Ada bermacam ide; nada, tema, dan lirik. Satu-satunya yang kubutuhkan hanyalah eksekusi yang benar dan sesuai. Jangan sampai sia-sia. Justin bilang bahwa lagu yang berhasil menyabet kemenangan akan dinyanyikan oleh penyanyi ternama. Tentu itu, kalau aku sukses, akan menjadi satu tangga bantuan di masa depan. Peluangku berlanglang buana dalam semesta musik barangkali sedikit terbantu oleh kemenangan.
Tentu saja terlalu ngotot menginginkan kemenangan bukanlah sikap baik. Satu-satunya yang harus kulakukan ialah, berusaha dan melakukan yang terbaik semampuku. Kalaupun nanti kalah, cukup ambil hikmahnya saja.
Ada sedikit perubahan suasana di kampus. Tepatnya, di kelas. Teman yang meminta bantuanku menjadi pemain piano saat acara ulang tahun kerabatnya ... hmm bagaimana caraku menjelaskan? Dia tampaknya merasa tidak enak hati.
“Maaf, ya?”
Begitu katanya kepadaku ketika kami sedang berdua saja di kelas. Semua anak langsung kabur, meninggalkan kelas, begitu dosen selesai menerangkan mengenai partitur. Aku curiga mereka memang berusaha memberi ruang bagi kami.
“Pokoknya aku minta maaf,” katanya sembari meletakkan sebuah kotak berhias pita mungil di meja. “Tanteku juga merasa kecewa dengan kejadian yang menimpamu waktu itu. Sumpah, Na. Aku nggak nyangka bakalan ada kejadian begitu.”
“Kamu dan tantemu nggak salah kok,” aku berusaha menenangkan. “Kadang kejadian nggak terduga memang nggak bisa ditahan datangnya.”
“Nggak deh,” dia mendebat. “Perlakuan mereka ke kamu tuh berlebihan. Tenang saja, Na. Selepas kamu pulang, Tante langsung menyemprot mereka. Cukup mengesankan kok.”
Mau tidak mau ujung bibirku pun terangkat dan menciptakan senyum. Membayangkan Kiki dan antek-anteknya mendapatkan karma secara instan? Wow. Itu pasti menarik. Jarang ada orang yang bersedia memikirkan perasaanku.
“Udah ya, Na. Aku mau ke perpustakaan.”
Setelahnya dia pergi, meninggalkanku sendirian.
Aku mengamati kotak yang terbuat dari kayu. Pita hitam berhias huruf-huruf berwarna emas, membentuk tulisan La Beauty. Aku mengurai simpul ikatan dan membuka tutup kotak. Di dalamnya terdapat kue-kue mungil yang amat cantik. Semua kue dibentuk menyerupai bunga: mawar ungu, melati musim gugur, teratai merah muda, kembang sepatu merah darah, dan marigold.
“Cantik sekali,” pujiku mengagumi setiap kue. Sayang sekali, aku tidak tega memakan semua karya seni yang pastinya dibuat oleh seseorang dengan jiwa seni. “Aku ingin menyimpannya, tapi nggak mungkin.”
Lekas kunikmati beberapa buah kue dan menyadari bahwa setiap kue memiliki cita rasa berbeda. Anehnya sama sekali tidak membuatku mual maupun bosan. Tanpa kusadari semua kue telah ludes, masuk ke perut.
“Apa begini rasanya jatuh cinta?” tanyaku kepada diri sendiri. “Senang, riang, dan selalu ingin menertawakan hal-hal mungil serta indah? Cinta yang membuatku ingin mengabadikan kue-kue seindah ini?”
Aku pun meraih buku dalam ransel dan mulai menuliskan rangkaian kata.
Sudah kuputuskan. Aku menemukan lagu dan lirik yang sesuai dengan harapanku.
“Ternyata makanan yang tepat bisa memicu kreativitas.”
Daya cipta meletup dan menyesaki otakku dengan semangat kerja.
Aku tahu! Yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
***
“Apa yang sedang kamu rencanakan, Kai?”
Firasatku memang tidak salah. Kai datang ke kampus. Kali ini dia tidak menemuiku di area parkir, tapi langsung mencariku di gedung. Sialnya dia tahu aku sedang menyepi di taman samping gedung olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...