Chapter 19

36.5K 3.4K 62
                                    


Dua hari kemudian, Kee memberikan surat undangan pada Sisil dengan muka babak belur dan senyum miring  yang jarang diperlihatkannya.

Sisil tertegun sejenak ketika menerima amplop dengan segel nama yayasan tempat Kee sekolah. "Ini..."

"Surat teguran, aku hari ini..."

"Muka kamu kenapa Kee? Ya Ampun, ini anak! Kenapa bisa babak belur gini sih?" Sisil panik sendiri, selagi tangannya mencoba menyentuh bilur- bilur di sudut mata, hidung, dan pelipis bocah itu. "Berantem?"

Dia mengangguk. Tampak sorot kepuasan, bercampur khawatir. Karena melihat Sisil sangat panik. "Ya Ampun, Keegan!"

"Kamu marah, Sisil?" tanyanya, "katanya kemarin kalau ada yang gangguin, aku harus lawan. Kenapa sekarang tampaknya kamu nggak suka?"

"Karena kamu babak belur!" sungut Sisil gemas. Segera ia melarikan mobilnya ke apotek terdekat. Membeli antiseptik dan kapas dan plester luka.

"Sini, ini harus dibersihin biar nggak infeksi. Dan coba pikirkan gimana kita menghadapi embahmu hari ini?" Omel Sisil, selagi tangannya cekatan bergerak memgoleskan antiseptik ke pelipis dan sudut mata bocah itu yang robek.

Keegan merengut. Selama ini, menurutnya orang dewasa itu nggak pernah menepati komitmen mereka. Nyatanya hal itu memang benar. Sisil yang kemarin di mata bocah itu tampak sekeren Wonder Women, sekarang ini jadi  panik  sendiri ketika mengobati luka Kee.

"Jadi kamu nggak suka aku membela diri?"

"Kee, aku suka. Gini, ya..." Aduh, Sisil jadi bingung sendiri. Mimpi apa sih dia sampai kemarin memberikan nasihat yang enggak- enggak. Oke, dia suka dan bangga karena Kee mampu membela dirinya dari tukang gencet di sekolah, tapi dia lupa, bahwa dalam prosesnya, bocah itu juga harus dapat luka- luka, yang kalau Bu Devia tahu, Sisil bisa dipelototin sampai jadi batu.

"Hari ini Owen merobek buku ensiklopedia bumi milikku, Sisil. Aku suka sekali buku itu. Itu buku hadiah ulang tahun dari daddy..."

Sisil segera mengerti. Ia menarik bocah itu ke pelukan begitu selesai mengolesi memar- memar di wajah bocah itu. "Dengar ya, Kee. Aku bangga sama kamu karena jujur sama aku. Aku bukannya nggak konsisten atau apa, tapi luka- luka kamu bikin aku takut aja. Sakit nggak, hmmmh..." Tanpa sadar, Sisil sudah menciumi kepala bocah itu.

"Tadi sakit, Sisil." Si bocah menjawab lirih. "Sekarang udah enggak. " Suaranya sedikit manja. Sisil terdengar seperti ibu yang mengkhawatirkan putranya sendiri.

"Terus tadi Owen kamu apain?"

"Aku dorong. Terus dia balik dorong aku. Luka di pelipis ini, kebentur tembok. Yang di hidung, ditonjok sama Sam, aku tendang tulang kering si Sam, lalu si Axel mukul, tapi aku menghindar, dan bikin Owen meninju mataku. Aku mengelak, yang kena cuma sudut mata. Untung ada Stefanie, dia ngancam mau manggil Miss Amy. "

"Ya Ampun, Kee... Sori kalau aku ngasih usul yang berbahaya ya..." Sebersit rasa takut tiba- tiba merasuki kepala Sisil.

Bagaimana kalau Stefanie nggak datang? Bisa- bisa Kee kehilangan penglihatannya. Perundungan di sekolah memang sesuatu yang mengerikan.

Semuanya itu diperparah dengan gembar- gembor di media sosial. Beberapa waktu lalu, sempat beredar video perundungan kakak kelas pada adik kelasnya yang membuat si adik kelas mengalami cacat anggota tubuh.

Perundungan di zaman digital ini memang jauh lebih keji ketimbang zaman Sisil kecil dulu. Paling banter, teman- teman di sekolah atau di permainannya hanya mengejek atau mengolok- olok saja. Nggak sampai main tangan.

"Buku yang kemarin dirusak sama Owen, masih ada kan, Kee?"

Bocah itu mengangguk.

"Besok kamu bawa ya."

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang