Chapter 34

40K 3.6K 174
                                    


Rumah selalu terasa menyenangkan untuk kembali.

Mama dan Tara menyambut kepulangannya dengan sangat antusias. Mama sampai berkaca- kaca memeluk Sisil, begitu gadis itu berdiri di depan pintu gerbang rumah mereka yang terletak di sebuah kompleks perumahan menengah.

Tara berceloteh tentang banyak hal. Tentang kuliahnya, tentang keputusan mama untuk menerima lamaran Pak Seno. Sementara Mama menatapnya dengan penuh kerinduan dan keharuan.

Beliau merasa seperti menemukan kembali putranya yang telah lama hilang.

"Akhirnya kamu pulang, Nak. Mama rindu. Sebenarnya, mama ingin berkunjung ke Jakarta, tapi apa daya, kesehatan mama ndak memungkinkan. " Ucap mama.

"Mama sakit apa, Ma?"

"Akhir- akhir ini, mama sering banget kecapekan."

"Udah periksa, Ma?"

Mama mengangguk. "Anemia."

"Pasti mama kurang istirahat, kan?"

Yang terjadi sebetulnya adalah, mama terlalu banyak pikiran. Memikirkan tentang hutang- hutang yang mesti ditanggung olehnya karena tertipu arisan tanah itu.  Lamaran yang diajukan oleh Pak Seno,  juga kuliah Tara, dan mengkhawatirkan bila Sisil terlalu bekerja keras untuk memenuhi biaya kuliah Tara.

"Atau kebanyakan pikiran?" sepasang alis Sisil menukik.

"Kok kamu pulangnya malam- malam gini?" Widya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Sebenarnya, dari Jakarta sore kok, Ma. Sampai sini aja udah malam."

"Lha iya, kok ndak ngabar- ngabarin mama atau Tara. Kan Tara bisa jemput di antar sama Mas Tomi." Mas Tomi adalah tetangga mereka yang biasa dimintai tolong oleh mama.

"Nggak apa- apa kok, Ma. Tabitha lagi bisa tadi. "

"Lha jadinya malah ngerepoti Tabitha, kan?"

Tadi sesudah mengedrop Sisil, Tabitha langsung pamit. Sisil sudah menawarinya untuk mampir. Tapi Tabhita mengatakan ini sudah terlalu malam untuk mampir, dan sebaiknya, Sisil istirahat saja.

Malam itu akhirnya mereka tidur bertiga di kamar mama untuk melepas rindu yang memberati hati mereka selama dua tahun nggak bertemu.

***

"Jadi, kamu setuju mama dengan Pak Seno?" ulang mama. Saat itu, mereka sedang sarapan bertiga. Dan mama tahu- tahu saja mengambil topik percakapan tentang lamaran pria yang konon katanya sudah melamar sang mama sampai tiga kali karena mama nggak kunjung menjawab lamaran tersebut.

"Sisil sih asal mama bahagia aja." Ujar gadis itu. "Selama empat tahun mama berjuang sendiri jagain kami. Mungkin sudah waktunya mama memikirkan diri mama sendiri." Tandas gadis itu.

"Tapi kamu sendiri gimana?" tanya Bu Widya tampak khawatir.  Bagi wanita itu, meski pun Sisil bukan darah dagingnya, namun Widya tetap menganggapnya seperti putri sendiri.

Sama halnya dengan Tara.

"Tapi kan kalau kalian berdua ndak nyaman, mama ndak mungkin lanjutin ini semua."

"Kami mau mama lanjutin hubungan ini. Mama pantas dapat yang terbaik," Sisil menoleh ke arah Tara yang tampak sedikit murung. Tapi gadis itu mengangguk. Nggak ingin merusak kebahagiaan mama.

***

Pertunangan itu akhirnya terlaksana. Keluarga Pak Seno datang ke rumah untuk melamar mama Sisil.

Meski pun bukan pernikahan yang pertama, namun Pak Seno membawa banyak sekali seserahan.

Segala jajanan, pakaian sak pengadeg alias dari kepala sampai kaki, parsel berisi kosmetik dan masih banyak lagi.

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang