Chapter 14

37.6K 3.2K 59
                                    


"Sebenarnya, lo punya hubungan apa sama Pak Gatra? Kok belakangan gue lihat kalian akrab banget?" Nadya langsung menodongnya dengan pertanyaan bernada curiga, begitu Sisil mendudukkan dirinya di atas kursi kantin lantai satu siang itu.

Siang ini bosnya pergi ke luar untuk makan siang dengan Marinka. Dito yang bilang.

Jadi, Sisil bebas tugas untuk berkeliaran membeli makan siang bagi bosnya.

"Akrab gimana? Perasaan biasa aja. " Sisil berkilah, sembari menyeruput es jeruknya dari sedotan. "Elo tuh kayaknya yang makin akrab sama Ko Willy. "

Nadya melengos. Tapi Sisil masih bisa menangkap semburat kemerahan yang menyebar di wajah cantik gadis itu.

Willy adalah manajer penjualan  di Mr. Builders, terkenal dengan gaya bak Casanova nya. Suka tebar pesona, berganti perempuan, sama seperti berganti kemeja baginya.

Jadi, selain ada The Golden Epona, Reksoprobo And Partner, Chronicle Building juga ditempati oleh perusahaan- perusahaan yang tergabung dalam HGS Group. Ada Kencanawungu Cosmetics, retail supermarket bahan bangunan bernama Mr. Builders, perusahaan distribusi, logistik,  belakangan James bekerjasama dengan dua orang insinyur untuk mendirikan pabrik paku di Cilegon.

Nadya memang suka mengeluyur ke sana ke mari, sehingga kenalan cowoknya juga banyak.

Soal yang dibilang Nadya barusan memang benar sih. Pak Gatra belakangan sering mengajaknya makan siang bareng atau kadang malah makan malam. Dalam rangka apa lagi kalau bukan tanya- tanya tentang Laras yang masih mengambil cuti?

Dan karena belakangan Sisil juga punya segudang masalah yang menunggu untuk segera diselesaikan, dia jadi melupakan Laras yang sudah sepuluh hari tidak masuk kantor.

Laras yang jarang mengambil cuti memang masih punya jatah selama 24 hari untuk cuti. Sisil tahu, Laras sedang pulang kampung ke Bantul, tapi saking berjubelnya pikiran dalam kepala, dia sama sekali lupa dengan hal itu.

"Btw, memang terjadi sesuatu sama Pak Gatra dan Laras kayaknya..." Mata Nadya yang tajam itu mulai menyelidik. Sisil yang tengah menyeruput es jeruknya hanya memasang tampang beloon. Wajah polos yang tidak tahu apa- apa. Hal itu tentu saja bikin Nadya menatap sebal padanya.

"Belakangan lo agak mengalami semacam... kemunduran gitu ya?" kedua alisnya menukik tajam, disertai kerutan di dahi. "Dan kenapa bawa bekal?" Nadya mengerling ke arah lunch box warna biru berisi tumis jamur dan baso, serta telur dadar. "Btw, beli di warteg mana?"

Sedari tadi yang mendominasi percakapan itu memang hanya Nadya. Seolah- olah, dia adalah atasan yang sedang berbicara pada salah satu pegawai yang dinilai dungu. Tapi Sisil memang sedang malas bicara. Apa lagi sama Nadya.

Untung saja, Meita dan Yuna segera menyusul. Meita menanyakan hal yang sama tentang mengapa Sisil membawa bekal hari itu. "Penghematan, Beb." Ujar Sisil cuek.

"Yaelah, Beeb... Beb... Lo kerjaan doang yang borongan. Emang nggak ada duit tambahannya? Kalau gue sih mending resign aja." Yuna melempar rambut panjangnya dengan gaya menggoda.

"Bukannya Semarang lagi panas banget ya? Kok muka lo bisa glowing gitu sih?" kali ini Nadya yang bertanya. Sementara Meita sudah sibuk memesan makanan. Dan Sisil tetap makan.

"Ke salon lah. Emang gue di sana jadi sopir truk apa? Pergi pagi pulang pagi. Ya begitu kerjaan udah kelar ya kita nongkrong lah!"

"Serius lo nongkrong bareng Pak Rifat?" tanya Nadya tak percaya. Panas kupingnya mendengar keberuntungan Yuna. Pergi bareng Pak Rifat yang muda dan keren itu? Siapa yang nolak?

"Katanya doi punya keluarga di Semarang?"

"Kata siapa?"

"Berarti enggak?"

Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang