05. Quality Time

108 35 117
                                    

Hari minggu, adalah hari yang cocok untuk bersantai. Tapi tidak bagi Angkasa Family. Terlihat penghuninya sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bagaskara yang asik berkutat di dapur, Nila yang asik menyiram tanaman, dan Nala? Entahlah, dia sedang berada di kamar. Memang dasarnya, anak kedua dari keluarga Angkasa itu sangat tertutup. Kesehariannya hanya diam di kamar, ia keluar kandang, jika perutnya lapar. Atau bahkan, jika malas sedang menyergapnya, ia bisa tidak keluar sedikipun. Bagaskara seringkali mengetuk pintu kamarnya, hanya untuk mengetahui bahwa adik keduanya itu masih hidup atau tidak.

"Kak, Nala! Ayo makan," teriakan dari Nila, membuat konsentrasi Nala buyar. Ia menghirup oksigen dengan susah payah, namun usahanya gagal, karena adiknya itu terus menerus memanggil namanya. "Kak, Nala!"

Nala yang sudah tidak bisa berkonsentrasi, dengan segera membuka pintu kamar. "ADA APA?!" teriaknya dari lantai atas.

Nila melambaikan tangannya. "Buruan makan."

"Duluan aja," ucapnya, lalu hendak berbalik menuju kamarnya kembali. Tapi ucapan Bagaskara, membuat Nala mematung.

"Abang mau bicara sama kalian, penting."

"Nanti aja, Nala ada kerjaan."

"Sekarang, Nala."

Suara itu, itu adalah suara yang biasanya digunakan oleh Bagaskara, ketika ucapannya dibantah. Lelaki itu, tidak suka jika ada seseorang yang membantah ucapannya. Ia akan sangat membencinya. Bukan otoriter, bukan. Hanya saja, selama ucapannya baik, dan membawa pengaruh bagus, lalu untuk apa mereka membantahnya? Bukankah begitu?

Nala dengan segera turun, dan langsung duduk di meja makan.

"Mau makan apa?" tanya Bagaskara.

Nala hanya menatapnya sekilas. "Tumben masak banyak?"

Bagaskara tersenyum, ia lalu mengelus puncak kepala sang adik. "Ini semua berkat uang pemberian kamu."

Nila yang mendengar itu, hanya menatap keduanya dengan air wajah bingung. "Uang? Maksudnya?"

Sang tulang punggung, menatap Nila. Lalu mengelus pipinya dengan sayang. "Nala kasih Abang uang."

"Kak, Nala? Tapi, dia--darimana?" tanyanya kebingungan.

"Nala kerja," jawab Bagaskara.

"Kerja? Terus uangnya mau Abang apain?" tanya Nila.

"Aku menyuruhnya untuk kuliah."

Pernyataan singkat dari Nala, membuat Nila menatapnya. Tentu ia senang, jika kakak tertuanya bisa kembali melanjutkan jenjang pendidikan, itu yang selama ini ia harapkan.

"Bentar," Nila lalu berlari menuju kamarnya, membuat kedua kakanya kebingungan. Lalu tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah tas kecil, dan memberikannya pada Bagaskara.

"Apa ini?" tanyanya.

"Buka aja," ucap Nila.

Bagaskara menuruti permintaan sang adik, kedua bola matanya membulat, ketika melihat isinya.

"Nila tau, dan sekaligus minta maaf, karena hanya bisa membantu sebisanya. Itu uang, hasil Nila mengajari les tambahan."

Nala yang mendengar itu, dengan segera merampas tas tersebut. Lalu mengembalikannya pada Nila. "Ambil! Jangan pernah bantu kita berdua, tugas kamu hanya satu, sekolah dengan benar!"

"Tapi, Kak--"

"Nggak ada tapi-tapian! Sekolah dulu yang bener, banggain kita berdua, jangan lakuin hal apapun yang bikin sekolah kamu terganggu!"

"Bener, apa yang diucapin Nala. Balikin uang ini sama temen kamu itu, kamu nggak perlu bantu kita. Dengan cara kamu yang juara kelas, dan jadi salah satu wajah sekolah aja, itu udah bantu derajat keluarga kita." Bagaskara, kini meraih telapak tangan Nila, menggenggamnya dengan erat. "Paham?"

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang