Cerita ini berawal ketika aku dan dua temanku magang di suatu desa di Banyuwangi. Magang sudah menjadi kewajiban bagi mahasiswa tingkat akhir seperti kaki.
Dengan adanya program magang ini, diharapkan nantinya kami dapat mengaplikasikan dan mengaktualisasikan keilmuan yang didapat di bangku kuliah.
Sesampainya di desa, kami menuju ke rumah kepala desa setempat. Di sana kami disambut dengan baik dan diperkenalkan pada seluruh warga.
Di sela-sela perkenalan, kepala desa menyisipkan sebuah pesan yang cukup membuat kami kaget dan ketakutan. Maklum kami besar di Kota Jakarta, jadi masih awam dengan hal-hal supranatural.
"Adik-adik sekalian, jangan kaget kalau di desa kami ini masih banyak hal-hal gaib di luar kewajaran. Di sini, kami sudah terbiasa," ujar kepala desa dengan nada tenang sambil menunjukkan beberapa benda yang diketahui sebagai barang kiriman alias santet selama ia menjabat menjadi kepala desa.
"Oh ya, jangan heran juga kalau nanti kalian melihat di sana-sini banyak pemakaman. Kuburan-kuburan itu sudah ada sejak dulu. Kami tidak berani memindahkan, apalagi memugarnya. Beberapa makam bahkan ada yang dianggap keramat. Jadi harap kalian menjaga sikap agar terhindar dari gangguan makhluk tak kasat mata," lanjut pak Kades dengan mimik muka serius.
Malamnya, kami bertiga tidur dengan perasaan was-was, memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Pak Kades. Mungkin karena kelelahan, kami pun tertidur pulas hingga terdengar ayam jantan berkokok.
Pagi itu kami melakukan survey di beberapa sekolah dasar guna mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan. Karena letak sekolah berada di puncak gunung, kami pun harus melewati hutan pinus yang angker, kata anak kepala desa. Tentu saja kami tak memercayainya begitu saja, lagi pula hari masih pagi. Sinar matahari masih memancarkan kehangatannya, seolah-olah ikut menyambut kami.
Untuk memudahkan menjangkau lokasi, kami disarankan menggunakan ojek. Ketiga ojek pun sudah dipesan oleh Pak Kades untuk mengantarkan kami sampai tempat tujuan. Setelah sarapan, kami bertiga pamit.
Motor ojek yang kami tumpangi menyusuri jalanan penuh batu dan berkelok. Sepanjang jalan aku sempat merasakan nuansa mistis. Di kanan kiri terdapat hamparan pemakaman yang kurang terawat.
Tiba di lokasi, kami disambut oleh Bu Heni, sang kepala sekolah. Kami pun memperkenalkan diri. Suasana terasa akrab. Tak terasa sekolah mulai sepi, padahal jam baru menunjukkan pukul 12 siang.
Menurut cerita Bu Heni, dua tahun yang lalu beberapa murid sering mengalami kesurupan. Pihak sekolah pun mendatangkan orang pintar untuk mengobati dan menyadarkan para korban.
Setelah diterawang, penyebab kesurupan akibat makhluk halus penunggu sekolah yang tidak suka "rumahnya" diramaikan oleh suara murid-murid itu.
Untuk mencegah kejadian terulang kembali, pihak sekolah memutuskan memulangkan anak didiknya sebelum jam 12 siang. Sejak peraturan itu diterapkan hingga kini, tak ada lagi murid yang mengalami kesurupan.
Bagi kami, cerita Bu Heni itu tak masuk akal. Tapi sudahlah, toh kami takau beradu pendapat. Di luar tampak mendung bergelayut. Kami menyudahi pertemuan dan bersepakat dilanjut lagi esok hari.
Dari kejauhan, tukang ojek yang mengantar kami masih setia menunggu. Aku melambaikan tangan memanggil mereka. Bu Heni juga telah dijemput oleh anaknya. Kami berpisah di depan pintu gerbang sekolah. Aku dan kedua temanku naik ojek yang akan mengantar kami kembali ke rumah Pak Kades. Untuk mengusir kebosana, ditengah perjalanan, aku berbincang dengan si tukang ojek.
"Pak, apa bener di sini angker?"
"Ehmm... Biasa aja tuh, Mas. Saya hampir tiap hari lewat sini, tapi nggak pernah nemuin yang aneh-aneh. Padahal tuh lihat kanan-kiri kita ini kan kuburan."
"Iya, tadi saya juga sempat lihat. Tapi, kok nggak lihat ada batu nisannya?"
"Itu kuburan tua, Mas. Jadi, nggak ada yang urus. Warga sini percaya kalau itu kuburan keramat."
Obrolan kami belum sepuluh menit berlalu, tiba-tiba ban motor meledak dengan sendirinya. Aneh, biasanya ban meledak atau kempes jika menggilas sesuatu.
"Aduh, kenapa jadi gini ya, Mas?"
"Coba dicek dulu aja, Pak! Dekat-dekat sini ada tukang tambal ban, kan?"
"Ada, tapi masih jauh, Mas. Udah gini aja, Mas tunggu di sini sebentar, saya ke tempat tambal ban dulu!"
Walau sebenarnya takut, tapi apa boleh buat. Akhirnya, aku menunggunya di tengah hutan, karena di sana tak ada warung dan jauh dari rumah warga. Sedangkan, kedua temanku sedari tadi konvoi sudah berada di depan. Aku tertinggal jauh dibelakang, jadi mereka tak tahu apa yang terjadi.
'Ya sudahlah, semoga tukang ojek cepat kembali," batinku ber-positif thinking.
Aku memilih duduk di atas sebuah batu di bawah pohon besar. Semilir angin sepoi-sepoi membuat mataku ingin terpejam.
Tiba-tiba, angin berembus kencang. Samar-samar aku melihat bayangan putih menggantung di atas pohon. Bayangan itu semakin jelas ketika embusan angin menyibak dedaunan. Makhluk itu tertawa nyaring. Mulutku komat-kamit membaca doa.
Dalam hitungan menit, aku sudah tak ingat apa-apa. Bahkan, ketika tukang ojek kembali pun aku tak tahu.
Dari cerita si tukang ojek, dia menemukanku pingsan di atas salah satu makam. Dan ternyata, batu yang aku duduki tadi adalah batu nisan. Mungkin si penunggunya merasa terganggu. Jadi, ia pun menampakkan diri.
Oleh tukang ojek sebelum diantar ke rumah Pak Kades, aku sempat dibawa ke orang pintar untuk berjaga-jaga agar sosok itu tidak menggangguku lagi.
Sesampainya di rumah Pak Kades, malam sudah larut, seisi rumah sudah terlelap tidur, tak terkecuali Alan. Hanya Rudi yang masih terjaga menungguku pulang.
Aku pun menceritakan kejadian yang menimpaku. Rudi berpesan agar kami lebih berhati-hati lagi. Karena belum mengantuk, kami melanjutkan obrolan di teras depan. Rumah Pak Kades ini menghadap ke arah masjid tua yang dibelakangnya dipenuhi oleh pohon rambutan. Saat itu, jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Ditengah obrolan kami yang seru, Rudi melihat ada bayangan putih seperti mayat yang dibungkus kain kafan, alias pocong.
"Eh, kamu lihat itu nggak?" tanya Rudi sambil memegang erat-erat bahuku.
"Heh? Melihat apa?" aku balik bertanya.
"Ituuuuu... Tuuhhhh... POCOOONGGG!!!" teriak Rudi sambil tangannya menunjuk ke arah pohon rambutan.
Mataku mencari-cari sosok yang Rudi maksud. Di kegelapan malam, aku melihat sesosok tubuh yang dibungkus kain kafan melintas di antara pepohonan. Kami saling berpandangan dan serentak langsung bertetiak, "POCOOOOOONGGGGGG!!!!"
Teriakan kami membuat seisi rumah terbangun. Setelah menjelaskan apa yang terjadi, Pak Kades sekeluarga hanya tersenyum simpul.
"Udah, nggak apa-apa. Mungkin dia ingin berkenalan sama kalian." ujar Pak Kades sambil menepuk bahu kami.
Pak Kades masuk ke dalam rumah diikuti anggota keluarga yang lain. Beda dengan Alan. Ia tampak ketakutan. Ia tak mau tidur sendirian di kamar. Akhirnya, malam itu kami tidur di ruang tamu. Aku dan Alan tidur di lantai beralas tikar, sedangkan Rudi tidur di atas sofa.
Sekitar jam 4 pagi, kami terbangun oleh teriakan Rudi. Wajah Rudi pucat pasi dan tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Di sebelahnya, kami melihat sosok pocong dengan tatapan sayu, kulitnya melepuh, dan mengeluarkan bau busuk. Tanpa disuruh, aku dan Alan membaca ayat kursi, mendadak sosok itu pelan-pelan menghilang dari hadapan kami.
Sesaat kami bertiga terdiam. Mata kami pun seakan-akan kompak, tak mau terpejam. Adzan subuh berkumandang dari dalam masjid. Lega rasanya. Kami seperti terbebas dari beban yang sangat berat.
Tak lama, terdengar langkah kaki Pak Kades. Kali ini kami sepakat tak akan menceritakan kejadian tersebut, karena pasti dianggap sebagai hal yang biasa.
Pak Kades menghampiri kami dan mengajak sholat subuh di masjid. Selesai sholat, imam mengumumkan jika semalam ada salah satu warga yang meninggal. Pak Kades menyarankan kami ikut datang melayat sekadar mengucapkan bela sungkawa.
Di rumah almarhum, kami terkejut ketika melihat wajah jenazah yang terbujur kaku itu mirip dengan pocong yang kami lihat semalam.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Horor 13
HorrorKamu sedang sendiri di kamar? Sekarang lihat kolong tempat tidurmu! Aku sudah menunggu dengan wujud yang mengerikan. Nyawamu akan kurenggut. Tunggu jam 12, aku akan mendatangimu! Jangan sekali-kali tidak membunyikan klakson. Perhatikan sesuatu di se...