Chapter 24

38.8K 3.6K 92
                                    


"Kacau banget ya tadi keadaannya?"

Carr bertanya dengan wajah simpati. Mereka kini duduk di lantai tiga bangunan tersebut. Di ruang makan pribadi yang bernuansa cokelat kayu.

"Lo sendirian?" tanya Carr, Sisil mengangguk. Pria itu membuka sebotol Perrier dingin dan memberikannya pada Sisil yang kelihatan baru saja ditarik dari gua alien dan sedang merasa shock berat.

Pria itu mengangguk, sembari memperhatikan Sisil yang minum dengan rakus, setelah menuang isi botol ke dalam gelas. "Lo kebetulan ada di sini, atau memang ada janji?"

Carr mengangkat bahu. "Tadinya ada janji," ujarnya, "tapi bisa dibatalin sih."

"Kencan panas?"

"Kalau mengulik sesuatu dari gue bisa bikin lo seneng, then, memang iya," Carr mengangguk, merebahkan punggung pada sandaran sofa. "Nggak bermaksud begitu juga," jawab Sisil murung.

Hari ini suasana hatinya sedang sangat buruk. Dia kacau, karena ternyata ekspektasinya tentang menjadi talent rusak sudah. Ia berpikir, ke depannya pasti banyak banget cowok setipe Theo yang menyombongkan diri dengan segala omong kosongnya tentang harta kekayaan orangtuanya.

Yang seperti itu bukannya Sisil mau menghakimi. Itu hak mereka. Menyombong memang salah satu sifat alami manusia yang merasa hidupnya lebih beruntung secara materi atau keadaan dari orang lain di sekitarnya.

Hanya saja, entah mengapa Sisil merasa muak. Ia ingin semuanya ini segera berakhir.

Sempat terbetik dalam kepalanya agar dia pulang saja ke Ambarawa. Tapi, ia masih memikirkan perkataan Tara di telepon. Bahwa belakangan, mama sudah terlalu sering absen mengajar.

"Mama udah keseringan nggak enak badan, Kak. Aku takut banget. Bukannya takut kalau beliau enggak bisa kerja. Tapi takut kalau mama nggak bisa lagi dampingin aku. Dampingin kita. Kakak gitu juga nggak, sih?"

Tentu saja Sisil juga begitu. Masih memiliki seorang ibu adalah sebuah keberuntungan yang nggak terkira. Ibu atau mama, atau orangtua kita adalah tempat kita pulang dikala dunia sudah membuat kita lelah.

Dan kalau dia pulang ke Ambarawa, tentu ia masih ingin melihat mamanya sehat, tersenyum, menyambutnya pulang dan memasakkan soto untuk Sisil, menemaninya makan selagi Sisil menghabiskan semangkuk soto sembari bercerita tentang teman- temannya di sekolah.

"Siiillll...."

Suara Carr membawanya kembali ke ruang makan pribadi, dan kali ini sudah ada pasta tagliatelle, chicken parmigiana, salmon di atas pasta Alfredo, serta dua botol anggur Pinot Gris.

"Makan dulu, gih. Gue nggak mau digorok sama abang gue yang autis tuh kalau tahu, sekretaris kesayangannya gue biarin pingsan kelaparan," senyum jenaka terukir di bibir Carr yang seksi.

***

Carr bilang semalam, dia ingin mengajak Sisil ke suatu tempat.

Awalnya, Sisil menolak demi memegang teguh komitmen untuk nggak lagi dekat- dekat dengan keluarga Aldrich.

Tapi, seluruh penduduk bumi ini juga pasti punya kesulitan menolak permintaan jelmaan dewa Apollo si penggaet cewek berkedok drummer seksi yang belakangan digosipkan tengah dekat dengan Nicola Brianna Sandjaja, alias salah satu cucu Arthalia.

"Jadi lo percaya sama gosip itu?" Kemarin Carr sempat menampik dengan santai gosip yang tengah beredar luas. "Lo tahu, gue sama Nic itu udah kayak sodara. Dia sahabat gue. Nggak lebih. Itu semua ulah mami.  Yang mungkin udah putus asa menjodoh-jodohkan Abang sama anak perempuan koleganya!"

Carr mempunyai wajah tampan. Sepasang alis lebat yang menaungi mata cokelat terangnya, bulu mata lebat dan lentik, serta hidung yang aristokrat.

Tubuh tingginya menjulang 186 sentimeter, dengan bahu bidang dan tegap. Rambutnya ikal seperti Cupid. Dia berbau seperti hutan pinus, tipe pria yang membuat perempuan rela melakukan dan memberikan segalanya hanya dengan tatapan mata.

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang