RUMOR
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian pelecehan yang Shafa terima, tentu Dimas dengan bantuan Wira semakin mengawasi Rio dan teman-temannya. Shafa meminta agar Dimas dan Wira tak memberitahu siapapun tentang kejadian ini. Tentu Dimas murka dan tidak setuju. Ia sangat ingin melampiaskan kemarahannya pada Rio. Tetapi Shafa tidak ingin nantinya menjadi sorotan dan perhatian. Ia merasa malu dan takut. Meski kondisi Shafa terlihat baik-baik saja, ia masih merasa was-was setiap saat.
Dimas benar-benar bingung harus bagaimana menghadapi Shafa dan masalah ini seperti apa. Meski beberapa bukti sudah mereka miliki, ia tidak dapat langsung memproses semua karena Shafa memohon untuk menutup kasus ini dari orang-orang terdekat mereka. Dimas merasa terbebani karena tidak dapat bercerita pada keluarganya saat ini. Ia memikirkan waktu yang tepat agar Shafa juga siap.
"Lo nggak khawatir Rio nuntut lo balik karena penganiayaan?" tanya Dimas setelah ia dan Wira selesai berdiskusi perihal pekerjaan.
Wira masih sibuk mengotak-atik ponselnya. "Sempat mikir sih, tapi ya udah. Selesaiin yang ini dulu, nanti dipikirin lagi kalau emang beneran dia mau nuntut. Gue masih merasa mukul dia lebih baik daripada dia yang ngelecehin perempuan."
"Thanks Wir. Gue nggak tahu kalau nggak ada lo kemarin gimana."
"Iya sama-sama Dim. Walaupun sering ngajakin ribut tapi nggak mungkinlah gue diem aja."
"Dan kayaknya gue masih bakal ngerepotin lo nanti."
"Siap bos! Selagi gue bisa bantu akan gue bantu Dim. Kayak sama siapa aja lo nih."
Setelah babak belur karena Wira, Rio harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Dimas dan Wira sudah melakukan konsultasi dengan salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai pengacara. Mereka memutuskan memberikan bukti itu pada pihak HRD agar dapat memproses sanksi untuk Rio berdasarkan keinginan Shafa juga. Dimas meminta kasus ini tidak tersebar dan cukup di kepala HRD saja terkait pelaporan yang dilakukan Wira sebagai wakil Dimas untuk sementara.
****
Kedatangan Adisa ke kantor sudah menjadi hal biasa yang dilakukan. Namun kunjungan kali ini merupakan kunjungan dadakan yang tidak diketahui Shafa. Tiba-tiba saja kakak pertamanya itu sudah berada di lantai di mana ruangannya dan Bang Damar berada. Bahkan Adisa tidak melakukan basa-basi dengannya sebelum masuk ke dalam ruangan Bang Damar.
Meski merasa heran, Shafa membiarkan saja dan melanjutkan pekerjaannya. Tak berapa lama dering telepon di mejanya terdengar. Ketika ia menerima panggilan dari ruangan sang atasan sekaligus kakak iparnya, suara Adisalah yang terdengar.
"Buruan ke ruangan Bang Damar, Dek!" perintahnya terdengar tegas tak ingin dibantah.
"Baik Bu Disa saya merapikan file sebentar. Mohon ditunggu." Ia sengaja menekankan kata 'Bu Disa' agar kakaknya itu ingat jika mereka masih berada di kantor.
Begitu masuk dan menutup pintu, Adisa sudah menatap tajam Shafa dari sofa. Jika Shafa amati mood kakaknya jika menatap seperti itu ada dua pilihan. Pilihan pertama, Adisa sedang ngambek karena merasa tertinggal atau tidak dilibatkan. Pilihan kedua, Adisa sedang menyelidiki dan mengawasi gerak-gerik lawan bicaranya.
Gadis itu memilih duduk di sofa tunggal di sebelah sofa yang diduduki Adisa. Tak berapa lama Damar ikut duduk di sebelah istrinya.
"Ada yang bisa-"
"Kakak lagi nggak mau mode kantor kamu ya." potong Adisa. "Kamu punya pacar sekarang? Nggak cerita-cerita lagi sama Kakak. Masa kita tahunya dari orang lain. Nggak mau Kakak bawelin lagi apa? Dulu katanya kamu bakal kasih tahu kalo udah punya pacar ke Kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave to Love You
Literatura FemininaShafa kecil tak pernah tahu awal mula ia bisa tinggal di Anugerah. Menjadi bagian keluarga Papa Juan dan Mama Tasya merupakan hadiah terbaik seperti yang Shafa dambakan sejak dulu. Dari keluarganya, Shafa merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus...