Semua yang kuyakini ternyata palsu belaka. Tidak nyata. Ilusi yang diciptakan olehku. Sesuatu yang sebenarnya hanya berupa bagian dari keinginanku. Sekalipun hanya kebohongan, aku masih berharap Kai bersedia menemuiku. Satu kali saja.
Aku tahu sebentar lagi ajal akan menjemput. Napasku terasa berat seolah ada batu besar yang diletakkan di atas dada dan membuat paru-paruku tergencet. Sekeras apa pun aku berusaha menghirup udara, memasukkan oksigen ke dalam diriku, tenggorokkanku terasa terbakar. Panas menyengat mata, membuatku kesulitan melihat.
“Nadia, dia tidak pernah mencintaimu. Kamu tahu, ‘kan?”
Kiki, saudari sebapak beda ibu, memandangiku yang kini terkapar di ranjang rumah sakit. Jangan tertipu oleh tampilan luarnya. Dia mungkin seakan tengah mengutarakan simpati; bibir tertekuk, mata merah meradang, dan gemetar. Namun, apabila seseorang mengamati lebih dalam ... menembus kamuflase yang diciptakan Kiki, maka akan terlihat betapa palsu perhatiannya.
“Kai tidak pernah mencintaimu,” Kiki melanjutkan. “Satu-satunya yang ia sukai hanyalah aku.”
Bahkan ketika aku di ambang maut pun Kiki memilih menuang garam di atas lukaku. Dia tidak memanggil perawat, hanya berdiri di samping ranjangku dan melagukan kemenangan miliknya.
Betapa bodohnya diriku. Berharap Kai bisa mencintaiku. Bahkan setelah sekian tahun pernikahan antara kami, ia masih saja menempatkan Kiki sebagai bagian dari hidupnya. Tidak pernah diriku. Hanya Kiki seorang. Itu pun bila yang Kiki ucapkan benar. Aku tidak bisa membedakan kebenaran dan kebohongan. Kesadaranku mengeruh seolah ada orang yang memorak-porandakan kepalaku.
Air mata meleleh, membasahi pipi. Aku tidak bisa menahan ledakan emosi dalam diriku. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan, bahkan keputusasaan. Semua membaur jadi satu. Andai aku bisa bicara, saat ini pasti akan terdengar raungan kekalahan dariku. Seperti seekor anjing yang dicampakkan pemiliknya. Aku akan meraung pilu dan menumpahkan perasaanku dalam setiap isak dan tangis.
Akan tetapi, tubuhku telah kehilangan kemampuan untuk mengikuti kemauanku. Hanya air mata saja yang masih setia memberiku pengampunan agar emosi yang menyesaki dadaku luntur bersamanya, raib bersama air mata yang mulai mengering.
“Dia tidak pernah mencintaimu,” Kiki memperjelas maksudnya. “Hanya aku seorang.”
Barangkali Kiki bersedia menyudahi sandiwara saudari baik hati. Setelah sekian lama bertahan, kesempatan menunjukkan taringnya di hadapanku pun datang. Hari ini, tepat ketika aku sekarat.
“Kamu tenang saja,” kata Kiki seolah berusaha memberiku peristirahatan terakhir, “Kai pasti akan memberimu pemakaman terbaik.”
Kiki lantas meninggalkanku, terkapar, bersimbah air mata dan dukacita.
Semua kata-kata jahat berlomba mencari perhatian. Mereka menuntut diwujudkan dalam kemarahan. Namun, tubuhku melemah dan kesadaranku tidak mampu menjagaku tetap bertahan. Warna perlahan meninggalkanku, memudar ... menjadi kegelapan.
Kegelapan sempurna.
***
Kupikir kematian akan terasa dingin. Persis salju yang membekukan seluruh indra perasa. Anehnya tidak ada lolongan monster pemakan dosa maupun cambuk yang melecuti tubuhku sekadar menuntut pertanggungjawaban semasa hidup. Aku merasa ringan. Kubuka mata perlahan, bersiap menghadapi neraka.
Akan tetapi, begitu kubuka mata ternyata yang menyapa hanyalah langit-langit kamarku. Iya, kamarku. Lekas aku menegakkan tubuh, takjub dengan kebugaran yang seharusnya tidak kumiliki. Penyakit menggerogoti tubuhku. Dulu, ya seharusnya tangan dan kakiku tidak seperti ini.
Sehat! Kulitku cerah dan tidak pucat! Lalu, rambutku yang dulu kupotong pendek karena rontok pun masih panjang.
Kuedarkan pandang, mengamati ruangan. Meja belajarku, lemari pakaian, dan ranselku yang seharusnya tidak pernah kupakai lagi ternyata ada di dekat kursi.
“Mungkinkah?”
Air mata berjatuhan. Aku tidak tahu alasan diriku menangis karena kesedihan ataukah haru? Yang mana pun rasanya tidak masalah. Sebab ketika terbaring di ranjang rumah sakit, terisolasi dari kehidupan, dan hanya bisa menanti belas kasihan orang lain rasa-rasanya waktu seolah memenjarakanku. Sekalipun dokter dan perawat berusaha menguatkanku bahwa suatu saat akan sembuh, tapi suara hatiku kala itu telah memberiku kebenaran. Tidak seorang pun peduli aku masih hidup atau akan mati. Ayah kandung, suami, maupun semua yang kuharap bersedia menguatkanku. Hanya ada penantian panjang.
Lekas kuseka air mata di wajah menggunakan punggung tangan. Aku tidak berani berharap, tapi bisa saja! Ya, bisa saja aku mendapat keajaiban seperti karakter dalam novel yang pernah kubaca. Saat sekarat mereka, tokoh dalam novel, diberi kesempatan kedua.
Aku bangkit. Karena terburu-buru ketika berjalan, jempol kakiku pun membentur kursi.
“Aduh!” Aku tejatuh, tergugu. Segala macam umpatan siap menyembur keluar dari mulut, tapi kutahan. Jangan sampai menarik perhatian orang rumah. Aku perlu memastikan sesuatu.
Setelah jari kakiku tidak lagi terasa berdenyut, perlahan aku bangkit dan mengecek kalender yang ada di meja. Tanggal, bulan, dan tahun memperlihatkan bahwa sekarang aku berada di tahun kedua kuliah!
“Belum terlambat,” kataku kepada diri sendiri.
Lagi-lagi air mata lolos dan membuat pandanganku kabur. Segala perasaan meletup dalam dada. Terutama perasaan lega dan syukur. Aku belum menikah. Kehidupan bagai neraka itu tidak akan kupilih! Pengalaman berhasil mengajariku bahwa bergantung pada perasaan semu takkan membuahkan hasil.
Alih-alih memilih balas dendam, seperti yang setiap karakter utama dalam novel lakukan, aku akan meninggalkan semuanya.
Kiki dan Kai. Mereka berdua boleh bersama! Persetan dengan cinta dan keluarga. Apa artinya aku bagi ayahku? Tidak ada! Dia hanya mengikuti kemauan miliknya sendiri. Tidak satu kali pun dia mengunjungiku saat ada di rumah sakit.
Sekarang aku tidak perlu berusaha menjadi anak baik. Lagi pula, masih ada tempat lain yang bisa kukunjungi. Tempat milikku, sesuatu yang memang ditakdirkan bagiku. Rumahku.
Aku pun mulai menyalakan laptop, mengetik surat yang menyatakan bahwa aku tidak akan melanjutkan kuliah, dan mencetaknya.
Ini masih belum cukup!
Aku menarik koper yang ada di bawah ranjang. Kumasukkan beberapa pakaian, terutama pakaian yang dibeli mendiang ibu kandungku untukku, lalu perhiasan yang selama ini ibuku simpan pun masuk dalam koper. Kuraih ransel, mengosongkannya, dan mengisinya dengan surat-surat berharga, buku tabungan, dan laptop.
Setelah mengenakan celana jins, kaos, jaket, dan sepatu tali aku pun meluncur meninggalkan kamar. Kamis! Sungguh hari yang indah. Siang ini rasanya semesta mempermudahkan diriku menyingkir secepat mungkin. Hanya ada pelayan. Tidak ada ayah kandungku, ibu tiri, dan Kiki. Sempurna!
Tidak ada satu pelayan pun menyapa ketika kami bersimpangan jalan. Oke, tidak masalah. Lagi pula, sebentar lagi aku akan menjadi orang asing. Kupercepat langkah kaki agar lekas keluar dari area elite.
Menyeret koper dan menggendong ransel. Aku siap! Bebas!
Calon suami ... koreksi, mantan suamiku boleh membusuk bersama Kiki. Mereka berdua akan menjadi pasangan romantis yang mengalahkan tokoh fiksi mana pun!
Aku?
Oh aku akan menjalani kehidupan yang selama ini kuimpikan. Hidup sebagai manusia yang bisa mencintai kesenangan yang selama ini terasa jauh dari jangkauan tangan.
Persetanlah masa lalu!
***
Selesai ditulis pada 19 September 2023.
***
Semoga kalian suka dengan cerita terbaru dari sayaaaaa! Hehehehe.Btw, Nadia ini masih satu dunia dengan Avoid Male Leads, Lady Antagonis, Villain’s Lover, Villain’s Precious Daughter, Fantastic Love!, dan yang terbaru: Genrenya Salah!
Hehehehehe bisa saja salah satu di antara tokoh yang ada di sana nongol di sini. Huhuhuhuhu.
Salam cinta dan kasih sayaaaaang!
LOVE!
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...