---Petunjuk yang Ditemukan---
Tidak seperti Distrik Norfolk yang sudah seperti kota mati. Penduduk Distrik Erast masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari mereka dengan cukup normal.
"Bukankah disini terlalu normal?" bisik Quillon pada Callista yang berjalan beriringan dengannya.
Callista memakan roti sambil melihat sekitar mereka, pedagang dari berbagai latar belakang memamerkan barang dagangan mereka.
Kios-kios kayu sederhana dipenuhi dengan hasil pertanian segar, herbal penyembuh, bahkan barang-barang langka yang telah mereka temukan dalam perjalanan mereka.
"Benar. Apa berkat tembok pelindung mereka bisa hidup damai?" Suasana pasar yang ramai, memperlihatkan kehidupan yang seakan-akan tidak pernah terusik oleh monster.
"Tapi apa menurutmu masuk akal? Disini terlalu damai sampai membuatku cemas sendiri." Quillon masih merasa asing dengan suasana Distrik Erast.
"Hei! Kalian mau ditinggal?!" Teriak Rosela melihat Quillon dan Callista yang malah mengobrol jauh dibelakangnya.
"Sudahlah, jangan terlalu cemas. Makanan disini enak-enak nikmati saja selagi bisa." Usai mengatakan itu, Callista segera berlari menyusul Isa, Rosela dan Callisto yang sudah berjalan jauh didepan.
-
"Pasar ini menakjubkan, hampir semua barang-barang dijual disini." Callista dan teman-temannya menikmati waktu berkeliling di pasar Distrik Erast."Waah! Isa lihat!" Callista mengambil tongkat besi yang ujungnya terdapat duri-duri.
"Mengingatkanku dengan tongkat baseball yang sering kau pakai saat berkelahi. Hahaha." Gadis berambut keriting itu mengayunkan perlahan tongkat, Rosela yang memperhatikan Callista ikut tertawa mengingat masa sekolah mereka dulu.
Sedangkan Isa hanya menatap tanpa berminat, Callista yang mengetahui itu langsung meletakan tongkat dan membuka bungkus permen seakan merajuk mendapati respon Isa.
"Kau memikirkan Nix?" Pertanyaan Callista sepertinya tepat sasaran, melihat reaksi Isa yang mengerjap mendengar pertanyaannya.
"Dengar, Casis ada disana jadi nikmati waktumu disini. Bukankah lebih baik kau membelikan sesuatu untuk Nix yang bisa kau berikan saat dia pulih nanti?" Callista merangkul Isa.
"Kau sudah tidak marah padaku?" Pertanyaan Isa membuat Callista langsung melepas rangkulannya dan memasukan tangan ke saku bajunya.
"Aku masih marah karena kau mengkhianati ku saat mengambil suara di pondok." Gadis itu memasukan kembali permen lolipop bulat kedalam mulut dan berjalan meninggalkan Isa dan Rosela.
Isa terkekeh, ternyata alasan sahabatnya itu marah padanya karena masalah pengambilan suara di pondok. Rosela tersenyum setelah mengetahui alasan suasana Callista dan Isa akhir-akhir ini sedikit aneh.
-
Suara monitor tanda vital, masker oksigen yang mengembun setiap hembusan nafas yang keluar. Seorang pria bersurai pirang berdiri, dengan iris hijaunya menatap gadis yang terpejam diatas brangkar.Wajahnya sudah tidak sepucat hari sebelumnya, lukanya sudah semakin membaik. Setiap melihat gadis itu, pikirannya melayang ke saat, dimana dirinya ditarik oleh Nixia melewati gerbang Distrik Erast.
"Casis." Suara panggilan Callisto membuyarkan pikirannya. Callisto berdiri disamping Casis dan melihat Nixia.
"Dia semakin membaik," ucap Callisto memecah keheningan diantara mereka. Casis tetap diam tidak merespon.
"Aku kepasar, ada sesuatu yang mengganguku. Dan kurasa bukan hanya aku yang merasakannya." Casis menoleh, wajahnya datar membuat Callisto tidak bisa menebak apa yang pria itu pikirkan saat ini.
"Dan aku menemukan ini." Callisto mengeluarkan benda asing dari saku celananya.
Casis melihat barang itu dengan hati-hati. "Ini alat komunikasi biasa." Matanya melirik Callisto merasa tidak ada yang salah dengan barang itu.
"Coba lihat lagi," pinta Callisto. Casis memutar barang itu secara random. Gerakannya terhenti saat netranya menangkap sebuah tulisan.
"2032," gumamnya.
Suara alas sepatu yang beradu dengan lantai seakan mendekati keduanya membuat fokus dua pria itu teralihkan dengan cepat.
"Kalian disini?" Kara datang seperti biasa menampilkan senyum ramah. Casis dengan perlahan dan tidak terlihat mencurigakan memasukan alat itu kedalam saku celananya.
Tanpa basa-basi lebih jauh, Kara memeriksa keadaan Nixia.
"Meski progresnya lama, tapi dia semakin baik. Mungkin satu atau dua hari lagi, teman kalian akan segera bangun." Callisto dan Casis hanya mengangguk lega mendengar penjelasan Kara.
"Aku harus memeriksa yang lain, aku tinggal." Kara berjalan meninggalkan kedua pria itu.
"Nanti malam kita bahas ini bersama." Casis berkata rendah, diangguki Callisto.
-
Malam hari usai makan malam, mereka semua berkumpul sesuai permintaan Casis.Casis menyodorkan benda yang diperlihatkan Callisto padanya tadi saat menengok Nixia.
"Apa ini?" tanya Callista langsung menyahut barang itu.
"Kau bodoh atau pura-pura bodoh?" hardik Quillon, membuat air muka Callista berubah.
"Aku tanya karena tidak tahu bodoh," balas Callista.
"Mau dilihat darimanapun, ini alat komunikasi. Bodohmu benar-benar natural," kekeh Quillon mengejek.
"Kenapa dari tadi kau memanggilku bodoh?" Callista mulai tersulut emosi.
"Kalian." Suara rendah penuh peringatan dari Casis membuat dua makhluk berbeda gender itu mengatupkan bibir.
Setelah tenang Callisto baru bersuara,
"Seperti kata Quil, ini alat komunikasi. Seharusnya kita sudah cukup familiar." Callisto mengambil benda itu dari tangan Callista."Tapi." Callisto memutar benda itu memperlihatkan sederet tulisan yang tercetak di rangka luar alat itu. "Waktu produksi."
"2032. Tapi kapan terakhir kali kalian melihat barang dengan desain se modern ini?" Pertanyaan dari Callisto membuat semua yang ada disana memikirkan itu.
"Familiar dengan desainnya," gumam Rosela.
"Isea Tech," ucap Isa.
"Benar, tapi seperti yang kita tahu. Perusahaan itu hancur saat tahun 2032."
"Saat gelombang pertama." Casis menimpali ucapan Callisto.
"Benar kan apa aku bilang, kedamaian ini meresahkan." Quillon memeluk tubuhnya sendiri yang merinding dengan wajah serius.
Callista memutar bola mata jengah melihat kelakuan Quillon.
---Tbc---
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Escape||Outbreak Unleashed
Fantascienza--- Desember 2029, semangat Natal dan tahun baru yang penuh kegembiraan di kota New Catrioke menjadi tumpah ruah. Namun, euforia itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka ketika kota ini terkena wabah virus misterius yang merubah penduduknya menjadi...