Chapter 13

36.6K 2.9K 22
                                    

Sisil akhirnya mengambil kembali tanaman sukulen yang tadinya sudah duduk manis  di kursi belakang  mobil Reagan, kemudian ia keluarkan   lagi, dan menaruhnya di atas bagasi mobil dinasnya sendiri.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sisil berdiri di parkiran gedung The Chronicle Building, memandangi pot tanaman itu dengan hati getir. Entah mengapa rasanya ia begitu sedih karena hadiahnya tidak dipilih.

Memang dia beli tanaman itu bukan pakai duitnya sendiri. Melainkan uang bos. Tapi tetap saja, untuk mendapatkan tanaman itu, Sisil harus setengah jam berselancar di internet dulu. Tiba- tiba sebutir air mata sudah meluncur jatuh di pipinya.

Malam ini dia berubah jadi seseorang yang bukan dirinya. Biasanya, Sisil akan cuek saja kalau barang yang sudah ia pilih untuk seseorang, pada akhirnya tidak terpilih, lagi pula di beli bukan pakai uangnya. Apa bedanya dengan kali ini?

Ponsel dalam saku roknya bergetar. Alisnya menukik, ketika nomor Tara tertera di layarnya.

Segera ia berjalan dengan cepat ke bagian pintu depan mobil, mengambil tisu dan membersit hidungnya, minum air, lalu ia mengusap layar ponsel. "Halo, Ra? Kenap---"

"Mbak gawat, Mbak! Gawat!"

"Tara gawat kenapa? Ada apa?"

"Mbak Mama, Mbak. Mama jatuh pingsan!"

"Pingsan?" Sisil bertanya seolah tak mempercayai pendengarannya. Mama tidak pernah pingsan. Mama perempuan kuat. Atau paling tidak, setahunya dulu begitu. "Pingsan kenapa Tara? Yang jelas kalau ngomong." Panik jelas tak bisa disembunyikan dari suara Sisil yang menuntut penjelasan dari adiknya.

"Jadi gini ..." Tara kemudian menarik napas sejenak. Sementara Sisil sudah hampir mati karena kehilangan kesabaran. "Taraaaa...."

"Mmmm.... Mama kan ikut artisan gitu Mbak . Arisan tanah gitu katanya. Udah mau setahun ini. Setiap nyetor itu kira- kira hampir... hampir ..." Lagi, Tara tergagap. Membuat Sisil mendesah frustrasi. Dia hampir- hampir menjambak rambutnya sendiri. "Tara,"

"Hampir sejuta, Mbak..."

"Tara..."

"Maksudku ya itu. Sejuta sekali setor setiap bulannya." Kali ini suara Tara terdengar terlalu cepat.

Dan Sisil tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk meloloskan kata- kata bodoh yang paling ia benci itu, "Apa?!"

"Ya itu dia Mbak!" Suara Tara hampir sama- sama frustrasinya. "Nggak ada yang tahu hal ini selain aku. Belakangan ini aku... aku hampir ngajuin cuti kuliah, Mbak."

Tidak ada yang mengejutkan bagi Sisil malam ini, kecuali yang barusan dikatakan adiknya itu. "Cuti kuliah?" ulang Sisil tak percaya. "Apa maksudnya dengan cuti kuliah itu?"

"Yah, aku nggak tahan lihat mama, Mbak. Belakangan dia pontang- panting cari duit. Ngelesin privat anak SMP. Sampai ikut makelaran tanah pula."

"Apa?" Entah mengapa, dalam beberapa menit semenjak Tara menelepon, Sisil berubah merasa menjadi manusia paling bego, karena mengulang- ulang dialog bodoh dari sinetron- sinetron itu.

Tapi apa yang dia dengar barusan memang patut membuatnya syok berat. Tubuhnya kini bahkan sudah melorot, menggelosor di lantai beton parkiran gedung kantornya yang hening. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Karena menyesal dan menangis sama sekali tak menghasilkan uang.

Sisil kemudian bangkit perlahan. Tubuhnya seolah kosong, seperti selongsong tanpa peluru. Ia berjalan mirip zombie ke bagian bagasi mobil, di mana pot tanaman itu masih termangu, seolah sedang menantinya di sana.

Sisil harus mengeluarkan uang hampir tujuh juta untuk dapat membawa tanaman ini dari pemilik lamanya. Entah kalau dijual lagi bisa dapat berapa duit.

Akhirnya ia mengangkat ponsel, masuk ke kamera, dan memotret tanaman sial itu. Mungkin sebaiknya diposting saja di Instagram atau Facebook.  Biar jadi duit lagi.

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang