Prolog

747 159 645
                                    

Aku pernah menemukan teduh, pada sepasang mata yang menatapku penuh.

Membuatku luluh, sekaligus jatuh.

Namun, jarak yang mulai terbentang jauh, membuatku malu pada sebuah rasa yang semula utuh.

Dan kepada janji yang masih kupegang teguh, kemana secercah cahaya harap darimu yang kian acuh?

Senyumnya menghangatkan diri, layaknya kilau mentari, kala pagi hari.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Bagas?"

Pertanyaan dengan suara lembut itu, membuat Bagaskara terdiam. Ia lalu tersenyum hangat, hingga lipatan kedua matanya menipis, hanya meninggalkan bulu matanya yang lentik.

"Jujurlah padaku, apa k-kau--" gadis itu menggantungkan kalimatnya. "--sedang ada masalah?"

"Ah, tidak."

"Jadi, kau masih belum bisa terbuka padaku, ya?" cicitnya, dengan suara pelan.

Bagaskara lalu meraih pinggang ramping gadis di hadapannya, sesaat deru napas keduanya saling bersahutan. Tak ada pergerakan sedikitpun, seakan ada magnet tak kasat mata, kedua matanya saling mengunci satu sama lain.

"Aku memikirkan hubungan kita," bisiknya, dengan suara berat.

Danica Fiona, gadis cantik dengan sejuta kesabaran yang melimpah. Bagaimana tidak, dirinya bisa menjalin kasih dengan Bagaskara yang mempunyai sifat usil yang sangat luar biasa.

"Bagas, aku mau ngomong sesuatu."

Lelaki itu terdiam sesaat, lalu salah satu tangannya memainkan rambut panjang milik gadis tersebut.

"Apa?" tanyanya, dengan tatapan lembut.

"Aku mau ki--" Nica menghela nafas panjang, ia berkali-kali memejamkan kedua matanya. "--putus."

Duar!

Bak disengat petir siang bolong, Bagaskara tak bisa merasakan apapun. Lututnya lemas seketika, hatinya hancur, air mata luruh begitu saja.

"Maaf, hubungan kita hanya sampai sini saja. Aku akan mencintaimu, selalu."

Tanpa menunggu Bagaskara berbicara, Danica pergi begitu saja. Ia beberapa kali mengusap air matanya yang juga luruh.

Takdir itu memang sangat lucu, mereka dipertemukan dengan ketidaksengajaan, lalu kembali dijauhkan dengan keadaan pula. Ia tidak bisa menjelaskan alasan sebenarnya pada Bagaskara, ini mungkin akan menyakiti hatinya.

Perasaannya sejernih embun, namun sepekat malam ini.

Lalu, aku berkabung dalam lubuk hati yang tak henti berkelakar asma.

_____

Sembuhlah jiwamu yang jahat. Sebelum Tuhan mengirim laknat.

Tawa suka cita bersama, bukankah indah? Mengapa harus bertingkah seperti si badung?

Si badung, si perundung itu kisahmu. Dia yang dalam dirinya haus perhatian. Dia yang di rumahnya tak mendapat kasih. Lalu ingin jati diri dengan jalan menyakitkan.

Apa yang kamu cari dari ini sebenarnya? Bahagia jenis apa yang kamu dapat dari menindas? Tertawa di atas pedih dan kalut membuatmu berharga? Penyesalan dalam dirimu, pernahkah terlintas?

Takut menguasai diri tak luruh bersama tangis. Semangat belajar seolah hilang tersapu kalut. Langit seperti mendung yang terus saja gerimis. Luka dalam hati tak jua kering meski dibalut.

"DASAR ANAK MISKIN, BISA-BISANYA KAMU MENDUDUKI TEMPAT INI?!"

Plak!

Suara tamparan yang begitu nyaring, membuat siapa saja merasa ngilu ketika mendengarnya.

"USIR DIA! AKU TIDAK INGIN MELIHATNYA! SISWA MISKIN DAN PENERIMA BEASISWA, TIDAK PANTAS UNTUK BERSEKOLAH DI SEKOLAHAN BERGENGSI INI!"

Bruk!

Tubuhnya di dorong menuju dinding, membuatnya meringis kesakitan.

Plak!

Plak!

Berkali-kali dirinya ditampar, hingga membuat sudut bibirnya terluka. Air matanya lolos begitu saja.

"APA YANG KALIAN INGINKAN?!" teriaknya.

"Lihatlah, dia sudah berani membentak kita. Perlu kita apakan, dia?"

"Cukup bermain-main saja dengannya," ucapnya. "Aku serahkan semua ini pada kalian, aku muak melihatnya!"

The Sibling's [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang