Chapter XXIII. A Blizzard of Blades

170 27 0
                                    

---Badai Pedang---

Salju yang biasanya bewarna putih bersih, kini kontras dengan warna cairan merah dengan aroma anyir. Mata mereka, satu persatu menangkap potongan tubuh yang tergeletak.

Mereka melangkah mundur, kaki mereka gemetar, rasa mual muncul.

"A aku..."

Bruk

Salah seorang pemuda jatuh terduduk, wajahnya diselimuti ketakutan hingga memucat.

"Aku tidak ingin mati disini!" Pemuda itu beranjak dan berlari tidak tentu arah.

BATS

Tubuhnya tersambar oleh sesuatu berkecepatan tinggi. Tiba-tiba saja, tubuh pemuda itu sudah menempel di pohon tidak bernyawa.

Mereka tertegun, monster berlendir dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi daripada ukuran monster umumnya, dengan rakus memakan tubuh pemuda itu seperti memakan kentang goreng.

"Apa menurutmu kita bisa melawannya?" tanya Callista lirih. Fokusnya masih pada monster besar yang ada dihadapannya.

Monster itu bergerak perlahan, setiap tetesan lendir yang jatuh akan melelehkan salju. Bau tidak sedap begitu menusuk hidung.

Dua orang diantara mereka bergerak tiba-tiba, mencoba menyelamatkan diri. Jarak sepersekian detik, tangan panjang monster itu sudah menembus tubuh keduanya.

Tubuh mereka semakin bergetar, pekikan suara yang keluar dari makhluk itu begitu memekakan telinga. Nafas mereka menjadi berat merasakan tekanan makhluk itu.

"Callista jangan bergerak, jangan bergerak," bisik Isa yang melihat Callista mencoba berbalik.

Perlahan monster melangkah berlalu, sepeninggal monster besar itu, suara gemuruh terdengar. Dahan-dahan pinus bergoyang, menjatuhkan salju yang tertahan di dahan.

"Ini buruk." Nixia menangkap segerombolan monster berlari dari sisi kanan mereka.

"SEMUANYA LARI!!!" peringat Nixia.

Mereka segera berbalik meski masih terasa bergetar, mereka paksa kaki mereka untuk berlari. Isa membantu Callista yang kesulitan memapah Quillon.

Segerombolan monster mengubah haluan mengejar mereka. Kecepatan lari mereka tidak sebanding dengan para monster. Dari lima belas orang, lima orang sudah terbunuh sebelumnya.

Nixia yang berlari paling belakang hampir kehilangan nyawa untuk kedua kalinya jika bukan berkat refleknya yang cepat melindungi diri. Isa menarik lengan Nixia untuk menggantikan posisinya memapah Quillon.

"AAARGHHH!!" Isa memejamkan mata mendengar teriakan dua orang yang terseret menjadi korban.

"GOA! CEPAT MASUK GOA!" Seorang pria bersurai hitam panjang memberikan isyarat untuk mereka semua masuk kedalam goa.

Belum semua dari mereka berhasil memasuki goa. Mereka masih berjuang untuk bisa mencapai bibir goa.

DOR

Bidikannya berhasil menumbangkan satu monster. Matanya fokus membidik setelah meluncurkan peluru. Tatapan Isa dan pria itu tidak sengaja bertabrakan.

Grep

Isa menangkap senjata api yang pria itu lempar, dengan sigap gadis itu berbalik dan langsung membidik beberapa monster. Meski tidak seakurat pria itu, tapi Isa cukup membantu dalam mengulur waktu.

"Segera masuk!" teriaknya pada Isa saat semua orang berhasil memasuki goa.

Nafas mereka masih memburu. "Bagaiman jika mereka masuk?" Gadis itu menatap was-was keluar.

"Mereka tidak akan bisa," ucap pria itu percaya diri.
.
.
.
Cahaya gemerlap api unggun membentuk lingkaran cahaya lemah di dalam goa yang gelap. Sisa delapan orang bertahan di goa yang saat ini menjadi tempat perlindungan mereka.

"Apa ini garam?" Callista menyapukan telunjuknya ke dinding goa. Isa, Quillon, dan Nixia juga baru sadar jika dinding goa ini adalah lapisan garam.

Isa menatap pria bersurai hitam panjang. "Pantas saja tadi dia percaya diri," gumamnya.

Suasana tegang dalam goa tidak dapat dihindari. "Kita tidak bisa begini terus." Pria bersurai hitam itu bersuara.

"Bagaimanapun kita harus bertahan hidup," tukasnya.

"Hei Galen, memangnya kau ada cara untuk menghadapi ratusan monster diluar sana? Kita hanya ada delapan orang." Mereka semua mengangguk menyetujui ucapan pria tersebut.

"Kita manfaatkan kelemahan mereka," ucap Galen menunjuk dinding goa.

"Kumpulkan garam sebanyak-banyaknya." Tidak ada dari mereka yang beranjak. Wajah mereka seakan tidak percaya dengan ucapan pria bernama Galen itu.

Isa berdecak lalu bangkit. Ia merobek syal yang bertengger di lehernya menjadi beberapa bagian dan membagikannya pada Nixia, Quillon dan Callista.

Mereka segera mengumpulkan garam di lantai dan dinding goa. Dimulai dari mereka, satu persatu mulai tergerak untuk mengikuti mengumpulkan garam.

Mereka mengumpulkan garam sebanyak yang mereka bisa. Kini mereka duduk melingkar dengan api unggun sebagai porosnya.

Malam dingin di goa mereka gunakan sebagai waktu untuk berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyusun strategi yang paling efisien dalam menghadapi ratusan monster diluar sana.

---
"Ku lihat kalian terbiasa menghadapi monster," tanya Galen ditengah persiapan mereka. "Itu cara kami bisa hidup sejauh ini," jawab Isa tanpa mengalihkan fokus dalam mempersiapkan senapannya.

"Hari mulai fajar, waktu kita terbatas. Segera bersiap."

Galen menatap wajah-wajah mereka yang menunjukan penuh tekad untuk bertahan hidup.

"Sesuai dengan rencana. Jaga formasi, jangan ada yang bergerak sendiri-sendiri. Pantau keadaan sekitar kalian." Mereka semua mengangguk mendengar instruksi yang Galen berikan.

Sebelum fajar menunjukan wujudnya, kelompok dalam formasi membentuk dua garis vertikal, mereka keluar dari goa.

Nixia dan pemuda yang berjalan di baris pertama terus memantau kondisi sekitar. Callista bersama satu orang lainnya, menjadi garis pertahanan. Quillon yang terluka berada di tengah. Di posisi paling belakang ada Isa dan Galen sebagai penyerang jarak jauh dengan senapan mereka.

Nixia melirik ke belakang, mendapati anggukan dari seluruh orang ia menyayat telapak tangannya. Darah mulai menetes, bersamaan dengan itu. Gemuruh dan tanah yang bergetar bisa mereka rasakan.

Ratusan monster menuju mereka. Kilatan cahaya senjata mereka berkilat dibawah langit gelap.

Bunyi ayunan pisau, pekikan setiap monster yang tumbang satu persatu dan deru peluru berbunyi saling bersahutan.

Mereka terus mengoleskan garam ke senjata masing-masing. Sambil terus bertarung, mereka sedikit demi sedikit trus melangkah maju.

Callista bergerak cepat melindungi baris depan. Ia tidak ragu menghunus pisaunya. Quillon, meski tidak dalam kondisi primanya ia masih sanggup memberikan bantuan.

Kini mereka berhasil sampai di ujung hutan. Tidak ada waktu bagi mereka istirahat barang sejenak. Monster yang terus bergilir datang tidak ada habisnya.

Ditengah itu, melihat adanya celah. Mereka langsung mengambil kesempatan masuk ke goa tempat mereka kemarin keluar. Beberapa monster berhasil menyusul mereka.

JLEB

Bersamaan dengan tikaman yang Callista berikan di jantung, pagar besi di bibir goa tertutup otomatis.

Pintu besi di sisi lain terbuka, tiga orang berotot yang kemarin mengantarkan mereka terlihat.

Dalam sorot tajam, Callista berlari menodongkan pisau dan menikam leher salah satu dari mereka. Tubuhnya roboh dengan darah mengalir dari lehernya sebelum sempat mereka bereaksi.

Nixia dan Isa menahan Callista di tanah. "BAJINGAN KALIAN!" berontaknya. Isa segera melucuti pisau Callista.

Ya, mereka semua paham kemarahan yang Callista rasakan. Mereka secara tidak langsung diminta untuk mati.

.
.
.
.
.
---tbc---

How to Escape||Outbreak Unleashed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang