9. Di Taksir Arwah Penasaran - 13 Ghost Stories

5.7K 116 10
                                    

Seperti biasa, malam minggu adalah hari kebebasan yang selalu kami tunggu-tunggu.

Sore tadi, kami sepakat berkumpul di rumah Ardi terlebih dahulu. Rumah Ardi ini bisa disebut basecamp tempat kami berkumpul sebelum memutuskan pergi ke suatu tempat. Mungkin, kaerna letaknya yang strategis dan dekat ke mana-mana. Sebelumnya, perkenalkan geng kami yang terdiri dari empat orang, yaitu aku, Ardi, Billi, dan Narko. Di sekolah kami dikenal sebagai empat sekawan.

Kami selalu bersama dan kompak dalam urusan apa pun. Saking kompaknya, kami sama-sama jomblo. Dulu aku pernah punya pacar tapi tak berjalan lancar. Karena sejak ada pacar, hubunganku dengan yang lain mulai renggang. Pacarku tidak suka aku bergaul dengan mereka. Jdi meski masih sayang, aku terpaksa memutuskannya. Hal ini disambut suka cita oleh mereka. Akhirnya hubungan kami pun kembali 'mesra.'

Sejak saat itu, kami memutuskan tidak akan mencari pacar, kecuali ia mau menerima kami apa adanya. Sepertinya, persyaratan yang kami ajukan terlalu berat , tak heran sampai detik ini tak ada satu pun cewek yang melirik kami.

"Mana ada cewek yang mau diduakan oleh kegiatan kita yang nggak jelas gitu?" protes Ardi suatu hari.

"Ya, itulah ujian untuk cewek itu, kalau dia lolos berarti dai layak dapat salah satu dari kita. Maklum kita kan ganteng-ganteng, pintar pula, jadi worth it diperebutkan," Balas Billi berusaha menghibur kami.

Mendengar itu, kami tertawa lepas, membayangkan tampang kami yang pas-pasan dengan tingkat kepintaran di bawah standar, hahahaha. Rasanya apa yang dikatakan Billi itu ibarat bumi dan langit, menghayalkan sesuatu yang tak mungkin terjadi. "Huh, ada-ada saja si Billi," umpatku dalam hati.

Malam itu, aku datang lebih awal, disusul Billi dan Niko. Setelah formasi lengkap, kami segera meluncur ke tempat biasa kami nongkrong. Maklum, namanya juga jomblo jadi kami bebas ke mana kami suka tanpa terikat waktu.

Tongkrongan kami ini sebuah warung yang terletak di tepi jalan raya. Biasanya di depan warung tiap malam minggu digunakan sebagai arena balap motor. Kalau sudah begitu suasana akan semakin ramai hingga subuh menjelang. Kadang tak jarang pula dibubarkan oleh aparat polisi karena dianggap telah mengganggu ketertiban lalu lintas.

Di tengah-tengah asyiknya menikmati suasana, Niko mengajak kami pindah ke alun-alun kota. Tujuannya apalagi selain cuci mata. Bagi jomblo, alun-alun itu layaknya ajang pencarian jodoh, karena di sanalah tempat cewek-cewek cantik berkumpul.

"Yuk, pindah ke alun-alun yuk? Daripada nanti nggak kebagian loh!" ajak Niko setengah memaksa.

"Eh, bener juga lo, Nik! Yuk ah!" balas Billi menimpali.

"Males ah, enakkan di sini!" ujar Ardi sambil menyikut lenganku minta dukungan.

"Ahh... elo, Di! Tiap kali diajak cuci mata selalu nggak mau. Emang lo udah ganti haluan nih, nggak mau lihat cewek canti lagi?" goda Niko.

"Bukan gitu lah, gue Cuma malas aja, di sini lagi ramai tuh, cewek-ceweknya yang dateng juga nggak kalah cantik kok," Aedi membela diri.

"Ya udah, aku dan Ardi ikutan deh. Tapi sebentar aja ya," sanggahku berusaha menengahi mereka.

Ardi sepertinya setuju, ia pun beranjak dari tempat duduknya. Kami berempat meninggalkan warung dengan motor masing-masing. Di perjalanan motor kami berhenti karena ada kerumunan orang di tengah jalan. Kami penasaran ingin melihat apa yang terjadi. Rupanya baru saja terjadi kecelakaan yang menewaskan seorang cewek hingga kepalanya pecah dan meninggal di tempat. Aku sempat melihat jasad korban, wajahnya cantik, umurnya sekitar 17 tahun.

"Sayang banget nih cewek, masih muda, cantik, tapi umurnya Cuma segitu. Seandainya masih hidup, pasti gue mau jadi pacarnya." Entah mengapa tiba-tiba hatiku berkata demikian. Padahal aku jarang memulji cewek dengan kata cantik.

Horor 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang