23

3.1K 552 19
                                    

Aku berhasil menyelesaikan lagu. Sebuah persembahan bagi orang-orang yang kusayangki: Mama, Nenek, Nenek Chloe, dan Justin. Ketika mengirimkan karya tersebut sebagai salah satu bagian dalam persaingan bergengsi, hatiku benar-benar lapang dan tidak menghendaki ekspektasi apa pun.

Sayangnya laguku hanya masuk sepuluh besar. Pemenang yang menduduki peringkat pertama memang pantas mendapatkan penghargaan. Dia mampu menciptakan lagu yang menyentuh jiwa. Meski begitu, aku tidak kecewa. Setidaknya aku sudah berusaha. Itulah yang terpenting.

Setidaknya laguku masih bisa dinyanyikan oleh salah satu penyanyi yang ada di Sky Entertainment. Seorang cewek, tujuh belas tahun, mungil, cantik, dan memiliki suara yang mendayu. Dialah yang menyanyikan lagu ciptaanku. Bukan hanya diriku, melainkan kesepuluh lagu—selain lagu milik pemenang—juga mendapat sorotan dari Sky Entertainment.

Lagu ciptaanku ternyata mampu bersaing dengan lagu-lagu milik komposer maupun seniman kenamaan. Selama sebulan penuh aku bisa mendengar laguku diputar di mana pun: di pusat perbelanjaan, salon, bahkan kampus.

“Nadia, kamu keren!”

“Kapan-kapan kita kolaborasi ikut lomba cipta karya, ya?”

“Oh ayolah, kamu bisa melakukan apa pun!”

“Nggak minat audisi bintang film?”

Teman-teman menyampaikan antusiasme mereka kepadaku. Padahal pencapaianku tidak seberapa, tapi perhatian yang mereka berikan mampu mencairkan kebekuan dalam diriku.

Bukan hanya mereka, melainkan Nenek Chloe dan Justin pun ikut memberiku ucapan selamat. Mereka bahkan rela meluangkan waktu sekadar mengajakku makan bersama di suatu restoran.

“Nadia, kamu harus makan yang banyak.” Nenek Chloe meletakkan tumis brokoli ke piringku. “Jangan pedulikan omongan orang mengenai bentuk tubuh. Asal tidak terlalu kurus dan obesitas, itu saja yang perlu kamu perhatikan.”

Pengunjung yang hadir di restoran rata-rata terdiri dari sekian pasang maupun satu keluarga besar. Pelayan sibuk mengirim pesanan ke setiap meja. Lagu bernuansa lembut diputar berulang kali hingga rasanya seseorang bisa melakukan tarian romantis karena iseng.

Justin sesekali menimpali komentar neneknya dengan “oh” atau “aku pikir nggak gitu” dan kemudian dia mengalah saat bersaing memperebutkan sepotong ayam berbumbu rempah. Tentu saja Nenek Chloe yang menjadi pemenang.

“Nadia, apa rencanamu setelah lulus?”

Aku meletakkan sendok dan pura-pura sok serius. “Ingin mencoba memperbaiki akun di Coconut,” kataku menjawab pertanyaan Nenek Chloe. “Dulu sempat buat, tapi nggak beres. Sekarang aku punya cukup amunisi dan sepertinya nggak masalah berusaha memulai karier sebagai seniman.”

“Nggak minat langsung jadi istri Justin?”

Pertanyaan Nenek Chloe membuat Justin terbatuk. “Nenek, nggak di sini.”

Berbeda dengan Justin yang masih bisa menguasai diri, aku justru merasa ingin lari maraton dan menutup wajahku menggunakan tas karton. Pipiku pasti langsung merona sebab rasanya panas sekali.

“Nek,” ucapku dengan susah payah karena jantung mulai protes, “Justin, kan, punya rencana ... maksudku, dia ... yaaa.”

“Kalian berdua mau sampai kapan nggak mulai saling tembak saja?” Nenek Chloe menyarankan. Dia mendorong piring ke samping seolah benda tersebut bisa mengganggu pidatonya. “Apa kalian nggak memikirkan mengenai membangun bahtera cinta?”

Ih si nenek yang satu ini benar-benar tidak tahu situasi dan kondisi!

Sekalipun aku punya perasaan kepada Justin, tapi tidak semudah itu. Justin, kan, punya kehendak. Aku tidak bisa memaksakan keinginanku kepada seseorang.

BYE, MANTAN! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang