Chapter 10

41.3K 3.2K 40
                                    


"Tadi kok lo ke ruangan Pak Gatra?" Sisil menoleh terlalu cepat ke arah Nadya, membuat rekan kerjanya itu menyipit curiga.

"Dan kenapa hari ini Laras nggak masuk?"

Kali ini Sisil mengangkat bahu sebagai respon. "Emang gue emaknya?" dia berusaha acuh tak acuh. Karena merasa tak punya hak jadi juru bicara Laras yang kini sedang terpuruk dalam kesedihan.

Masalahnya memang tidak sesederhana kelihatannya. Laras sangat mencintai Satria. Namun dengan kondisi saat ini, dia tidak bisa begitu saja kembali pada pria yang telah lama jadi kekasihnya itu.

Untuk itu, dia mesti jujur. Konsekuensinya adalah Satria tidak akan menerima Laras kembali. Belum lagi kemungkinan apa yang Laras lakukan dengan Pak Gatra menimbulkan satu masalah baru lainnya; kehamilan.

"Lo banyak bengongnya ya hari ini?" Nadya mengamati setiap gerak- gerik Sisil. Gadis itu memang pintar membuat orang merasa tidak nyaman dan akhirnya memilih menceritakan rahasia mereka ke Nadya.

Hari ini, Yuna masih ikut bosnya ke Semarang, melihat  gudang. Meita juga tidak bisa ikut makan siang bareng. Hanya Nadya yang tersisa.

Dan karena hanya berdua, maka tak pelak Sisil yang jadi bahan kejulidan gadis itu . Nadya selalu Haus gosip. Sisil rasa, dia salah masuk kantor. Seharusnya dia jadi host acara gosip di televisi. Mendampingi Feni Rose.

Fandi dan Brian nongol. Entah untuk alasan apa. Karena setahu Sisil, pengacara macam mereka itu duitnya banyak. Karena bayarannya saja dihitung perjam. Yah memang mirip bayar warnet sih. Tapi kan ini perjamnya mahal gitu lho.

"Hai," Fandi  menyapa. Tangannya menyugar rambut. "Boleh gabung?"

"Boleh aja," sambut Nadya, mengerling penuh penilaian.

"Berdua aja nih?"

"Kelihatannya gimana?"

Sisil nyaris memutar bola mata. Nadya sih memang suka jual mahal. Lain sama Yuna yang memang sepertinya sudah jadi anggota Independent Women. Bukannya malu- malu tapi mau. Atau berlagak cuek tapi tertarik. Berlagak bodo amat tapi mau.

Tapi selama berada di dekat Sisil, Fandi tidak masalah. Baginya, asal bisa melihat gadis itu, sudah membuat hatinya senang.

Fandi memang pria yang penuh perhitungan. Saat ini posisinya di kantor pengacara tempatnya bekerja, belum terlalu mapan. Posisinya di firma hukum Reksoprobo masih pengacara kontrak. Jadi belum menjamin masa depannya. Maka dari itu, meskipun sudah lama tertarik pada Sisil, namun pria itu masih ragu untuk mendekati gadis tersebut.

Selesai memesan, Sisil kembali duduk.  Beberapa saat kemudian, pesanannya yang berupa soto Ambengan diantar. Nadya lagi- lagi mencibir, melihat pilihan makanan yang dipesan Sisil.

Lagi- lagi soto! Hmmmh...

"Lo suka banget ya sama soto?" tanya Fandi . Matanya tak lepas mengawasi Sisil meracik sotonya.

Sisil hanya tersenyum simpul, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Ya. Anget aja di perut. Perut gue suka error mendadak kalau kelamaan kena AC,"

Sisil lanjut mengucurkan perasan jeruk nipis. Setelah menuangkan kecap manis dan sambal. Gadis itu suka sotonya terasa manis.

Baru hendak menyuap, ponsel dalam saku roknya bergetar. Awalnya, dia mau cuekin saja getaran di sakunya. Paling juga iseng. Getaran itu berhenti. Sisil lanjut makan.

Tak lama berselang, getaran itu mengganggunya lagi. Gadis itu tidak  bisa tidak memutar bola matanya karena jengkel.

Terpaksa ia mengeluarkan benda itu. Melihat nama Dito terpampang di layarnya. "Ya, Dit. Gue lagi maksi, nih. Ada perlu apa?"

"Bos lo tuh!"

"Kenapa?" Sisil tahu pasti, Nadya sedang memasang telinga. Mencuri dengar percakapan Sisil.

"Minta dibeliin sushi dia. Dan harus lo yang beliin."

"Emang nggak bisa lo aja ya? Gue nanggung nih. Baru juga tiga suap." Sisil rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri. Stress dia. Satu keluarga bosnya itu tidak ada yang beres.

Sudah anaknya nyinyir, bapaknya tukang perintah, embahnya cerewet.

"Mendingan segera lo kerjain sekarang deh tuh. Bos lagi ada tamu."

"Pesen via online nggak bisa ya?"

"Dia takut nggak higienis." Dito berbisik. Dan kalau tak sedang berada di kantin lantai satu, pasti Sisil sudah ketawa.

***

Padahal restoran Sushi juga tidak jauh- jauh amat. Lima menit nyampai. Letaknya di Mal dekat kantor. Dasar manja!"

Sisil tidak berhenti mencibir. Sebal. Tadi sotonya kan Masih banyak. Tidak  termakan sampai habis deh. Padahal kan pantang baginya buat buang- buang makanan.

Sisil kembali ke kantor setelah menghabiskan waktu dua puluh menit. Berangkat ke Mal, restoran Sushi ada di lantai dua. Naik- turun eskalator. Balik ke lobi dan pesan taksi.

Sesampainya di kantor, dia mesti ke pantri. Mustahil menyajikan sushi ke bos langsung dari wadahnya. Semewah apapun wadah si sushi.

Bersama beberapa botol air mineral dingin yang diambilnya dari showcase pantri, gadis itu berjalan diikuti Kabul, salah satu office boy kantor yang terkenal paling rapi, juga yang paling akrab dengan Sisil.

Rupanya yang dimaksud "teman" oleh si Dito adalah perempuan yang datang tempo hari. Marinka.

Si bos langsung pasang muka SOS begitu melihat Sisil muncul. Kentara sekali kalau dia tidak nyaman dengan kehadiran perempuan yang kali itu datang dengan pakaian kurang bahan.

Well, Jakarta memang panas, sih. Tapi kan ada AC. Apalagi, AC di ruangan Reagan ini double.

Sisil khawatir kalau- kalau perempuan itu bakalan pulang dalam kondisi masuk angin. "Lama banget beli makanannya. Mal cuma lima menit dari sini,"

Kalau tidak sedang di hadapan banyak orang, tentu saja Sisil bakalan memutar bola mata. Sudah tahu jaraknya dekat, kenapa tidak berangkat sendiri coba? Apa memang dia hobi berduaan sama perempuan di ruangan tertutup?

"Maaf, Pak. " Sisil menggumam. Menyajikan piring- piring porselen berisi sushi premium dari restoran Jepang kelas atas dan tiga botol air mineral, berikut gelas yang dibantu dibawakan oleh si Kabul.

"Ada lagi yang diperlukan, Pak?" jawab Sisil dengan senyum semanis sakarin. Padahal dalam hati, rasanya mau- mau saja dia menaburkan garam Inggris buat pencuci perut.

"Nggak. Silahkan keluar," jawab Reagan ketus. Melengos. "Silahkan dimakan," ujarnya sopan ke arah Marinka. Yang sejak tadi diam- diam mengawasi interaksi antara bos dan sekretaris itu.

***

Sebelum pulang ke kosan, Sisil terlebih dulu mampir ke warung Madura dekat kosnya untuk membeli bubuk minuman cokelat sejuta umat yang harganya murah meriah itu. 19 ribu dapat serenceng.

Kalau harus lembur, dia memang suka minum itu. Sebelum pulang tadi, Dito memberinya tugas untuk membuat email berisi undangan ke para direktur dan para manajer.

Besok, jam sepuluh ada rapat bulanan. Yang berarti Sisil harus menyediakan snak, dan mengetik bahan rapat yang sudah disusun oleh Dito dan Reagan.

Ketika akhirnya Audinya sudah tiba di parkiran kos, yang Sisil inginkan adalah segera masuk ke dalam kamar. Rebahan sebentar. Mandi, bikin es cokelat, nyalain televisi, kalau tidak dinyalakan Laras lebih dulu. Kemudian mulai mengerjakan tugas.

Namun ketika ia melangkah gontai di depan ruang tamu Tante Kos, wanita parobaya yang malam itu mengenakan daster batik cokelat, melambai heboh ke arah Sisil. "Eh, Sil. Ini ada tamu. Katanya kakak sepupumu dari Semarang ya."

Di dalam ruangan luas dan terang benderang itu, Sisil melihat Mas Gagas tersenyum lembut ke arahnya. Senyuman yang lima tahun lalu membuat efek seolah ada jutaan sayap kupu- kupu yang berkepak di rongga perutnya.

***

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang