Chapter 4

47.3K 3.6K 38
                                    

"Pak Seno mau ngelamar Mama, Mbak..."

Laporan Tara pagi itu bikin kepala Sisil semakin berputar.

Semenjak meninggalnya ayah mereka, lamaran pada Widya, ibu tiri Sisil itu berdatangan. Entah dari kolega ibunya, atau tetangga, atau kenalan, atau orang yang dikenalkan temannya.

Menurut Tara, Pak Seno ini bos yang punya usaha penggergajian kayu, sekaligus toko bangunan. Usianya sekitar lima puluh tiga tahun. Kata Tara orangnya baik. Punya dua anak lelaki seusia Tara. Mantan istrinya tinggal di Pekalongan.

"Menurut kamu gimana, Tar?" Sisil bertanya. Walaupun pagi itu nyawa belum terkumpul di badan.

Tubuh Sisil rasanya remuk. Kemarin setelah semalaman menjaga Kee yang bawel bukan main itu, pagi- pagi dia harus meluncur mengantarkan Kee sekolah.

Sisil positifnya, dia dapat ransum sampai untuk makan siang dari Budhe Jum. Sisi negatifnya, Keegan, meskipun lagaknya mirip orang dewasa, tapi rupanya dia nggak lebih dari bayi gede.

Dibangunin buat mandi pagi itu susahnya minta ampun. Nih, ya. Sekolah dia masuk jam delapan. Dari Menteng ke Tangerang bisa dua jam lebih, buat antisipasi kemacetan, otomatis, Sisil harus bangunin bocah itu pukul lima pagi.

Dan yang dibangunin banyak gaya pula. Harus ngulet dulu, mesti nungging sepuluh menit, mesti diambilin minum dulu. Kemudian nyiapin air mandi di bak yang suam- suam kuku.

Yang menolong, rumah Bu Devia itu dilengkapi dengan pemanas air di setiap kamar mandinya. Jadilah Sisil tinggal duduk nungguin air mengucur dari keran, menyesuaikan takaran air panas dan dinginnya. Setelah itu, si bayi gede minta digendong!

Bagus! Bagus sekali! Kenapa juga dia mau menjalani ini semua, coba? Sisil menggerutu pada dirinya sendiri.

"Terus gimana, Ra? Aku nggak gitu ngerti Pak Seno ini orangnya gimana. Menurut kamu gimana?"

"Kayaknya mbak Sisil mesti lihat sendiri. Orangnya sih sama aku ya dibaik- baikin, Mbak. Wong dia ada maksud sama mama kok."

Suara Tara terdengar tidak ikhlas di telinga Sisil. Entah mengapa.

Sudah hampir dua tahun Sisil tidak pulang ke Ambarawa. Selain karena belum nemu waktu yang tepat, gadis itu juga harus berhemat demi biaya kuliah Tara.

Meskipun terlahir dari ibu yang berbeda, ayah Sisil selalu menekankan bahwa mereka tetaplah saudara. Harus saling bantu. Harus saling dukung. Lagipula, sepeninggal ibu kandung Sisil, mama Widya lah yang merawat gadis itu hingga dewasa.

Sisil sendiri juga menyayangi Tara seperti adik sendiri. Meskipun pernah pada suatu masa, Sisil pernah ditakut- takuti oleh teman- temannya bahwa dengan adanya adik, kasih sayang ayah dan mamanya akan terbagi.

Selama Widya hamil, Sisil terus- menerus melakukan protes. Mulai dari mogok makan, mogok bikin PR, sampai bolos sekolah.

Atas kenakalannya itu, oleh ayahnya Sisil diganjar dengan pukulan menggunakan ikat pinggang. Kalau bukan karena mama Widya, ayahnya pasti akan terus memukul Sisil yang waktu itu masih berusia tujuh tahun.

"Sisil, jangan bikin marah ayah lagi, ya. " Waktu itu, mama Widya yang sedang hamil tua sedang menyuapi Sisil yang sesunggukan habis dimarahi ayah. "Ayah sangat sayang Sisil. Ayah capek cari uang buat Sisil. Supaya Sisil bisa makan bergizi, bisa pinter sekolahnya, bisa beli baju baru, bisa pergi rekreasi ke tempat- tempat bagus. Kalau Sisil bikin ayah marah, nanti ayah bisa sakit. Sisil mau ayah sakit?"

Sisil menggeleng.

"Mbak! Mbak Sisil! Masih di sana?"

"Eh, iya..." Sisil tersentak. Terseret dari lamunan masa kecilnya. "Kenapa, kenapa?"

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang