9. | Camping: Day I

45.8K 4.6K 1K
                                    

Hallo, Bestie~
Jumpa lagi dengan Asha di Mal-ming bahagia karena jumpa Kagendra , pfft~~

Bytheway ... kalian semua sehat 'kan yay? Maafkeun kalau slowrespon di dm / komen, betul-betul baru senggang ini tadi.

okidoki tyda perlu berlama-lama
2.500 kata, semoga kalian sukaaa

🌟

9. | Camping: Day I

"Kenapa lo? Bukannya senang bisa liburan. Tuh, anak lo udah kayak kelebihan dopamin," sebut Waffa. Ia dan Desire memang sengaja mengantar keluarga kecil itu ke bandara.

Kagendra memperhatikan Lyre yang sebisa mungkin mengawasi Ravel berlari-lari mencoba mengejar Desire. Ruang tunggu prioritas memang tidak begitu ramai, namun tetap saja, anak itu perlu diawasi. "Mendadak stress gue, Ravel bilang pengin adik ... lima lagi."

Waffa langsung tergelak. "Mampus!"

"Sial, kayaknya Mama nih yang ngasih tahu Ravel soal adik itu, ck!" decak Kagendra, sejujurnya kesal sekali.

"Lyre tahu enggak?"

"Tahu, orang ngomongnya depan kami berdua."

"Terus, dia gimana?"

"Ya, habis diam aja, katanya nanti pasti pelan-pelan bisa jelasin ke Ravel." Kagendra menghela napas panjang. "Soal cerai ini aja, estimasinya baru bisa jelasin setelah Ravel minimal kelas tiga sekolah dasar. Itu artinya masih sekitar lima atau enam tahun lagi, kalau selama rentang waktu tersebut dia minta adik terus, 'kan stress."

Waffa tidak habis pikir. "Lo sama Lyre bikin estimasi waktu penjelasan soal cerai ke Ravel?"

"Iyalah, enggak mungkin selamanya beralasan gue kerja, makanya enggak serumah lagi. Enggak mungkin juga beralasan Lyre ada acara sama Dede terus saat gue bawa Ravel tinggal di apartemen tiap weekend."

"Lo beneran minta jatah waktunya weekend?" tanya Waffa sebelum menggaruk kening. "Sabtu-Minggu apa cuma Minggu doang?"

"Sabtu-Minggu lah, kenapa emangnya?"

"Lah, enggak refreshing emangnya, Shakti aja enggak sabar ngajakin lo Saturday Night. Clubnya bakal habis-habisnya buat nyambut elo, Ndra..."

Kagendra seketika menyeringai. "Bisa diatur, dia bikin acara Friday Night juga biasanya seru."

"Lo bakal butuh waktu sampai yakin bisa balik jadi lajang yang bebas atau langsung aja mau main sama—"

"Langsung, lah! Orang gue yang mau cerai ngapain bertingkah kayak pesakitan pas beneran udah selesai."

Waffa meringis. "Terus soal adiknya Ravel tadi, lo udah pasti enggak mau nyoba hubungan baru? Siapa tahu penggantinya Lyre beneran—"

"Enggak! Suka sama suka udah cukup dan karena hanya sekadar itu, gue enggak mau ngulang kesalahan. Lo tahu sendiri, gue tadinya malah enggak mau punya anak."

Waffa tahu itu, Tio Pradipandya tipe orang tua yang ketat sekaligus keras sejak Kagendra kecil dan tanpa keberadaan sosok ibu, membuat sahabatnya itu cukup menderita untuk memenuhi segala tuntutan. Bahkan hingga dewasa, ada banyak keputusan yang harus Kagendra ubah jika ayahnya tidak setuju.

"Ravel itu termasuk keberuntungan diantara banyak kesialan. Gue enggak yakin bisa dapat yang kayak dia lagi, terutama kalau ibunya bukan Lyre," ungkap Kagendra lalu menatap Waffa lekat. "Gue aja sempat kepikiran mau steril sekalian, Fa."

"Hah?" sebut Waffa dengan syok.

"Sebelum Papi tumbang sempat ngomongin itu, dan Lyre juga setuju, dia habis suntik pasti demam soalnya."

REPEATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang