25. | In pain

44.1K 5.2K 1.2K
                                    

Aloha
Kamis maniess bersama KagenBi yang pait,
wakakaka so ironic

Finally 25 Bab
udah setengah bagian cerita tertuliskan. Kalian masih semangat? Atau justru males karena KagenBi denial melulu, fufufu

sabar ya Bestie~

.

3.923 kata
enggak tahu, makin ke sini makin susah dipotong / displit babnya -_-"

.

happy reading
hope you like it
just be happy
always choose kind

and

thank you.

🌟

25. | In pain


Sangatta Lukesh Abbiyu Kanantya membuka matanya, mengerjapkan beberapa kali hingga cukup sadar tengah berada di kamarnya. Ia pulang, kembali ke rumah yang delapan tahun lalu ditinggalkannya. Lyre, adiknya terluka akibat kecelakaan, itu sebabnya dia harus segera bangun dan memastikan keadaan.

"Kamu sudah bangun?"

Suara lembut itu membuat Esa menoleh ke pintu kamar mandi. Ibunya menua, dengan helai-helai kelabu yang semakin ketara pada rambutnya. Namun, selain itu, paras dan postur tubuhnya terlihat sama.

"Papa enggak kasih izin Mama ngecat rambut?" tanya Esa.

Soraya meringis. "Mama yang sengaja enggak cat. Mama udah accepting sama uban-uban ini."

"Accepting," ulang Esa dan menunggu sang ibu mendekat, duduk di pinggiran ranjangnya untuk memeluk.

Hanya keheningan yang membentang selama sekitar setengah menit. Esa tahu bahwa ibunya memang selalu berhati-hati terhadapnya. Ibunya selalu tahu bagaimana cara menjaga sisi emosionalnya yang sensitif.

"Terima kasih, Ma ... kamarku terasa nyaman," ungkap Esa, menyadari banyak perubahan yang dilakukan.

Soraya mengangguk. "Sekalian renovasinya, tahun lalu sempat gempa cukup besar sampai dinding belakang retak parah. Papa khawatir."

"Mama sehat, Ma?"

"Salah satu untungnya bersuamikan Papamu, kesehatan Mama terjamin ... bahkan terkadang Mama sudah merasa sembuh sebelum sadar sedang sakit."

Esa terkekeh. "Contoh majas hiperbola yang bagus, Ibu Yaya."

Soraya memang sengaja berkelakar, demi melihat senyum putranya. "Kamu sendiri sehat?"

"Masih cacat, tapi sehat."

"Esa ..."

Esa tertawa, menggerakkan setengah lengan kanannya yang buntung karena amputasi. "Come on, Ma, ini juga bentuk accepting."

"Ya, tapi ..."

"I'm fine ... jadi orang cacat itu dapat banyak keuntungan, aku selalu masuk daftar prioritas tempat duduk. Kalau naik pesawat juga, pramugarinya selalu memastikanku nyaman. Petugas bandara juga sigap mendampingiku sampai selesai proses imigrasi. Satpam juga, langsung membantuku bawa barang, enggak jarang menahan pintu lift untukku."

REPEATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang