03. Kelapangan Nala

159 55 198
                                    

"Loh, wajah kamu kenapa?"

Sial! batin Nala, padahal ia sudah berusaha untuk pulang tengah malam. Tapi ternyata Bagaskara belum juga tidur, hal itu membuat ia meneguk salivanya susah payah. Apa yang harus ia katakan? Dan bagaimana jika kakaknya mengetahui apa yang sedang ia sembunyikan?

"E-eh, Bang, kok belum tidur?" tanyanya.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya, ia lalu berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas. "Ini jelas bekas tamparan," ucapnya, seraya memegang kedua pipi adiknya. "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?"

"A-eh, Abang. Tidak, ma-maksudku ini hanya kesalahpahaman saja. Tadi Nala tidak sengaja ditampar oleh orang, dia mengira bahwa aku temannya dan ingin mengejutkannya, tapi ternyata salah sasaran."

"Abang tau, bahwa kau sedang berbohong. Abang tidak sebodoh itu, Nala. Ini jelas tamparan yang bukan hanya dilakukan satu kali saja."

Pernyataan dari Bagaskara, membuat Nala terdiam kaku. Suara intonasinya memang biasa saja, tapi jelas menyiratkan bahwa ia sedang menahan amarahnya. Belum lagi rahangnya yang mengeras, menambah kesan bahwa kakaknya sedang marah.

"Dan mengapa kau baru pulang? Ini sudah tengah malam, Nabastala!" tanya Bagaskara, dengan suara yang sedikit berteriak.

Nala meneguk salivanya. "A-bang, Nala baru saja selesai les rutin seperti biasanya."

"Abang tidak sebodoh itu, Nala. Ini waktu liburmu!" seru Bagaskara. "Aku tidak sebodoh itu, meskipun aku tidak bersekolah, dan tidak sepintar dirimu, tapi aku cukup paham situasi yang sedang kau alami, Nala. Berhentilah berbohong! Jangan sampai, aku yang mencaritau sendiri, Nabastala!"

"Abang, aku lelah. Bisa biarkan Nala untuk tidur?" pinta Nala.

Bagaskara menghela napas lelah, ia mencoba untuk menetralkan deru napasnya yang semula memburu. Memejamkan kedua matanya, serta memijat pelipisnya. "Tidurlah."

"Terima kasih, Abang. Besok Nala jelaskan," ucap Nala, dan berlalu dari hadapan Bagaskara yang menatap nanar punggung adik keduanya.

Mengapa cobaannya tak kunjung berhenti?

Sebenarnya, apa yang sedang Tuhan siapkan untuknya?

"Tidak ada yang berkata kau tidak boleh menangis, terluka, dan kecewa. Kekecewaan, luka, dan air mata-lah yang membuatmu lebih kuat."

Ia sering mendengar seseorang mengatakan itu, tapi yang jadi pertanyaan, sampai kapan harus merasakan itu semua? Ia lelah jika harus terus menerus menangis, kecewa terhadap orang sekitar, dan sudah berapa ribu air mata yang dia keluarkan, tapi kebahagiaan itu tak kunjung datang. Ia lelah.

"Lelah hanyalah sebuah kata untuk orang-orang yang lemah, yang mulai pasrah dan menyerah dengan keadaan yang sama sekali tidak memberi jalan dan arah."

Ya, itu benar. Bagaskara sudah lelah dengan semuanya. Lalu, haruskah ia menyerah, dan meninggalkan kedua adiknya begitu saja? Pikiran egois itu, selalu datang menghampirinya. Tapi sebisa mungkin, ia singkirkan dari isi kepalanya, meskipun susah, tapi ia harus berusaha.

Setiap malam, Bagaskara memang selalu seperti ini. Terlarut akan pikirannya sendiri, ditambah angin malam yang bisa membuatnya tenang, ia tersenyum tapi air matanya lolos begitu saja. Terisak pelan, berusaha untuk meredam suara tangisnya, meskipun tidak bisa. Tidak peduli, orang menganggap dirinya cengeng, inilah dia, dengan ketidaksempurnaan yang dimiliki. Jika menyangkut keluarganya, ia memang lebih cengeng dari siapapun.

Umurnya yang masih menginjak 20 tahun, sudah harus merasakan pahitnya kehidupan. Harus berjuang sendirian, untuk menafkahi kedua adiknya. Menyempurnakan kedua adiknya. Karena dia tidak ingin, jika suatu saat Nala maupun Nila, merasakan kembali, apa yang kini sedang ia rasakan.

Tuhan, mengapa cobaanmu sangat berat untukku? batin Bagaskara.

Masa remajanya harus ia korbankan begitu saja.

"Bang?"

Panggilan itu, membuat Bagaskara menghapus jejak air matanya dengan kasar, lalu menoleh dan tersenyum.

"Hm? Kenapa nggak tidur?" tanya Bagaskara.

Ia melihat jika Nala sedang berada di belakangnya. "Nggak baik nangis sendirian."

"S-siapa yang menangis?" tanya Bagaskara.

"Bang, Nala tidak sebodoh itu. Nala sering mendengar Abang menangis di malam hari, ada apa? Apakah beban ini sangat berat?" tanya Nala.

Pertanyaan Nala, dapat memukul telak hati Bagaskara. Bagaimana bisa, adik keduanya sangat peka terhadapnya?

Lalu tak lama kemudian, Nala mengeluarkan sebuah amplop yang lumayan tebal, dan memberikannya pada Bagaskara.

"Apa ini?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Itu gaji Nala," jawabnya dengan pelan.

"Kau bekerja?!" pekiknya, yang langsung diangguki oleh Nala. "B-bagaimana bisa kau bekerja? Sekolahlah dengan benar, biarkan Abang yang menanggung kalian berdua."

"Bang, Nala tidak bisa hanya dapat menerima pemberian dari Abang. N-ala merasa tidak berguna," cicitnya.

"Nabastala! Kau sudah seharusnya sekolah, begitupun dengan Anila! Ini tugas Abang, karena Abang tulang punggung kalian! Pikirkan nilaimu, bagaimana jika anjlok, dan kau tidak bisa melanjutkan beasiswa itu?"

"Aku tau, jika kamu sangat ingin melanjutkan pendidikan. Maka dari itu, kuliahlah. Ambil kelas karyawan, dan gapailah cita-citamu, Abang."

"N-Nala, tidak bisa seperti ini. Abang harus fokus dengan kalian berdua," ucapnya.

"Berhentilah bersikap lapang, Bagaskara!" Nala sudah muak dengan kebaikan yang sering kakaknya berikan. "Aku tau, bahwa kau merasa iri pada kita, yang bisa melanjutkan jenjang pendidikan." Ia menghela nafas panjang. "ANGKASA BAGASKARA, AKU TIDAK PEDULI BAHWA KAU KAKAKKU, DAN KAU LEBIH TUA DARIKU ATAU TIDAK, TAPI KUMOHON ... BERSIKAPLAH EGOIS SEKALI SAJA! LALU UNTUK APA KAU BERSIKAP BAIK SELAMA INI, JIKA TIDAK MENGHASILKAN APAPUN? HANYA PAHIT, YANG BISA KAU RASAKAN SENDIRIAN. SEDANGKAN K-KAMI? KAMI MENIKMATI SEGALANYA YANG KAU BERIKAN, MESKIPUN DENGAN KETERBATASAN UANG YANG KITA MILIKI. BERHENTILAH MEMIKIRKAN KEBAHAGIAAN KAMI, LALU RAIHLAH KEBAHAGIAANMU SENDIRI."

"Aku sudah mengumpulkan uang ini, selama setengah tahun terakhir. Seharusnya ini cukup, untuk kau melanjutkan pendidikanmu yang sempat tertunda itu. Terima kasih, karena sudah merawatku, serta Nila dengan baik. Abang ... jika kau lelah dengan semua ini, pergilah, aku tidak akan memaksamu untuk bertahan. Aku paham, bahwa kau sudah muak dengan keadaan kita yang tak kunjung membaik."

Bagaskara yang mendengar kalimat panjang lebar, keluar dari adik keduanya yang ia ketahui bahwa adiknya itu sangat cuek, hanya bisa menatapnya dengan tatapan nanar. Bagaimana bisa, gadis berusia 17 tahun, bisa berpikir sematang itu? Ia merasa tidak berguna sebagai kakak. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Nala?" panggilnya dengan suara serak.

"Pakailah uang itu, Bang. Itu hasil kerja kerasku selama ini, dan berhentilah berkerja. Biar aku yang mengambil alih pekerjaan itu, gunakan sebaik mungkin, belilah pakaian yang layak untukmu sendiri, dan cobalah untuk makan di restoran mahal. Aku sudah menambahkan uang yang Abang berikan untukku, lalu memasukannya ke dalam situ."

Setelah mengucapkan itu, Nala dengan segera bergegas menuju kamarnya. Ia menangis sejadinya, hatinya sangat sakit, ketika melihat Bagaskara terluka sendirian. Sedangkan ia? Ia bisa menikmati semua fasilitas yang diberikan oleh pihak sekolah untuknya, tanpa harus susah payah mencari uang seperti kakaknya.

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang