“Aku paham,” Kiki melanjutkan, “kamu hanya memikirkan mengenai perasaanku. Nadia, nggak perlu begitu. Pulang, ya?”
Permainan peran opera sabun ini mulai mengikis kesabaranku yang jumlahnya tidak seberapa. Dulu aku pasti akan langsung main hajar, meraung dan mengatai Kiki, kemudian menyerangnya. Tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadap tingkahku. Bagiku yang penting hanya satu: melampiaskan amarah.
Akan tetapi, berbuat seperti itu tidak akan mendatangkan kebaikan. Bertindak onar di hadapan umum sama saja menjatuhkan kredibilitasku. Padahal aku butuh reputasi baik agar bisa masuk industri hiburan di jalur musik. Orang akan menilai karakterku, entah di dunia maya maupun realitas, tingkahku akan menjadi sorotan.
Bagai makan buah simalakama. Diam, Kiki akan makin berulah. Melawan, aku tidak bisa asal serang. Sialan memang kehidupan ini. Selalu ada yang harus kupertimbangkan.
Aha! Aku ingin hengkang secepatnya.
“Kiki,” kataku sembari berusaha memasang tampang terluka, “apa kamu tega menghancurkan mimpiku?”
Setidaknya aku bisa meniru Kiki. Tidak ada salahnya memanfaatkan kemampuan akting yang tentunya tidak sebagus Kiki.
“Eh jangan asal tuduh, ya?” salah satu pengikut Kiki mengucapkan pembelaan. “Kiki nggak sepertimu yang tahunya cuma nyusahin orang lain!”
“Iya,” yang satunya membenarkan, “Kiki tuh baik. Kamunya aja yang nggak tahu diri! Di kelas pun cuma kamu yang jadi beban.”
Kuncinya: jangan terpelatuk. Kedua pengikut Kiki akan menembakiku dengan ucapan tidak menyenangkan. Inilah yang Kiki manfaatkan—orang-orang di sekitarnya.
“Bukankah kita berdua saudari?” tanyaku. “Aku hanya ingin mengasah bakat dan berusaha nggak membebani siapa pun. Kenapa kamu nggak bisa membiarkanku pergi?”
“Nadia, kamu pasti salah paham.”
Kali ini Kiki mulai kelimpungan. Bila aku bersikap terluka dengan cara lembut dan tidak agresif, pasti Kiki kesulitan memainkan peran peri baik hati.
“Benarkah, Ki?” Aku meniru Kiki: meletakkan tangan di dada dan memasang ekspresi terluka. “Lantas, kenapa kamu membiarkan kedua temanmu mempermalukanku di sini, di hadapan undangan, dan menempatkan diriku pada posisi rendah? Aku, kan, hanya kerja.”
Tepat sasaran. Kiki tidak memberikan balasan. Dia melirik ke dua pengikutnya yang sama-sama membisu.
“Kalian bilang aku beban?” Sekarang kulempar opini mereka mengenai diriku. “Apa kalian lupa bahwa selama ini aku berusaha? Apa kalian lupa bahwa setiap kali aku berusaha menanyai kalian terkait materi diskusi, tidak satu pun di antara kalian yang bersedia menolong? Kalian bilang aku harus belajar sendiri, nggak boleh tanya satu orang pun.”
Penolakan, pengasingan, dan penindasan. Itulah yang kudapatkan. Mereka mempermainkanku seolah aku manusia dungu yang tidak tahu apa pun. Ketidakmampuanku dalam upaya melindungi diri sendiri mengakibatkan diriku makin terjerumus ke lembah keputusasaan.
“Kamu jangan asal omong!” salak salah satu teman Kiki. “Kami, kan, capek.”
Tidak ada satu orang pun bersedia datang sekadar menjadi penengah. Mungkin mereka, orang-orang yang menonton kami, mengira tidak perlu mendatangkan “orang baru” karena tidak terjadi aksi saling jambak ala drama murahan.
“Capek?” serangku dengan nada suara sinis. “Lantas kalian datang menemuiku, sekarang, dan sedari tadi melontarkan ucapan buruk itu tidak menguras tenaga? Kalian yang konon belajar di kampus keren, tapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan manusia terdidik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...