FIRST PUZZLE
Seharian ini Shafa menemani sang Mama untuk mengecek persiapan pernikahan Dimas dan Abel. Mama benar-benar menggunakan waktunya untuk menyeret Shafa keliling kota daripada melihat anaknya berguling di kamar. Tentu Papa juga dijadikan sopir seharian ini. Namun ia senang karena ia mengingat kembali ketika awal-awal menjadi anak satu-satunya yang tinggal di rumah karena Adisa sudah menikah dengan Damar sedangkan Dimas masih menyelesaikan kuliahnya.
Mereka baru kembali dari berkunjung di rumah Abel-calon istri Dimas. Pernikahan yang sudah tinggal tiga minggu lagi tentu membuat semua orang di keluarganya sibuk. Namun selalu ada senyum dan wajah berseri menyambut rencana baik sang kakak yang akhirnya bisa mendapatkan hati Abel.
Shafa segera menuju kamarnya untuk istirahat. Usai membersihkan diri, ia menyempatkan mengecek ponselnya untuk sekadar memberi kabar pada Wira. Ketika ia mengambil kabel charger di atas meja belajarnya dulu, dua kertas binder berwarna biru ada di sana. Masih terlipat dan belum tersentuh.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Shafa membuka kertas yang dititipkan Kama untuknya. Kertas biru kecil yang pertama Shafa buka berisi barisan nomor Kama. Satu tarikan napas dan kemudian ia hembuskan sebelum membaca tulisan Kama pada kertas kedua yang ia buka.
Hai Kak Shafa, ini Kama.
Maaf, maaf kalau aku kasih kabar yang mungkin nggak pernah Kak Shafa pikir akan muncul di depan Kakak sekarang. Kama udah bilang sama Ayah kalau aku pernah ketemu Kakak. Tapi Ibu belum tahu. Kami masih belum kasih tahu ini karena memang kondisi Ibu yang kadang nggak stabil.
Maaf, Kama buat Kakak nggak nyaman dan nggak lagi makan di cafetaria sama temen-temen Kakak. Maaf, tapi Kama juga nggak bisa jelasin di surat ini. Ayah dan Ibu yang mungkin lebih berhak untuk menjelaskan ini semua sama Kak Shafa meski sedikit banyak aku dan Kalila pernah dengar.
Kalau Kakak udah baca surat yang aku tulis ini, berarti temen Kakak udah kasih ke Kakak. Di kertas satunya ada nomor Kama dan ini nomor Kalila 08513xxxxxxx. Mungkin Kak Shafa butuh waktu yang lebih lama, tapi semisal Kakak sudah berkenan Kak Shafa bisa hubungi aku atau Kalila di nomor itu.
Maaf ya Kak
Kama
Air mata jatuh usai Shafa selesai membaca surat dari Kama. Kata maaf yang Kama tulis membuat air mata itu terus berjatuhan di kedua pipinya. Perasaan Shafa tak dapat ia deskripsikan dengan baik. Ia tak ingin paham dengan situasi ini, tapi rasa nyeri itu ada di dadanya.
Dulu ia sering kali membayangkan jika ia bertemu kembali dengan keluarga kandungnya. Harapan itu kerap kali membuatnya bersemangat, optimis, dan sedih seakan tidak diinginkan. Namun semakin waktu berjalan dan ia menemukan keluarga baru yang menerimanya sehangat itu, membuat Shafa mulai menerima keadaan dan mengikhlaskannya. Perlahan melepas harapan bertemu keluarga kandungnya.
Nyatanya, mengetahui jika keluarganya kembali muncul, semua jenis perasaan ikut muncul seketika. Bahagia karena ia akhirnya dapat mengetahui orang tua kandungnya. Marah dengan kemunculan mereka bahkan kemungkinan alasan mereka meninggalkannya dulu. Kecewa kenapa baru sekarang mereka datang mencarinya. Sedih dan takut jika nanti ia kembali ditinggalkan, dikecewakan, dan takut jika ia juga akan kehilangan hangatnya keluarga Papa Juan dan Mama Tasya.
Rasa takut itu kian besar dan membuat rasa sakit dan sesak dalam dadanya. Air mata yang tak kunjung berhenti dan segala emosi yang muncul membuatnya kesulitan bernapas. Tangannya berusaha meraih ponsel yang sedang diisi daya di nakas.
Beruntung dengan tangannya yang bergetar ia berhasil mengambil ponsel dan menghubungi Mama. Usai panggilan tersambung sang ibu mengucap salam, tak ada balasan yang didengar oleh Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave to Love You
Chick-LitShafa kecil tak pernah tahu awal mula ia bisa tinggal di Anugerah. Menjadi bagian keluarga Papa Juan dan Mama Tasya merupakan hadiah terbaik seperti yang Shafa dambakan sejak dulu. Dari keluarganya, Shafa merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus...