Badanku semakin hari semakin lemah. Menggerakkan jari-jari kaki saja menjadi sebuah tantangan yang sulit.
Kadang, aku merasa tak kuat lagi melawan rasa sakit ini. Aku hanya terbaring lemas menatap langit-langit kamar rumah sakit. Rumah sakit ini termasuk satu-satunya rumah sakit di kota kami yang memiliki model bangunan paling istimewa. Model bangunan rumah sakit, jauh dari kesan tempat dirawatnya orang-orang sakit. Bangunannya tidak hanya artistik, tapi juga berada di lingkungan yang cukup asri dan nyaman, sehingga para pasien akan merasa betah menyembuhkan penyakitnya di sini. Apalagi, ditambah peralatan kesehatan yang lengkap serta tenaga medis yang terlatih, jelas membuat rumah sakit ini semakin rami dikunjungi pasien. Bahkan, dapat dikatakan sebagai rumah sakit bergengsi.
Katakan tersebut bertolak belakang dengan saat pertama kali rumah sakit ini didirikan. Beberapa tahun yang lalu , rumah sakit ini masih ini masih berbentuk klinik. Pada tahun-tahun pertama penerangannya masih menggunakan tenaga diesel.
Meskipun begitu, klinik tak pernah sepi pasien. Selain keadaannya yang memprihatinkan, cerita-cerita menakutkan tentang keberadaan klinik bukan hal yang asing bagi warga setempat. Juga bagi para pasien yang pernah menjalani rawat inap. Beberapa sumber menceritakan saat malam hari, di tempat-tempat yang tidak diberi penerangan, sering kali terlihat cahaya lilin yang melayang di udara. Tak hanya itu, kereta dorong yang dipakai untuk mengangkat pasien juga kerap berjalan sendiri menuju kamr mayat. Ditambah lagi, sejumlah penampakkan yang mengerikan sering menghantui para pasien serta tenaga medis yang bekerja di sana. Itulah sekilas gambaran kondisi rumah sakit ini.
Sebelumnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Jadi aku tidak tahu tentang seluk beluk ruangan yang ada di sana. Selama ini aku juga tak pernah sakit apalagi sampai rawat inap. Biasanya, kalau pun sakit itu hanya penyakit ringan yang dapat disembuhkan dengan berobat jalan. Karena itu, ketika divonis demam berdarah, mama sangat khawatir. Apalagi melihat tubuhku yang lemas dengan wajah pucat.
Sore itu sepulang kuliah, aku merasakan pusing yang amat sangat, tulang-tulangku juga terasa nyeri. Mama yang melihatku kesakitan, membawaku ke rumah sakit. Begitu tiba di sana, dokter dengan sigap memeriksaku secara intensif. Rupanya trombositku sudah menurun drastis. Atas rujukan sang dokter, aku disarankan untuk menjalani rawat inap karena masih perlu diobservasi lebih lanjut.
Hari ini sudah tiga hari aku dirawat. Selama itu pula dengan sabar mamaku menjagaku. Tapi, karena besok adik bungsuku menghadapi ujian akhir semester, terpaksa mama pulang untuk mendampinginya.
"Rendi, mama pulang dulu, ya. Sebentar lagi kakakmu ke sini menggantikan mama menjaga kamu. Besok pagi setelah adikmu berangkat sekolah, mama ke sini lagi," kata mama memberi penjelasan.
Aku mengiyakan saja. Aku pikir, nanti masih ada kakak, tapi kok tumben juga kakak mau menemaniku, biasanya dia punya segudang alasan untuk menghindar. 'Mungkin dia sudah sadar betapa berartinya adiknya ini.' candaku dalam hati.
Setelah mama pulang, aku mencoba menghibur diri dengan menonton televisi, meski acaranya tak ada yang menarik. Waktu sudah menunjukkan pukul 11, tapi kakak belum juga muncul. Mata ini juga tak mau terpejam, meski badan terasa lemah.
Aku mencoba membolak-balikkan badan untuk mengurangi rasa panas di punggung. Sakit di punggungku akibat terlalu lama terbaring. Suster pasti marah kalau tahu jam segini aku masih terjaga. Ah, masa bodoh, aku bergerak saja ke arah jendela dengan segala kemampuan dan berpegangan pada tiang yang menggelantungkan infus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor 13
HorrorKamu sedang sendiri di kamar? Sekarang lihat kolong tempat tidurmu! Aku sudah menunggu dengan wujud yang mengerikan. Nyawamu akan kurenggut. Tunggu jam 12, aku akan mendatangimu! Jangan sekali-kali tidak membunyikan klakson. Perhatikan sesuatu di se...