Chapter 15

39.3K 3.5K 50
                                    

"Nggak kurang gila tuh lo, Sil? Bisa- biasanya ngatain bos sendiri pecinta batangan!" Pretty tidak berhenti tergelak. Padahal Sisil sudah ketar- ketir. Takut kalau- kalau besok sudah ada surat pemecatan menunggu di mejanya.

"Lo bisa nggak sih, paling enggak empati gitu kek sama gue! Ini gue lagi stress banget gila!" Sisil menyugar rambutnya. Malam ini dia nongkrong di kamar Pretty yang tumben- tumbenan bisa balik cepet.

"Terus, terus tadi lo diapain dong?" Pretty mengedip- ngedipkan matanya. Dasar ganjen!

Ingatan Sisil kembali melayang ke acara jemput Kee tadi siang yang sepertinya mirip main film horor. Sebab suasananya mencekam banget.

Sisil duduk di depan, di samping Dito yang jadi sopir siang itu. Sementara si bos duduk bagaikan Kaisar yang siap mengeluarkan perintah kapan saja. Mobil itu sesenyap kuburan. Bergerak pun Sisil tidak berani. Bernapas dia takut salah.

Dia memang jarang ketemu si bos, tapi sekalinya ketemu ya kayak begitu. Sebab, Reagan itu beda sama bos- bos di Golden Epona lainnya. Yang lain sih kalau bawahannya kerja nggak bener baru didamprat. Nah, ini senyum saja kayaknya harus ditukar dengan selembar nyawa.

Salah sedikit dapat tatapan tajam, belum lagi omelannya yang pedas banget macam mie Jebew yang lagi viral itu.

Waktu Kee masuk ke mobil, suasana jauh lebih mencekam lagi. Bocah itu kelihatan banget canggung sama bapaknya sendiri. Sebelum duduk di samping bapaknya, Kee menatap ragu pada Sisil, dan gadis itu hanya mengangguk. Kemudian barulah Kee mau mengambil tempat di samping Reagan yang bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah anaknya itu.

Kalau gitu ngapain pakai acara jemput- jemputan segala. Sisil melihat dari rear view mirror bahwa muka Keegan itu sampai tegang banget. Hilang sudah sosok Kee yang bawel dan jutek. Bocah itu jadi seperti kembali berusia lima dan ia menatap Reagan seperti melihat orang asing.

Suasana di mobil itu sudah persis kamp konsentrasi. Tapi paling tidak, mereka pulang dalam keadaan hidup dan utuh.

***

Pretty yang sedikit banyak tahu tentang kisah Sisil di kantor tidak berhenti cekikikan. Baginya, nasib Sisil itu memang kelihatannya apes, tapi kalau gadis itu bercerita, penderitaannya jadi terdengar lucu di telinga Pretty.

"Puas banget ketawanya!" kecam Sisil tajam. "Dasar nggak setia kawan lo. Teman lagi susah malah diketawain!"

"Susah apaan? Itu lucu tahu." Pretty terbungkuk- bungkuk. Perutnya sakit, karena tak berhenti tertawa. "Tapi lo sih yang hati- hati aja. Sebab di dunia yang lain, omongan lo soal gay dan penyuka batangan itu bisa jadi isyarat bahwa lo nantangin dia buat ngebuktiin ke elo kalau dia itu jantan."

Sisil melotot, kemudian menunduk . Menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sembari merutuki kebodohannya dan mulut tololnya. "Apa gue sebaiknya resign aja ya. Gila mau ditaro di mana nih muka gue!" jeritnya putus asa.

Dan tawa Pretty semakin membahana.

***

Keegan celingukan ketika Sisil menjemputnya pada keesokan hari. "Daddy tidak ikut kan, Sisil?"

Sisil menggeleng pasti. Kalau sampai bosnya itu ikut lagi, wah bisa- bisa Sisil mati berdiri hari ini. Pagi tadi saja suasananya horor banget.

Seperti biasanya, Sisil datang ke kantor pukul delapan pagi. Ngecek- ngecek email dan jadwal, beres- beres ruangan Pak Bos. Karena, sama halnya dengan si anak, si bapaknya ini juga nggak mau ada sembarang orang yang masuk ke dalam ruangannya.

Kemarin dulu, Dito sempat ngomel- ngomel ke Sisil lantaran mengizinkan Marinka masuk ke dalam ruangan Pak Bos. "Lo tahu? Gue kena damprat." Dito menggeleng putus asa. Kayaknya Reagan memang alergi sama orang .

Jam sembilan kurang, Sisil menuangkan kopi dari termos ukuran satu liter ke cangkir porselen dan meletakkannya di atas meja kerja Reagan.

Pria itu baru muncul pukul sembilan lewat lima belas. Berteriak di telepon bahwa kopinya kurang panas. Dan rasanya nggak enak. Sisil pontang- panting turun dan mengemudi ke Buttercups yang saking jauhnya mirip seperti orang minggat.

Baru kembali pukul sepuluh karena... Ya Tuhan, macet parah! Kembali ke ruangan si bos, bukannya disambut dengan senyum atau "terima kasih", bos malah melotot tajam. Kayak semacam dia itu punya dendam kesumat sama Sisil.

"Kamu pesan kopi saja perlu dua kali bolak- balik," kecamnya sengak. Matanya memicing tajam. Kalau itu mata cyclops, sudah pasti tubuh Sisil bakalan tercabik- cabik jadi banyak. "Sebenarnya, berapa kapasitas IQ kamu, saya sudah delegasikan tugas ke Dito dan hanya memintamu melakukan tugas yang mudah- mudah." Tatapannya tajam mengarah lurus- lurus pada sosok Sisil yang berdiri dalam posisi tegak pramuka. Agak menunduk sih, dan itu bikin Reagan tambah berang. " Bisa nggak sih kalau saya lagi ngomong, kamu lihat saya! Kamu pikir saya ngomong sama tembok di belakangmu?!"

Begitu Sisil menengadahkan wajah, eh, dia salah lagi. "Kamu nantangin saya ya?"

Lah gimana, dah!

Sisil rasanya mau jedotin kepala itu ke tembok.

Gila! Memang seganas ini ya efek dari mengatai bahwa pria itu penyuka batangan? "Kenapa kamu merem. Kamu pikir, saya mau penggal kepalamu?!"

Aduh.

"Saya nggak mau lihat kamu. Ke luar. Panggil Dito ke sini."

***

"Kita boleh ke toko buku?"

"Boleh dong. Kamu mau beli buku apa?"

"Kamu tahu sesuatu tentang taman nasional Madidi di Bolivia?"

"Pernah dengar sih. Katanya banyak spesies tumbuhan beracun ya?"

Keegan bengong mendengar jawaban Sisil. Alis pirangnya menukik tajam. Seolah- olah dia nggak percaya kalau Sisil tahu selain make- up, drama Korea dan melamun.

Padahal, sebenarnya Sisil tahu tentang taman nasional Madidi dari laman media sosial yang diikutinya. Dengan tugas sebanyak ini, mustahil bagi Sisil untuk sempat membaca buku apa lagi mencerna isinya.

Hati- hari belakangan kalau dia nggak harus lembur kerja, Sisil lebih memilih cari hiburan dengan nonton Netflix, nongkrong bareng Pretty atau kalau akhir pekan dia kadang ikut jaga stan pameran pas ada event. Minggu depan ini dia ikut cigar night di kawasan Gading Serpong.

Mereka tiba di toko buku di Grand Indonesia. Sementara Keegan sibuk memilih- milih buku, Sisil sibuk sendiri melihat- lihat majalah. Tatapan matanya tanpa sengaja mengarah ke majalah pernikahan dengan adat Sunda. Di sampulnya ada seorang perempuan cantik memakai kebaya putih dan siger. Tampak ayu sekaligus anggun.

Pernikahan.

Dulu Sisil berani membayangkan pernikahan. Dalam kepalanya, terbayang kesibukan rumah mamanya di Ambarawa. Penuh dengan orang yang rewang. Menjelang pernikahan ia harus dipingit dulu. Dan pada saat akad, baru boleh bertemu dengan pria yang telah jadi suaminya. Dia bahkan dengan jelas membayangkan pria mana yang Sisil inginkan untuk bersanding dengannya.

Namun rupanya, impian itu harus hancur berkeping, manakala dirinya harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Juga lelaki yang saat itu ada dalam bayangannya mengabarkan bahwa mereka nggak bisa bersama lagi.

"Bapak bilang aku harus menikahi Mbak Indri, Dik. "

Tanpa sadar, gadis itu sudah memeluk majalah pernikahan itu. "Sisil?" Kontan gadis itu menoleh. Suara Kee tampak sedikit menyiratkan rasa khawatir. "Kenapa kamu peluk majalah pernikahan?" pertanyaan yang dilontarkan bocah yang tengah kesulitan membawa buku- bukunya dalam keranjang biru itu sebenarnya biasa saja.

Tapi hati Sisil terasa pecah ketika mendengar ada kepedulian di dalamnya. "Dan kenapa kamu nangis?"

Mata hazel Kee tetap memandang ke arah Sisil yang kelabakan mencari tisu di dalam tasnya. Gadis itu menggeleng sembari tertawa getir. Mengusap air matanya sendiri dengan tisu. "Sisil, "

"Ya,"

"Aku tidak mau dengan daddy. Aku mau denganmu. Tolong, jangan izinkan Daddy buat jemput aku lagi." Kata bocah itu tegas, sebelum nyelonong ke kasir.

***



Miss SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang