21. | Commit with me

43.4K 5.3K 1.5K
                                    

Hallo,

sebelum baca ceritanya, I just wanna say thank you ... buat pembaca yang baik-baik banget, bahkan banyak yang pengertian bahwa aku butuh space setelah kasus hilangnya data/file di laptopku.

I know, it's not even your problem, at some point juga bukan urusan kalian, tetapi dengan bersedia sabar, nungguin dan menahan diri nanya-nanya update, itu beneran mengurangi stress-ku 😘

.

3.830 kata untuk bab ini
belum ketemu Ravel
tapi semoga ketololan bapaknya Ravel masih cukup menghibur, pfftt

happy reading
and please be nice

사랑해

🌟

21. | Commit with me

"Akhirnya, Bu Yaya datang juga..."

Soraya tersenyum pada suster yang menyapanya, meletakkan wadah makanan berisi dua belas sandwich dan enam kemasan jus. "Silakan ya, buat sarapan."

"Terima kasih, Bu. Saya kabari dr. Tian dulu."

"Kagendra sudah bangun?"

"Sudah, Bu Lyre juga sudah." Suster tersenyum lebar. "Ini baru mau saya teleponkan Ibu sebenarnya."

"Telepon saya, ada apa?"

"Bu Lyre yang minta, katanya tolong bilang Ibu supaya segera datang."

Soraya menyipitkan mata, lebih masuk akal jika Lyre minta tolong Kagendra untuk meneleponnya. "Kok, Lyre tahu suster bisa telepon—"

Indikator pemanggil yang kemudian menyala-nyala membuat mereka terkesiap.

"Itu ruangan Lyre! Minta dr. Tian segera ke ruangannya," pinta Soraya, setengah berlari memasuki ruang rawat putrinya.

"Re ..."

Lyre menangis keras, wajahnya basah dengan cucuran air mata. Kagendra tampak kebingungan untuk menenangkan.

"Mamaa ..." isak Lyre.

"O... oh iya, ini Mama." Soraya bergegas mendekat, duduk di pinggiran tempat tidur sang putri dan segera meraih tangan yang terulur untuk saling menggenggam. "Shh... bilang Mama mana yang sakit?"

"B- bayiku ... mau ba... bayiku..."

"Bayi?" Soraya segera ganti menatap Kagendra.

"Tiba-tiba nanya nama, saya kasih tahu namanya Ravel," kata Kagendra dan menghela napas pendek. "Setelahnya Lyre nangis terus."

Soraya segera kembali fokus, mengelapi tetesan air mata putrinya. "Tenang ya, Kagendra akan minta Ravel segera dibawa ke sini, ya ..."

"Enggak bisa begitu, Ma," ucap Kagendra dan geleng kepala. "Saya harus yakin dulu kondisinya Lyre cukup stabil, dr. Tian—"

"I want my baby!" seru Lyre dan kembali memandang Kagendra, rasa takut seperti memenuhi benaknya saat lelaki itu tetap memberi gelengan.

"He's not a baby ... dia anak berumur empat setengah tahun yang nyaris jenius! Dia bakal sadar kalau ada yang salah dari kamu."

Isak tangis Lyre seketika bertambah keras, ia pasti benar-benar bersalah, sehingga mengalami semua ini.

Ravel.
Kharavela Arsyanendra Pradipandya.
Lyre kembali mengulang-ulang nama itu, mencoba mengingat dan tidak ada gambaran apa pun yang terlintas dalam pikirannya.

REPEATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang