TALKS
Sampai di rumah Dimas langsung menyuguhi Abel dengan wajah masamnya. Ia segera membersihkan diri sebelum memeluk istrinya.
Abel segera menghampiri Dimas yang duduk di sofa menemani Abil mewarnai dengan segelas es lemon tea.
"Jelek banget mukanya. Kenapa?"
Dimas memasang wajah cemberut pada Abel. "Kenapa nggak cerita kalau mereka pacaran? Kata Bang Damar kamu sama Kak Disa udah tahu."
Abel langsung tahu yang dimaksud oleh suaminya. Ternyata adik iparnya sudah ketahuan.
"Kan aku udah janji tutup mulut. Dia nunggu siap sebelum ngadep kamu tau."
"Nunggu siap kok udah mau setahun."
Abel terkekeh mendengar nada jutek sang suami. Ia melirik Abil sesaat yang masih fokus pada buku gambar dan pewarna. Dengan kilat Abel mencium bibir manyun Dimas.
"Nggak usah keras-keras sama Shafa. Kamu pasti udah ngomel kan tadi di kantor? Buat dia cerita, jangan dimarahin mulu."
"Aku kecewa aja sama dia. Kayak nggak dianggap sebagai kakak tahu nggak."
"Banyak yang dia pertimbangin buat ngaku kalau mereka pacaran. Kamu juga, kenapa bilang kalau nggak mau mereka pacaran?"
"Tiap hari mereka tuh ribut. Aku nggak bayangin aja kalau sampai berantem atau parahnya putus bakal kayak apa. Lagian Shafa belum pernah pacaran Ai."
"Shafa udah dewasa, kamu juga harusnya udah mulai percaya sama dia. Dia nggak bisa selalu kalian kekepin terus. Kamu sebagai kakak emang punya hak untuk ikut campur tentang dia, tapi nggak semua. Termasuk urusan hati dia."
Dimas berdecak. "Pasti dia udah curhat sama kamu banyak nih."
"Dulu bilangnya nggak posesif kayak Kak Disa sama Bang Damar, tapi sebenernya sama aja. Kamu tuh sok posesif tapi cuek."
Bunyi bel terdengar di tengah obrolan mereka. Abel melepas belitan tangan Dimas di tubuhnya, beranjak untuk membukakan pintu. Wira dan Shafa yang sudah masuk dalam list manusia bebas akses naik. Mereka sudah berdiri di depan Abel. Ibu satu anak itu segera mempersilakan masuk dan memberikan pelukan pada Shafa. Dukungan itu cukup membuat Shafa menunjukkan senyum tipis.
Abil yang melihat tantenya datang langsung melepas pensil warna dalam genggamannya dan menerjang Shafa untuk dipeluk. Sedangkan Dimas berdiri dan meminta Wira mengikutinya di balkon untuk bicara.
"Nggak usah dilihatin mulu. Mereka cuma akan ngobrol Sha. Kamu mau minum apa?" Abel berusaha mengalihkan perhatian Shafa agar membuatnya lebih rileks.
"Apa ajalah Mbak."
"Ya udah mbak ambilin jus bentar. Abil Aunty Sha ajakin mewarnai sana."
"Siap Mommy! Ayo Aunty Sha! Aku tadi baru warnain tayo. Aunty mau warnain siapa, Lani apa Rogi?"
"Em, Lani aja deh."
Shafa segera mendekat pada Abil yang duduk di karpet.
Di balkon kedua laki-laki yang sudah bersahabat sejak kuliah itu masih saling diam. Langit sore mulai berubah sedikit orange. Hembusan angin sore yang menemani keterdiaman mereka.
"Gue serius soal hubungan yang gue jalin sama Shafa." Tatapan Wira lurus ke depan seperti yang Dimas lakukan. "Sori gue nutupin ini dari lo."
"Lo tahu Shafa belum yakin sama lo terus kenapa jadi gini?"
"Mungkin emang Shafa yang belum yakin, tapi gue akan berusaha untuk terus buat dia percaya sama gue dan hubungan kita. Dia tahu kalau gue mau hubungan ini serius."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave to Love You
ChickLitShafa kecil tak pernah tahu awal mula ia bisa tinggal di Anugerah. Menjadi bagian keluarga Papa Juan dan Mama Tasya merupakan hadiah terbaik seperti yang Shafa dambakan sejak dulu. Dari keluarganya, Shafa merasakan kasih sayang dan cinta yang tulus...