“Maling? Nadia, kamu serius?”
Barangkali Kai meragukan kesungguhanku. Otot di pelipisnya berkedut, sementara tatapannya kepadaku menajam sekan hendak mengulitiku hidup-hidup.
“Ya,” aku membenarkan, “maling. Apa kamu pikir seseorang, terutama orang sepertiku, akan bersedia bertahan untukmu, Kai? Enggak, Kai. Aku capek. Kamu boleh bersukacita karena aku nggak akan menghalangi keinginanmu bersama Kiki. Sesuai dengan keinginan mamamu.”
“Nadia, kamu salah sangka.”
“Salah sangka?”
Dulu pasti aku akan langsung percaya dengan kebohongan yang Kai tuangkan dalam gelas dan meminumnya tanpa meragukan ucapannya. Namun, sekarang aku belajar dari kebodohanku.
“Kai, kita berdua sama-sama tahu kebenarannya. Kamu butuh istri yang bisa mengimbangi ekspektasimu. Jelas itu bukan aku.”
“Kenapa kamu bicara seolah tahu yang kupikirkan? Nadia, sudah kubilang nggak seperti itu.”
“Lantas seperti apa? Apa kamu ingin aku diam saja? Menerima perlakuan Papa dan mama tiriku? Membiarkan mamamu memanduku seolah ia menginginkan calon menantu sepertiku? Maaf ya, aku nggak sanggup.”
“Kamu hanya perlu bersabar,” kata Kai.
“Kesabaran ada batasnya. Aku menyerah. Sekarang aku nggak mau belajar ekonomi, bisnis, dan apa pun yang berkaitan dengan keluargamu. Katakan kepada mamamu bahwa aku telah mundur, nggak akan menghalangi Kiki.”
Inilah yang terjadi pada mulanya. Aku menawarkan diri sebagai tunangan, tapi pihak mertuaku menolak karena menginginkan Kiki. Bukannya mundur dan sadar diri, aku justru berusaha merombak diriku agar bisa diterima keluarga Kai. Aku ingin membuktikan bahwa diriku sama baiknya dengan Kiki.
“Aku nggak ingin jadi tunanganmu,” kataku menegaskan. Seluruh tekad dan keberanian mengumpul jadi satu. Kusalurkan semua itu melalui perkataanku. “Kai, kamu nggak ada artinya bagiku selain orang asing. Sama seperti Papa. Sama seperti orang-orang yang menganggapku sampah.”
“Mengapa kamu menyerah? Dulu kamu bilang sendiri nggak akan mundur dan kalah dari Kiki.”
“Karena kamu nggak suka aku! Kamu nggak butuh aku, ‘kan? Bagimu aku cuma anak kecil yang nggak tahu apa pun. Bodoh. Sudahlah, Kai. Biarkan aku hidup damai sebagaimana keinginan mendiang Mama. Kamu nggak bisa menghalangiku berusaha mandiri. Tolong, lepaskan aku. Kita bisa berpisah secara baik-baik dan aku janji nggak akan muncul di hadapanmu lagi.”
Kai menghela napas seolah lelah mendengarkan celotehanku yang baginya sama sekali tidak berisi. “Lain kali kita bisa bicara,” katanya, “dengan lebih beradab. Di sini tidak memungkinkan.”
Cengkeraman di lenganku tidak mengendur. Itu artinya buruk.
Dengan segenap kekuatan aku pun berteriak, “Maling! Ma—”
Kai membekap mulutku, tidak membiarkanku beraksi. “Cukup, Nadia.”
Aku melotot, tidak terima.
Tendangan sakti! Hanya itu yang bisa kupikirkan saat ini! Namun, sebelum kakiku menghadiahkan tendangan maut kepada Kai ... oh sesuatu terjadi.
“Dasar kurang ajar ya kamu!”
Seseorang menghantamkan tas kepada Kai. Berkali-kali. Mau tidak mau Kai pun melepaskan cengkeramannya pada lenganku dan mulai melindungi kepala dan bahunya yang menjadi sasaran.
“Beraninya menyentuh cucuku!”
Nenek Chloe. Bagai pahlawan dalam film laga, dia menghadiahi Kai serangan bertubi-tubi. Untung bagi Kai karena lantai yang kami tempati sepi. Hanya ada dua petugas keamanan yang kemungkinan besar dibawa oleh Nenek Chloe. Mereka sigap menangkap Kai dan menjauhkannya dariku maupun Nenek Chloe.
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...