Chapter XVI. The Thin Line

191 28 0
                                    

---Batas Tipis---

Dalam hitungan detik, kaki Rosela ditarik Nixia hingga tubuhnya menghantam lantai. Ia masih mampu bangkit dan semakin beringsut mundur disaat Nixia semakin mengikis jarak diantara dirinya.

"Nix...ini aku Rosela," ucap Rosela disela tangis ketakutannya.

Lagi-lagi kaki Rosela menjadi sasaran Nixia. Tangannya berpegangan pada tiang besi disamping pintu keluar, disaat kakinya kembali ditarik.

Adu kekuatan antara Nixia dan Rosela pun terjadi. "Ssh," desisnya saat kembali menghantam lantai.

Wajah pucat, datar dan mata hitam polos itu menatap Rosela, membuatnya bergidik ketakutan. Nixia menindih tubuh Rosela.

Gigi tajam muncul disaat Nixia membuka mulut. Rosela bisa melihatnya dengan jelas, ia rasakan nafas Nixia begitu panas menembus baju pelindung medisnya sampai ke leher.

Iris hitamnya melirik ke kanan, sebuah pisau bedah tergeletak. Ia berusaha meraih pisau itu, tapi beban tubuh Nixia membuatnya kesulitan untuk bergerak.

"Aaarghh..." Tubuhnya seperti terbakar, lendir yang keluar dari tubuh Nixia bagai cairan lava gunung berapi.

"Nix, aku tidak ingin membunuh..." Tangis Rosela yang berhasil menggenggam pisau bedah.

Tangan Rosela reflek menyayat lengan Nixia saat ia mencoba untuk merobek baju pelindungnya. Sebisa mungkin ia menghindari area vital, ia hanya ingin bisa lepas dari tubuh Nixia yang menindihnya.

BRAK

Pintu bilik kaca berhasil dijebol, bertepatan dengan itu tubuh Nixia melemas dan ambruk tidak sadarkan diri.

Kara dan seorang petugas medis masuk membantu Rosela untuk bangun. Tubuhnya masih lemas dan harus ditopang oleh Kara untuk berdiri.

---
Bunyi alat medis menggema di ruangan yang sunyi. Bau obat-obatan dan antiseptik dapat tercium begitu kuat di indera penciumannya.

Ia membuka mata, irisnya menyesuaikan dengan silau cahaya ruangan. Menengok disekelilingnya sebuah infus terpasang dilengan kirinya.

"Dimana ini?" lirihnya dibalik masker oksigen yang terpasang. Gadis itu mengubah posisi terbaringnya menjadi duduk.

Tidak ada orang satupun disekitarnya. Ruangan putih polos dan sebuah kaca pemisah. "Ah, aku ingat dilempar Casis." Ingatan pertama yang muncul dikepalanya.

Ia melepas masker oksigen, selang infus dan berdiri disamping brangkar. Ia merasa tubuhnya sangat ringan. ia berjalan mengelilingi ruangan.

"Dikunci." Ia menelengkan kepala mendapati pintu terkunci. Dibalik kaca transparan ia tidak menemukan satu orangpun yang melewati ruangan. 

ZING

Bunyi pintu geser mengalihkan fokus gadis itu.

"Rosela." Suara seorang gadis menyambutnya begitu pintu bergeser.

"Nix...Nixia..." Rosela langsung menghambur memeluk Nixia, air matanya mengalir membasahi baju pasien Nixia.

Nixia yang bingung dengan situasinya hanya membalas pelukan dengan kikuk. Pelukan Rosela semakin lama semakin erat, sampai membuatnya sesak tidak bisa bernafas.

"Sel, sesak." Suara Nixia berbisik menepuk punggung Rosela. "Ah maaf, aku terlalu senang melihat mu."

"Bagaimana perasaanmu? Ada tubuh yang sakit? Bagaimana kau melihatku?"

"Sst, satu-satu." Nixia menempelkan telunjuknya di bibirnya sendiri.

"Kurasa aku baik-baik saja, hanya saja aku-"

Kruk Kruk

Nixia tersenyum malu saat suara perutnya terdengar nyaring.

-
Sudah tiga hari sejak masuknya Nixia ke ruang isolasi. Tampilan fisik Isa semakin hari semakin berantakan, rambut dikucir asal, mata bengkak karena setiap malam menangis.

Tubuhnya juga semakin kurus karena selama tiga hari ia hanya minum air mineral.

"Isa, makanlah dulu." Callista sudah berkali-kali membujuk Isa untuk makan tapi, memang dasarnya keras kepala, Isa bahkan tidak menyentuh makanan yang sengaja Callista buatkan.

ZING

Rosela keluar dari ruang isolasi sudah disambut oleh kelima rekannya. Mereka semua serempak berdiri dengan melayangkan wajah penuh keingintahuan.

Rosela diam menunduk membuat suasana semakin tidak enak. "Bagaimana Nix?" Suara Isa sedikit bergetar.

Bruk

Sebelum sebuah kata keluar dari mulut Rosela, Isa sudah ditubruk seorang gadis yang masih menggunakan seragam pasien.

Kehadiran Nixia yang tiba-tiba membuat rekan-rekannya terkejut. Air mata sudah luruh dari mata Isa. Ia mengeratkan pelukannya pada Nixia.

Dengan derai air mata, Callista menghambur ikut bergabung dalam pelukan Nixia dan Isa.

Callisto mengelus puncak kepala Nixia. Mereka semua merasa seakan kesulitan mereka sudah diangkat dengan kembalinya Nixia.

Meski wajahnya datar, Casis juga sangat bersyukur bisa melihat anggotanya kembali utuh.

---
Tidak menunggu waktu lama setelah kesembuhan Nixia, kelompok Casis langsung berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

"Kalian yakin sudah mampu untuk melanjutkan perjalanan?" Netra Virion mengarah pada Nixia. Gadis itu tersenyum simpul.

"Aku tidak pernah sehidup ini," kekeh gadis itu, rekan-rekannya ikut tersenyum.

"Baiklah, jika keputusan kalian sudah bulat." Virion mengulurkan tangan dihadapan Casis.

"Casis, semoga dimasa depan kita bisa bertemu lagi. Jaga dirimu dan anggotamu baik-baik."

"Pasti." Casis membalas uluran tangan Virion.

Ketujuh orang itu berpamitan kepada beberapa rekan Virion juga. Dengan langkah pasti dan hati yang sudah mantap mereka mulai melangkah menyusuri pinggiran Distrik Erast.

---Tbc---

How to Escape||Outbreak Unleashed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang