"Benarkah?" tanya Jessy.

"Maka, kami pergi dulu."

Lalu mereka pergi dengan arah yang berbeda.

_____

"Bagaimana hubunganmu dengan Nala? Apakah sudah membaik?" tanya Melvin.

Bagaskara menghela napas.

"Sepertinya tidak," lanjut Melvin, setelah melihat perubahan yang Bagaskara berikan. "Yang jadi pertanyaan, mengapa kau tidak mempercayai Adikmu sendiri? Bukankah sudah seharusnya, sebuah keluarga saling mempercayai satu sama lain? Oh, ayolah! Ini bukan Bagaskara yang aku kenal. Coba untuk berpikir lebih luas, ya? Jangan terlalu egois juga. Mereka sudah dewasa, dan sudah paham, mana yang benar dan salah. Mereka bukan anak kecil lagi, Bagaskara."

Bagaskara lagi, dan lagi hanya bisa mendesah pelan. Ia memijit pangkal hidungnya.

"Gas, jangan terlalu me-ngekang mereka. Biarkan mereka memilih hidupnya sendiri, maksudnya gini--" Melvin menghela napas panjang. "--kamu bebasin mereka, tapi masih kamu pantau. Sadar atau tidak, kedua Adikmu mulai muak dengan semua ucapan yang kamu keluarkan."

Lelaki yang sedang diberi nasehat itu, hanya menatapnya sekilas. Lalu tatapannya melembut. "Semuanya sama, semua punya 24 jam yang sama. Dulu aku berdiri tegap dan gagah. Kini aku meringkuk dalam ruang pengap dan gelap. Kemana mereka yang katanya cinta(?) Kemana mereka yang katanya peduli(?) Kini aku sendiri, berkaos lusuh di atas kasur putih. Selang tipis menjuntai tak mau jauh dari diri. Mana janji Tuhan(?) Sekarang aku hanya mampu meratapi nasib. Tak lagi mampu bangkit mengais cita-cita dan harapan. Yang ada hanyalah kisah sedih kehidupan."

Kalimat perumpamaan yang Bagaskara berikan, sangat bermakna. Ia paham betul, apa maksud dari kalimat itu.

"Meskipun Tuhan tidak adil pada keluargamu, tapi aku mohon, Gas. Lindungilah kedua Adikmu, dari dunia yang sangat jahat ini."

"Kau benar," cicit Bagaskara.

"Maka dari itu, minta maaflah pada Nala. Apa kau tidak mengasihaninya? Dia harus sekolah, les dengan jadwal yang padat, lalu berkerja paruh waktu, lalu ketika berada di rumah, kau memakinya? Tidak mempercayai semua omongannya? Kau jahat, Bagas!" sentak Melvin. "Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Nala, apa kau pernah mendengar perumpamaan 'mulutmu, harimaumu?' Aku yakin kau pernah mendengarnya. Apa kau sadar, ucapan apa saja yang kau lontarkan pada Nala? Kalimat menyakitkan yang bagaimana saja, yang dia dengar? Lalu, apakah kamu menyadarinya, bahwa Adikmu itu sangat terluka terhadap semua ucapan yang kau keluarkan? Dan, apa arti keluarga, bagimu?"

Pertanyaan panjang lebar yang dilontarkan oleh Melvin, mampu memukul telak dinding hatinya. Sesak sekali rasanya.

"Bagaimana? Apa kau baru menyadari semua ucapan yang kau lontarkan kepada Adikmu?" tanya Melvin. "Belati paling menyakitkan, itu adalah belati orang terdekat. Dan selamat! Kau sukses membuat Nala, membangun benteng setinggi langit. Rasakan penyesalanmu, kawan."

_____

Kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Melvin, mampu mengusik ketenangannya. Benar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Nala memang sepertinya sedang mengindarinya, terbukti pagi tadi, dia tidak sarapan buatannya. Ia lebih memilih untuk membuat sarapannya sendiri, bahkan suasana pagi tadi semakin mencekam, tidak ada gurauan yang biasanya sering terjadi. Ini salahnya.

Lalu, haruskah ia meminta maaf? Tapi, bagaimana jika Nala tidak memaafkannya?

"Tak mampu aku lukiskan. Indah dan manisnya sebuah kenangan, membangun keluarga dengan banyak pengorbanan. Namun tergantikan dengan kebahagiaan, kasih sayang keluarga. Ibarat istana yang megah, dibangun oleh cinta, dan dikuatkan oleh suka cita. Walau ada duka lara, semua sirna berkat perjuangan bersama. Menepis ego demi senyum merekah, tak ragu mengucap kata salah." Bagaskara terus-menerus merapalkan kalimat tersebut. Ia berpegang teguh pada pendiriannya. Tidak ada yang boleh menghancurkan keluarganya.

Tapi tanpa ia sadari, dia sendiri yang telah mengancurkan keluarganya. Menghancurkan kenyamanan rumahnya. Memang benar, manusia adalah tempatnya salah. Manusia adalah orang paling munafik sedunia. Dan dengan sialnya, dia juga manusia, author juga manusia, dan readers juga manusia.

Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Keluarga adalah satu-satunya tempat kita belajar, arti kebahagiaan dalam kebersamaan.

Keluarga juga, layaknya ranting di pohon. Kita tumbuh ke arah yang berbeda namun memiliki akar yang menyatu.

Keluarga adalah kompas yang membimbing kita. Mereka adalah inspirasi untuk mencapai ketinggian yang luar biasa, dan kenyamanan ketika kita goyah.

Keluarga; ialah sahabat yang selalu ada di samping kita, pada keadaan yang paling amat sangat buruk sekali pun.

Saat beban terlalu berat, janganlah putus asa. Tuhan memberikan kita keluarga; agar berusaha demi mereka.

Walau beratap kayu dan beralas tanah, tak ada yang dapat menggantikan dirinya. Rumah sederhana nan bermakna. Penuh kenangan membekas dan selalu indah. Keluargaku, adalah surgaku. Semoga kita bahagia selalu.

Kasihmu layaknya embun di pagi hari, cintamu seperti bunga berwarna-warni. Hadirmu tak dapat tergantikan oleh pelangi. Kebersamaan keluarga, adalah impian yang akan selalu ada. Peluk hangat di saat susah, selalu datang menjaga dan merawat kisah.

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang