Chapter XXII. Trapped Shadows in Icemeet

184 29 0
                                    

---Bayangan yang Terperangkap di Iceemeet---

Pagi ini mereka semua berkemas di kamar masing-masing. Meski mereka tidak tahu apa yang terjadi tapi, suasana Casis kemarin terlihat tidak bagus.

Callista sudah siap, tas ransel dipunggung dan pakaian hangat yang ia persiapkan untuk melewati Frost Weald. Tangannya memutar gagang pintu. Dahinya berkerut saat pintu kamar tidak terbuka.

"Apa macet?" tanyanya bermonolog.

Sekali lagi ia mencoba membuka pintu, daun pintu itu tidak terbuka. "Hei!" teriak gadis itu menggedor pintu.

Dengan kasar ia memutar gagang pintu berkali-kali tapi masih tidak ada hasil. "Apa ini ulah Isa?"

"Isa! Jangan bercanda!" Kembali ia menggedor pintu. Hening tidak ada sahutan dari siapapun.

"Aghh...ruangan kedap suara." Callista menepuk jidat sendiri mengingat ruangan yang kedap suara. Tentu saja mereka tidak akan mendengarnya meski ia berteriak sampai pita suaranya hancur.

Gadis itu kembali duduk di ranjang. "Yah, pasti Casis akan membukanya saat akan berangkat." Ia mengangguk yakin.

-
"Arghhh....sialan, sampai kapan aku harus menunggu?" Callista menarik syal yang melilit lehernya kasar. Ia terduduk di lantai. Tubuhnya bersandar ke sisi ranjang.

Ia melepas tas ranselnya, mengambil permen lolipop dan mengulumnya. Wajahnya yang kesal perlahan mulai tenang seiiring rasa manis yang meleleh di mulutnya.

Ia menatap jendela. Hari sudah semakin gelap, tapi dirinya masih belum bisa keluar dari kamarnya. "Jendela mati." Callista melihat jendela yang terpasang.

"Apa aku pecahkan saja?" Sebuah ide nekat muncul begitu saja dikepalanya.

"Tidak, tidak. Tahan saja dulu." monolognya menahan diri.

Beberapa saat ia kembali menunggu. Mata coklat terangnya melirik kearah jendela. Tangannya perlahan meraih kursi.

Pecahkan saja, suara berbisik dalam benaknya.

Pecahkan saja kaca itu.

"Aku tidak akan memecahkan kaca. Aku anak baik." Callista bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia memejamkan mata.

Kruk kruk

"F*ck! Aku sudah tidak tahan!" Rasionalitas yang gadis itu pertahankan dari tadi akhirnya pecah berkeping-keping hanya karena perutnya yang meminta jatah.

Ia mengangkat kursi kayu tinggi-tinggi. Bersiap untuk memecahkan kaca jendela.

Ceklek

Kepala gadis itu langsung berputar, ia terpaku. Bukan Casis, bukan Isa. Seorang pria bertubuh besar, berotot, dan berkulit gelap memasuki kamarnya. Tampangnya yang seram sedikit membuat Callista ciut. "Apa?!"

Tanpa menjawab, kedua tangan Callista diikat di belakang tubuhnya dan dibawa paksa oleh pria itu. "Hei! Aku yang terjebak disini. Kemana kau akan membawaku?" Berontak Callista.

Tubuh kecilnya melompat-lompat, mencoba melepaskan diri dari cengkraman pria besar itu. Koridor yang semakin gelap dan lembab.

Perasaan tidak nyaman yang Callista rasakan memunculkan firasat buruk.

"Ah ah tung tunggu." Callista mengerem mendadak di bibir tangga yang mengarah ke bawah tanah.

"Kemana kau membawaku?" tanya Callista curiga. Pria itu lagi-lagi tidak menjawab dan mendorong tubuh mungil Callista.

"Sebentar, sebentar." Ia menahan tubuhnya untuk tidak didorong dengan mudah. "Setidaknya beri aku makan, aku lapar," pintanya dengan wajah memelas pada pria yang hanya menunjukam wajah tanpa ekspresi.

Callista dipaksa untuk menuruni tangga, tanpa mendapatkan keiinginannya. "Kau pria brengsek," cercanya.

Kakinya menapak di anak tangga terakhir. Tubuhnya membeku, melihat sederetan sel penjara yang ada di bawah tanah. Cahaya yang temaram, bau lembab yang bercampur dengan bau anyir.

"Apa ini? Kenapa ada bau anyir?" Mata coklatnya melirik kanan dan kiri. Di sel yang ia lewati semua ada manusia.

Bruk

Callista di dorong hingga tubuhnya tersungkur di lantai penjara yang dingin. "Aku bukan kriminal kenapa aku dipenjara?!" teriaknya.

Mulutnya membentuk 'o', matanya mengerjap bingung. Otaknya masih memproses semua yang terjadi.

"Ahh!" Kakinya reflek menendang saat ada sesuatu yang mencengkram pergelangan kakinya.

"Suaramu membuat sakit telinga."

"Quill!" Baru kali ini Callista merasa begitu bahagia bisa bertemu pria yang hobi membullynya ini. Gadis itu langsung berhambur memeluk pria itu.

"Arghh...ssh," desisan Quillon membuat Callista langsung melepas pelukannya.

Ia menutup mulut dengan salah satu tangannya. Sebelumnya ia tidak bisa melihat Quillon dengan jelas. Tubuh Quillon dipenuhi luka. Bahkan beberapa masih mengeluarkan darah.

"Kemana yang lain?" Callista menatap Quillon khawatir.

"Mereka juga disini, kurasa." Quillon berucap lemah.

---
Entah sudah berapa lama Callista berada di sel. Selain dirinya dan Quillon di dalam sel yang ia tempati juga ada tiga orang lainnya.

Selama berada disana, Callista bisa melihat pria bertubuh kekar bergantian masuk dan mengeluarkan orang-orang di sel untuk dibawa ke suatu tempat.

"Kemana mereka akan dibawa?" Callista benar-benar penasaran, sebenarnya apa yang terjadi.

"Mereka bebas." Seorang wanita menjawab Callista.

"Setiap orang yang dibawa keluar, mereka tidak pernah kembali ke dalam sel," lanjutnya.

Callista mengecek kondisi Quillon. Pria itu tertidur dengan paha Callista sebagai tumpuan kepalanya. Ia menyenderkan kepalanya ke dinding.

Helaan nafas panjang. Ia mengkhawatirkan kondisi Quillon saat ini. "Rosela," lirihnya. Bayangan sahabatnya itu muncul dibenaknya kali ini.

---
Waktu terus berjalan. Sesekali orang bertugas memberikan makanan kepada mereka. "Roti keras." Ia mengetukan roti ke tembok dan berbunyi.

"Mereka memberi kita roti atau batu?"

"Ini sudah lebih baik." Seorang pria menatap Callista.

"Setidaknya disini kami diberi makan. Jika kau pergi keluar, bisa menemukan makanan saja itu sudah sebuah karunia."

Kening Callista berkerut mendengar penuturan pria itu. "Apa kalian kelaparan diluar sana?" Ketiga orang asing dihadapan Callista tersentak. Tidak menduga gadis itu melontarkan pertanyaan secara frontal.

Klang

Serempak mereka semua mendongak. Callista, Quillon, dan pria yang mengobrol sebelumnya di tarik paksa keluar sel.

Mereka dibawa ke sebuah pintu besi yang ada di sisi kiri bangunan. Disana ada beberapa orang yang berkumpul. Mereka semua membawa senjata tajam.

Tanpa sepatah kata, pintu besi dibuka.mereka semua didorong keluar. "Waktu kalian hanya sampai matahari terbit, besok."

Mereka semua menunjukan raut bingung dengan peraturan yang tiba-tiba diberikan. Pintu besi ditutup begitu saja saat semua orang sudah berada diluar.

"Callista." Seseorang memeluknya.

"Nixia!" Callista mengeratkan pelukannya.

"Kita jalan dulu." Isa menepuk pundak Callista.

Kondisi tubuh Quillon membuat Isa membantu memapahnya untuk berjalan. Hutan pinus yang luas. "Salju, di musim panas?"

Mereka semua berjalan memasuki hutan. "Arghh! Apa ini?!" Seseorang yang berjalan paling depan berteriak.

Mata mereka semua membulat. Bau anyir yang kuat, bercak darah dimana-mana. Bahkan beberapa dari mereka menemukan potongan tubuh manusia.

"Sebenarnya situasi apa ini?" tanya Callista dengan wajah tidak percaya.

.
.
.
.
.
---tbc---

How to Escape||Outbreak Unleashed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang