"Bagaimana keadaanmu?" tanya Melvin, kali ini dirinya menjenguk adik dari Bagaskara.
"Eh, Bang. Baik, kok. Tumben?" tanya Nala.
"Aku tidak mengerti apa yang Bagaskara pikirkan," ucapnya.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Aku tau betul, jika dia merasa bersalah padamu. Tapi akhir-akhir ini aku liat, dia seperti tidak bersemangat untuk hidup."
Penjelasan dari Melvin, membuat Nala mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Dia seperti boneka hidup, mati segan, hidup pun tak mau. Kau mengerti maksudku, bukan?" tanya Melvin.
"Apa yang membuatnya seperti itu?"
"Terakhir kali, dia berbicara bahwa kau berdebat dengannya. Ya, aku paham betul, bahwa Adik-Kakak selalu berbeda pendapat. Tapi sepertinya, ucapanmu membuat dia menjadi merasa bersalah."
"Tapi, Bang--" Nala menghela napas panjang. "--nyatanya memang aku membohongi dia."
"Aku sama sekali tidak menyalahkanmu sepenuhnya, aku mengerti bahwa kau memiliki alasan lain. Tapi, tidak seharusnya kau seperti itu. Biar bagaimanapun, dia adalah Kakakmu, Abangmu, orang tuamu, dan walimu sendiri."
"Kau benar, Bang. Di sini, aku yang salah."
"Tidak, Nala. Kau seperti itu juga, karena memiliki alasan, bukan?" tanyanya, namun Nala hanya diam. "Dan alasanmu adalah, karena tidak ingin membuat Bagaskara terpuruk?"
"Kau benar," cicit Nala.
"Sudah kuduga," ucap Melvin. "Hatimu selembut sutra, Nala. Kau lebih memilih menyakiti fisik serta batinmu sendiri, ketimbang berkata jujur, yang akan menyakiti Abangmu sendiri. Itu sangat luar biasa! Sepertinya Tuhan menciptakanmu, ketika hatinya sedang bahagia."
"Bang Melvin, mah! Malah godain Nala!" serunya.
Melvin hanya tertawa, melihat ekspresi yang dikeluarkan oleh Nala. Ia sudah menganggap bahwa gadis di hadapannya ini, adalah adiknya sendiri.
"Abangmu, sudah mulai kuliah."
Kalimat yang dilontarkan oleh Melvin, membuat Nala membulatkan kedua matanya. Sungguh, ini berita yang sangat membuatnya bahagia.
"Benarkah?"
"Ya, tanya saja padanya, nanti."
"Ah, aku masih merasa canggung dengannya," cicit Nala.
"Bukankah kalian memang seperti ini? Sepertinya, jarang sekali bertegur sapa, meskipun nyatanya kalian satu rumah."
"Kau benar, Bang." Nala lalu tertawa.
Benar apa yang diucapkan oleh Melvin, ia dan Bagaskara jarang sekali berbicara. Mereka terlalu cuek, sebenarnya kakaknya itu sering mengajaknya untuk berbicara, atau bahkan mengajaknya bercanda, tapi Nala selalu memberikan penolakan halus, yang membuat Bagaskara enggan untuk mengajak kedua kalinya.
Bukan tanpa alasan, dia melakukan seperti ini, semata-mata, karena belum bisa melupakan sosok kedua orang tuanya. Mereka meninggal, dalam kecelakaan setelah mengantarkan Bagaskara sekolah. Nala tidak membencinya, hanya saja, ada ruang tersendiri untuknya bisa menjaga jarak dengan kakaknya itu. Sebenarnya, ini memang bukan salah Bagaskara, ini semua sudah takdir yang kita sendiri tidak bisa mengelaknya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa menghapus rasa sesal itu.
"Apa ini, karena orang tua kalian?" tanya Melvin dengan hati-hati.
"Apanya?" tanya Nala tak mengerti.
"Kalian seperti ini--karena kamu menanamkan pada diri kamu sendiri, untuk membenci Bagas?" tanya Melvin tepat sasaran.
"Sebenarnya, aku tidak membencinya, tidak sama sekali. Hanya saja, ada sedikit ruang untuknya yang membuatku seperti ini," jelas Nala.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sibling's [SUDAH TERBIT]
Romance⚠️CERITA LENGKAPNYA, HANYA TERSEDIA VERSI NOVEL, YA.⚠️ ⚠️Sudah tersedia di Shopee dan Tokopedia, ya guys.⚠️ Ini kisah Angkasa Sibling's, yang berusaha untuk menata kembali kehidupannya yang hancur karena ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka seja...