Aku bangun kesiangan. Untung hanya ada kuliah sore, sekitar pukul empat. Tampaknya bertemu Kiki dan pengikutnya cukup menguras energi. Bukankah aneh betapa luar biasa kemampuan tubuh dalam merespons kebencian terhadap seseorang? Entah itu melalui gigilan maupun erangan. Pada kasusku, seluruh energiku terserap. Butuh segenap kekuatan agar bisa melawan keinginanku melarikan diri tanpa perlawanan sama sekali.
Setelah meregangkan tubuh, melemaskan otot tangan dan pinggang, aku turun dari ranjang. Penampilanku pasti kacau dan berantakan. Lekas aku mengungsi ke kamar mandi dan memulai ritual bersih diri. Aku berganti pakaian, melepas piama tidur dan memilih celana berbahan longgar dan kaos.
Di dapur aku tidak langsung mengisi perut dengan makanan, tapi memilih meminum air. Nenek Chloe tidak terlihat di mana pun. Tidak biasanya rumah sunyi. Pasti dia mempersiapkan ritual khusus; mencampur kembang warna-warni dalam sebuah bejana air, merapalkan mantra dalam bahasa kuno, dan mulai mengutuk siapa pun yang cukup sial membuat Nenek Chloe marah.
“Selamat siang, Putri Tidur.”
Aku tersedak. Air masuk ke lubang hidungku dan sepertinya beberapa telah menerjang bagian penarpasan karena salah jurusan—seharusnya masuk tenggorokkan menuju lambung, tapi gara-gara batuk akhirnya berakhir di paru-paru. Oke, berlebihan.
“Kamu baik-baik saja? Astaga, Nadia.”
Justin berusaha menepuk punggungku, pelan, dan menuntunku duduk di kursi.
“Lain kali jangan minum sambil berdiri,” katanya dengan nada cemas. “Berbahaya.”
Kuletakkan gelas di meja. Perlahan sengatan panas yang menyerang hidung dan tenggorokkanku mereda. Setelah yakin tidak akan terserang batuk, aku pun bicara, “Kok kamu ada di sini, sih? Nggak kerja?”
“Hari ini aku ingin istirahat,” jawabnya, santai. Dia menarik kursi, duduk, dan menatapku dengan pandangan yang amat lembut. “Kamu butuh bantuanku?”
Ada apa dengan Justin?
Sepemahamanku tidak ada hal yang perlu sorotan khusus dalam diriku. Maksudku, kuliahku normal. Wajar! Semua pekerjaan dan tugas dari dosen bisa kuselesaikan dengan kemampuanku sendiri. Adapun yang kubutuhkan saat ini adalah tantangan. Bukan tantangan masyarakat ala drama sinetron, melainkan yang berhubungan dengan musik.
“Justin, di tempatmu ada lomba?”
“Ada,” jawabnya secepat kilat, “menulis lagu. Apa kamu bersedia mencoba, Nadia? Sepertinya kamu akan sangat menikmati persaingan itu.”
Jemariku mengetuk permukaan meja. Ritme yang kugunakan tidak keras, tapi pelan. Tuk, tuk, tuk. Sesuatu dalam diriku menyarankan agar aku lekas menyambar persaingan tersebut dan mulai bertarung dengan peserta.
Tidak buruk.
“Oke,” aku menerima tantangan, “nggak akan kecewa deh. Kamu pasti akan bangga menyaksikan keberhasilanku dalam mengarungi dilema kehidupan.”
“Nadia, jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri. Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik sesuai kapasitas. Nggak perlu menginginkan kemenangan. Pengalaman. Itulah yang terpenting.”
Aku mengangguk. Ada sesuatu dalam diri Justin yang selalu mampu membuatku merasa tenang sekaligus berdebar. Seolah dia tahu tombol dalam diriku yang berkaitan dengan emosi.
“Oh ya.... Justin, Nenek! Dia ada di mana?”
“Pertemuan penting. Sekalipun dia di luar seperti nenek-nenek hobi rumpi, tapi jangan remehkan kemampuannya dalam mengelola bisnis apa pun.”
“Jangan bilang ketika ada di pinggiran kota dia....”
“Ya,” Justin membenarkan, seulas senyum manis terpeta di bibir, “bekerja dengan caranya sendiri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...