NGGAK BISA BOHONG
Sejak kejadian di depan toilet itu, Shafa selalu menghindari area lobi. Ia memilih makan di ruangannya atau tempat rahasia kalau sedang bersama Wira. Padatnya aktivitas Damar baik di kantor maupun di luar kantor cukup membuat Shafa teralihkan dari pembicaraannya dengan Kama meski sesaat. Seringnya Shafa menghabiskan waktu istirahat di ruangan juga sempat membuat sang atasan sekaligus kakak iparnya itu merasa aneh.
"Kamu nggak lagi diganggu sama anak marketing itu lagi kan?" tanya Damar suatu hari saat mereka berjalan kembali dari ruang rapat.
"Tidak ada gangguan apa-apa Pak. Sejauh ini pengumuman Pak Wira cukup ampuh."
"Syukur deh kalau nggak ada lagi yang berulah. Tapi tumben kamu nggak makan siang di cafetaria?"
"Sedang tidak mood untuk makan di sana Pak."
Tidak ada yang tahu tentang kemunculan orang-orang yang ternyata dari masa lalunya yang tidak ia ketahui, kecuali Wira. Laki-laki itu juga belum tahu harus bertindak seperti apa selain selalu mendukung Shafa dan berada di sisinya. Ingin memberi tahu Dimas, tapi Shafa tampak tidak ingin membahas perihal itu saat ini.
Kama yang menyadari jika Shafa menghindar mencoba untuk menemui Wira. Seperti hari ini, anak laki-laki yang berusia enam belas tahun itu celingukan untuk menanti kedatangan Wira untuk makan siang. Ia merasa bersalah juga pada sang Mama karena membuatnya tidak bisa melihat kakak perempuannya dalam waktu yang lebih lama.
Wira muncul dari luar lobi bersama dengan Dimas dan Arya. Kama segera berlari ke arah Wira untuk mencegahnya masuk ke dalam lift. Dimas tampak bertanya dari wajahnya ketika Kama meminta waktu pada sahabatnya. Namun ia memilih untuk tetap diam.
"Kalian duluan aja." putus Wira.
Wira meminta Kama untuk duduk di sofa yang tersedia di lobi. Hampir lima menit tak kunjung mendengar suara Kama, Wira pun mengawali pembicaraan yang entah akan membahas apa.
"Sori, bentar lagi jam istirahat saya sudah selesai. Apa yang mau kamu bicarakan?"
Jari tangan Kama yang saling bertaut menunjukkan jika ia gugup. Ia beberapa kali melihat ke arah Morning Coffee seperti memastikan jika tidak ada yang melihatnya.
"Em, aku Kama. Aku sering lihat Kakak bareng Kak Shafa." Hembusan napas terdengar pelan. "Anu-em aku-"
Uluran tangan Wira membuat Kama mendongak. Senyum tercetak di wajahnya berharap dapat membuat anak laki-laki di depannya lebih rileks.
"Kita perlu kenalan, kan? Saya Wira." lanjutnya usai berjabat tangan. "Kamu mau tanya apa tentang Shafa?"
Mendengar pertanyaan Wira, membuat Kama yakin jika sepertinya laki-laki yang ia temui tahu tentang siapa dia. Ia merasa tidak salah menemui teman Shafa ini. Wira tidak bertanya siapa Kama. Ia langsung menanyakan tujuan anak itu.
"Em, ini nomor hp aku. Boleh titip di kasih ke Kak Shafa? Aku tulis sesuatu juga di kertas ini untuk dia. Maaf ngerepotin Kak Wira."
"No probs. Tapi saya nggak menjanjikan apapun selain kasih ini sama Shafa."
Kama mengangguk setuju. Wira pun berdiri karena beberapa menit lagi jam istirahatnya sudah habis. Ia menepuk pelan pundak Kama.
"Jangan terlalu memaksa. She needs time to understand this situation. Saya harap kalian juga mengerti itu jika semua ini benar."
"Iya Kak. Makasih bantuannya."
****
Kertas yang Wira terima dari Kama sudah ada di ranselnya sejak dua minggu lalu. Ia tak langsung memberikannya pada Shafa. Pria itu mencoba membaca suasana hati Shafa yang sepertinya masih tidak ingin membahas hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave to Love You
Literatura FemininaShafa kecil tak pernah tahu awal mula ia bisa tinggal di Anugerah. Menjadi bagian keluarga Papa Juan dan Mama Tasya merupakan hadiah terbaik seperti yang Shafa dambakan sejak dulu. Dari keluarganya, Shafa merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus...