Chapter 11

39.3K 3.1K 30
                                    


"Mas nggak tahu, rupanya kamu udah jadi sultan di Jakarta," pria bernama Gagas Herlambang itu tersenyum menggoda.

Sepasang mata dibalik lensa kacamata itu mengamati sosok Sisil yang tampak pucat. "Baru pulang jam segini?"

"Iya nih, Mas. Lembur. "

"Kata Bulik kamu kerja jadi sekretaris?" alisnya menjinjit seperti bertanya atau tidak yakin. Memang pekerjaan sekretaris tidak seheboh akuntan, konsultan, atau ahli IT yang seringnya melewati malam- malam tanpa tidur.

Tapi rupanya kesibukan Sisil lebih dari itu. Hari ini memang bukan Kee yang rewel minta ini- itu. Tapi bapaknya Kee.

Sepulangnya si tamu, mendadak pria itu jadi uring- uringan tak jelas. Hal yang selalu akan dilakukannya bila ia didatangi salah satu perempuan kiriman ibu tirinya.

"Mas ke sini sendiri?" Sisil tak punya pertanyaan lain. Mereka lama tidak bertemu. Mungkin sejak empat tahun yang lalu. Ketika Sisil memutuskan untuk pergi ke Jakarta, karena dirasa Semarang sudah tak dapat menyembunyikan lukanya.

Gadis itu mengambil tempat di seberang Gagas, yang malam itu tampak gagah dalam balutan Polo-Shirt warna putih. Warna yang dulu jadi favoritnya, sehingga bila pria itu ulang tahun, Sisil tak perlu pusing memikirkan sesuatu seperti warna kado.

"Mas bawain kamu martabak. Soalnya yang mas lihat, di sini banyak banget yang jualan. Mas nggak tahu di mana tempat langgananmu. Tapi kata teman Mas, ini lumayan enak."

Dua kotak martabak mengintip dari dalam kantung keresek berwarna putih. Bahkan sebenarnya, aromanya sudah lebih dulu mampir ke indera penciuman Sisil yang tajam soal makanan. "Makasih, Mas."

Sekejap, suasana berubah awkward. "Gimana kabar Pakde sama Bude, Mas?"

"Mereka baik. Titip salam buat kamu. Liana juga. Katanya sih dia kepingin ke Jakarta juga."

Sisil hanya mengangguk- angguk. Tak tahu lagi mesti bertanya apa. Soal ibunya dan Tara, dia sudah tahu kondisi mereka. Karena setiap hari mereka teleponan. Telepon terakhir dari Tara, adiknya itu mengatakan bahwa dia butuh beli buku- buku kedokteran yang pasti harganya tidak murah itu.

Dengar- dengar, lebih dari 500 ribu rupiah. Bahkan sampai ada yang nyaris sejuta.

Pertama kali mendengarnya dulu, Sisil sempat agak down. Tapi dia sudah berjanji pada ayahnya, bahwa dia akan membantu Tara hingga adiknya itu sudah bisa mandiri.

Lagi pula, semenjak ayah berpulang, kehidupan mereka agak sedikit terguncang. Hal itu sempat membuat ibu Sisil harus menggadaikan karpek alias SK pegawai negerinya ke bank. Jadi, meskipun setiap bulan ibu terima gaji, tapi sudah dipotong untuk membayar angsuran.

"...melamun ya..."

Tangan Gagas bergerak- gerak di depan Sisil yang sedang bengong sesaat. "Eh... Eh...kenapa Mas?"

"Ngelamun kamu?"

"Oh, sorry. "

"Ya sudah. Kayaknya kamu lagi capek banget gitu. Kapan- kapan saja ngobrolnya ya. " Pria itu bangkit, diikuti oleh Sisil. Mereka melangkah hingga ke carport tempat Gagas memarkir mobilnya. "Kalau mobilku ini pinjaman," ujarnya dengan mimik jenaka.

"Ah, Mas bisa saja. Mobilku juga pinjaman kantor. Hati- hati." Suara Sisil timbul tenggelam di antara genjrengan gitar cowok- cowok yang sedang mengacaukan lagu- lagu Linkin Park, U2, Mr. Big, Bang Haji Rhoma dan Iwan Fals. "Rame ya di sini? Kamu pasti betah. Kalau Mas sebentar lagi harus pindah ke Depok. Kemarin sudah daftar. Udah cari indekos juga. Kamu kapan- kapan mampirlah..." Tatapan mata itu agak lama melekat pada Sisil. Membuat gadis itu jadi rikuh.

"Ya..." Gadis itu mengangguk, kemudian menunduk.

Jeda. Hening menyelimuti udara di sekitar mereka.

Lalu, tanpa peringatan, Gagas maju, tangannya mengacak rambut Sisil. Serentak gadis itu mendongak, menemukan tatapan penuh damba dari Gagas. Tatapan yang sama seperti   delapan tahun lalu. Ketika segala sesuatunya di antara mereka belum serumit sekarang ini.

***

"Lama banget? Siapa tamunya?" sambut Laras.

Wajah pucatnya tampak khawatir. Tapi kelihatannya keadaan gadis itu membaik. "Udah makan malam? Beli warteg atau nasgor, mau?" tanya Sisil bertubi- tubi. Malah, sepertinya dirinya sendiri yang lagi berantakan. Dia tampak seperti baru hilang dari kebon habis dibawa memedi dan jadi linglung setelahnya.

Semuanya itu dikarenakan tingkah Gagas yang kembali sok akrab dengannya. Seolah- olah tidak pernah ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang melukai hati Sisil, sehingga membuatnya lari menjauhi tempat asalnya.

Antara Semarang, Magelang, Jogja, Solo, Purwokerto, Kendal, Batang, Pekalongan. Semua tempat- tempat itu menyimpan kenangan antara kakak sepupunya dan dirinya.

Seperti misalnya kalau Sisil sedang tak bisa tidur, Gagas akan membawanya berkeliling Semarang dengan sepeda motor CB tua. Kadang ke kota bawah. Kadang hingga ke Kopeng. Malah pernah sampai bablas ke Kajoran dan Sawangan.

Dari Sawangan, mereka bisa melihat segalanya yang ada di bawah. Pandangan mata mereka tak akan terhalangan oleh apa pun. Duduk berdua menikmati kopi instan dari termos mini. Menghabiskan waktu dengan mengobrol ngalor- ngidul. Lebih sering tentang cita- cita.

Mas Gagas yang cerdas itu sebenarnya ingin jadi insinyur teknik sipil. Tapi tentu saja ayahnya yang diktator itu menekankan agar Gagas mengikuti jejaknya untuk jadi Aparatur Sipil Negara. Supaya masa depannya terjamin. Mas Gagas berakhir di fakultas hukum universitas Gajah Mada dan sekarang sedang mengambil S2. Dia sekarang seorang jaksa.

Laras mengamati sahabatnya yang seolah- olah tengah "hilang". Jarang dirinya melihat Sisil melamun sampai mirip orang tak sadarkan diri. Teledor, ceroboh, itulah Sisilia Renata. Tapi bukan gampang melamun.

"Apa, Ras?" tiba- tiba kepalanya menoleh. "Lo barusan ngomong apa?"

Laras tersenyum penuh pengertian. Mungkin tamu yang datang tadi membawa sebagian jiwa Sisil. "Gue udah masak. Sederhana sih. Cuma tumis kangkung cumi, kentang balado, sama ceplok telur. "

Lagi pula kan di tangan Sisil sudah ada kantung kresek berisi martabak.

***

Semenjak Marinka sering datang ke kantor saat makan siang, neraka baru bagi Sisil tercipta begitu saja.

Setidaknya, pukul sebelas dia harus meluncur turun untuk membelikan makan siang buat si bos. Dan lidah aristokrat Reagan tidak menerima makanan dengan mudah. Dia menggidik jijik pada nasi padang kemasan ekslusif menggunakan lunch box. Sebab rupanya, entah Sisil yang jahil atau uda penjaga rumah makan yang iseng, meletakkan gulai otak di dalam kotak makan itu.

Jadi, Sisil harus putar otak untuk mengganti menu makan siang bosnya.  Seperti siang ini. Pekerjaan membalas surel belum kelar, Dito sudah nelepon. "Bos minta beliin pasta."

Oke, pasta.

Sisil meluncur ke Senayan. Di temani lagu- lagu Delta Goodrem yang ia harap bisa menurunkan tensinya, mengurangi panasnya kepala gadis itu. Sudah Jakarta itu macet, dia masih harus dikutuk punya bos manja.

Ah, andai saja segalanya berjalan mudah baginya. Dia tak harus bertahan dengan pekerjaan ini. Posisi sekretaris, bergeser jadi asisten. Dia memang masih mengerjakan tugas- tugas seperti membalas surel, mengirim surel, mengetik materi rapat kerja, sementara yang lainnya sudah diambil alih oleh Dito.

Seandainya Tara sudah lulus. Ah, betapa berat terkadang beban yang harus ia rasakan. Saking sesaknya, Sisil memutuskan untuk berbelok ke minimarket 24 jam. Mengambil es loli rasa mangga. Duduk sejenak untuk mengambil jeda. Menghela napas. Berpikir jernih.

***


Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang