3. | Memulai proses perpisahan

49.1K 4.7K 608
                                    

Aloha!
jumpa lagi kita dengan Papa dan Mamanya Ravel yang minta di 'hih' banget~

yang udah ancang-ancang
nyiapin daftar makian
siap release emosi terfendam
tenangs, tensi kampretnya Bapak Kagendra cukup stabil di lima bab pertama inieh 👍🏻

1.750 kata
well, cerita ini susah disukai sih
tapi semoga kalian tetep excited ya
selamat membaca bestie

3. | Memulai proses perpisahan


"Mas, aku harus ikut ke Mama, enggak?"

Pertanyaan itu membuat Kagendra yang baru selesai mandi seketika menggeleng. "Enggak usah, ada Dede di rumah. Waffa udah bilang ke dia tadi."

"Dede juga nanya tadi di kantor. Aku udah bilang, kalau itu bukan salah siapa-siapa, menurutku dia cukup ngerti."

"Apanya yang bukan salah siapa-siapa," ujar Kagendra membuat Lyre menatapnya. "Mana mungkin juga dia ngerti kalau enggak ada apa-apa terus cerai."

"O... oh."

Kagendra kembali geleng kepala. "Kamu enggak usah ngomong apa-apa lagi, soal Mama dan Dede biar jadi urusanku sepenuhnya," katanya lalu mengulurkan tangan.

Lyre segera mengambilkan botol parfum, menyerahkannya pada Kagendra. Ia kemudian beralih mundur untuk mengambilkan pakaian ganti. Sewaktu menyiapkannya, Lyre tersadar ada tas belanjaan dengan logo butik ternama, khusus pakian dalam dan gaun tidur, di dekat nakas.

"Buat kamu," kata Kagendra.

Lyre menoleh dan tersenyum. "Terima kasih."

Kagendra menerima pakaian ganti dari istrinya lantas berujar, "Pakai itu nanti."

"Iya."

***

Kagendra menarik napas panjang begitu menghentikan mobil di halaman rumah milik keluarga Danumerta Hadisoewirjo. Sang paman berpulang dua setengah tahun yang lalu akibat kecelakaan nahas, membuat rumah megah ini hanya ditinggali oleh sang bibi dan adik sepupunya.

Kinar Pradipandya, sang bibi sekaligus ibu pengganti untuk Kagendra, merupakan sosok yang cukup penyayang. Namun tetap saja ada jarak diantara mereka, jarak yang Kagendra yakini akan semakin jauh membentang usai pemberitahuan tentang perceraiannya. Desire Hadisoewirjo, adik sepupunya juga. Kagendra tahu dirinya perlu bersiap menghadapi pertentangan yang mungkin mereka sampaikan.

Kagendra keluar dari mobil, sedikit berlari menaiki anakan tangga pendek-pendek menuju teras tempat pintu utama berada. Pintu ganda berukir itu sudah lebih dulu terbuka sebelum Kagendra perlu membunyikan bel.

Desire berdiri dengan raut datar sewaktu sosok Kagendra tampak sepenuhnya di depan pintu. "Mama ... Kaka udah datang nih," seru Desire, jelas tidak mau berbasa-basi terlebih dahulu.

"Malam, Mbok," sapa Kagendra pada Simbok, pelayan yang membukakan pintu untuknya.

Simbok mengangguk ramah, menutup pintu usai Kagendra melangkah masuk. "Sudah ngeteh belum hari ini?"

"Udah, kayaknya enggak lama, jadi enggak usah buatin minum," jawab Kagendra lantas membuntuti Desire yang berbalik pergi ke ruang keluarga.

Kinar Pradipandya duduk di sofa tunggal yang dahulu kerap ditempati oleh suaminya. Di pangkuan wanita lima puluh lima tahun itu terlipat selimut tipis.

"Malam, Ma," sapa Kagendra lalu mendekat untuk mencium tangan.

Kinar mengangguk, menahan tangan mereka tetap tertaut usai Kagendra menciumnya. "Kenapa menantu sama cucu Mama enggak diajak, Ndra?"

REPEATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang