BTLY - Chapter 16

1.4K 126 10
                                    


ANOTHER PUZZLE

Mood Shafa belum benar-benar kembali membaik, tetapi ia juga mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang tetap harus ia selesaikan. Senin yang cukup panjang dan padat sedikit membuat Shafa melupakan sejenak tentang pembahasan kemarin. Seperti perintah Papa Juan, hari ini Damar dan Dimas sudah stand by di cafetaria di jam istirahat tanpa Shafa. Gadis itu menikmati makan siang di ruangannya dengan bekal yang dibawakan Mama.

Kemunculan Damar sebagai petinggi di cafetaria tentu membuat riuh para staf yang juga makan siang di sana. Damar sangat jarang makan siang di cafetaria, ia kerap kali lunch meeting atau menikmati kiriman makan siang dari Adisa. Wira sudah kembali dari memesankan kedua bosnya ini makan siang. Meletakkan nomor antrian di atas meja, ia kemudian menatap dua orang di depannya yang juga memberikan tatapan seakan mau menyidangkannya.

"Kok lo nggak cerita soal ini Wir?" tembak Damar.

"Ya kan semua itu nunggu Shafa. Agak beda sama soal yang kemarin." balasnya tenang.

Dimas masih melipat tangannya di depan dada. "Lama-lama gue curiga lihat kalian keseringan punya rahasia gini." ujar Dimas sangsi.

"Curiga apaan coba?"

"Kalian akur akhir-akhir ini."

"Gelut salah, akur salah."

"Kamu introgasi itu nanti deh Dim. Ini PR dari Papa dikelarin dulu." Ujar Damar menengahi.

"Mereka udah ada di MC?"

Wira mengangguk singkat. "Lo ingat Dim anak cowok yang nyamperin gue waktu kita habis dari makan di warung pojok?"

Dimas tampak mengingat kejadian yang dimaksud, kemudian ia mengangguk.

"Itu yang namanya Kama. Dia nitip nomornya waktu itu." jedanya sesaat memastikan posisi duduk Kama di MC. "Anaknya duduk dekat jendela yang pakai kaos polo biru sampingan sama anak cewek pakai cardigan tosca."

Posisi duduk Damar dan Dimas sengaja berada di tempat yang langsung mengarah ke Morning Coffee. Sehingga mereka tidak perlu celingukan menolehkan kepala. Keduanya tampak serius mengamati dalam diam.

"Berarti yang cewek yang namanya Kalila kan?" tanya Damar memastikan.

Wira mengangguk tanpa bersuara.

"Kalau dilihat lama-lama mirip waktu Adek SMP nggak sih Bang?" celetuk Dimas tiba-tiba.

"Iya sih bener, pas jaman dia benci banget dikuncir dua gitu sama Adisa."

Dimas menggumam menyetujui perkataan iparnya.

"Terus rencana kalian apa?" tanya Wira.

Jeda sejenak sebelum Dimas menjawab karena makan siang mereka sudah datang.

"Papa bakal hubungin Kama atau Kalila minggu ini setelah Papa ketemu sama Om Reihan. Baru deh mungkin ngajak ketemu langsung."

"Adek lo nggak papa?"

"Belum denger terlalu detail, Mama cuma minta Adeknya diperhatiin kalo di kantor takut sesek lagi." sahut Damar usai menelan sesendok kwetiau.

"Kalau lo tahu apa-apa tolong bilang ke gue atau Bang Damar." pesan Dimas.

Wira pun mengangguk menyanggupi permintaan sahabatnya itu. Ia sedikit tak tenang setelah mendengar perkataan Dimas tadi. Tak banyak hal yang bisa ia lakukan selain menemani atau membantu semampunya. Apalagi ia juga tahu jika Shafa belum seterbuka itu padanya. Mungkin nanti sepulang kantor ia bisa menemui Shafa untuk sekedar menemaninya agar tidak terlalu fokus memikirkan masalah ini.

Brave to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang