10

3.7K 700 19
                                    

Tutor yang Justin pilihkan benar-benar sangat membantuku mengejar ketertinggalan. Mereka tidak seperti guru yang dulu Papa pekerjakan untukku. Bila aku berbuat salah ataupun tidak mengerti materi pelajaran, maka akan memandangiku dengan sorot mata yang mengandung tuduhan. Kadang mereka akan membandingkanku dengan Kiki.

“Nona Kiki bahkan bisa paham dalam beberapa kali pertemuan saja. Mengapa kamu enggak belajar dari saudarimu sih?”

Selalu begitu. Membandingkanku dengan Kiki. Rasa-rasanya aku kesulitan mengenal potensi dalam diriku karena terlalu fokus iri kepada Kiki. Sulit melihat cahaya yang ada dalam diriku ketika hatiku sendiri terkontaminasi kecemburuan dan dengki.

Akan tetapi, sekarang aku belajar menerima diriku sendiri. Baik ataupun buruk. Semuanya.

Sedikit demi sedikit aku mengejar ketertinggalan. Kupoles kemampuanku dalam bermain alat musik. Kupertajam instingku dalam permainan musik. Pokoknya aku menikmati kegiatan baruku!

Lebih baik berusaha daripada terjebak dendam.

“Sayang, ayo temani Nenek jalan-jalan.”

“Oke,” sahutku setelah selesai merapikan buku. Tinggal beberapa bulan lagi aku akan memulai kehidupan sebagai mahasiswi. Kali ini jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatku. Hahaha lupakan Kai. Dia boleh menikah bersama Kiki. Cocok sekali. Duo K. Seperti merek pakaian dalam. Aku menolak mengakui inisial mereka mirip jenis senjata api. Cih tidak perlu. Mereka tidak sekeren itu kok.

Kami, aku dan Nenek Chloe, pun berangkat menuju salah satu pusat perbelanjaan paling mentereng di Metro. Sepanjang jalan dia selalu berceloteh mengenai masa lalunya bersama nenekku.

“Jadi nama asli Nenek ialah, Claudia? Bukan Chloe?”

“Iiiih kamu ini. Sayang, namaku Claudia. Chloe itu panggilan manis dari nenekmu, Amber.”

Nenek Chloe sibuk memilih sepatu yang sepertinya tidak sesuai dipakai nenek-nenek. Bisa-bisa dia terpeleset, keseleo, dan ujung-ujungnya perlu ke rumah sakit.

“Nek, sepatunya terlalu muda.”

“Ya bukan untukku dong.” Nenek Chloe memutar bola mata. Dia sama sekali tidak peduli kepada pramuniaga yang ada di sekitarnya, menempel seperti magnet, dan siap melaksanakan permintaan Nenek. “Buat kamu, Sayang.”

“Sepatu di rumah yang Justin belikan saja nggak mungkin kupakai semua.”

“Nggak ada salahnya menghabiskan uang demi menyokong perekonomian lokal.”

“Nggak nyambung.”

“Ih ini lucu.” Nenek Chloe menunjuk sepatu merah jambu dengan hiasan kupu-kupu mungil berwarna putih. “Cari yang ukurannya sesuai dengan cucuku, ya?”

“Justin mau pakai ini?” tanyaku, tidak percaya.

“Buatmu, Sayang. Kamu, kan, cucuku.”

“Oh....”

Tiba-tiba aku ingin menangis. Baru kali ini ada orang, selain Nenek dan Mama, yang bersedia mengakuiku sebagai anggota keluarga.

“Kan sebentar lagi kamu jadi istrinya Justin,” lanjut Nenek Chloe, meletupkan balon haru dalam diriku. “Wajar dong.”

Nenek yang satu ini tidak akan menyerah sebelum aku ke pelaminan bersama Justin. Luar biasa. Dia seharusnya melamar sebagai PNS khusus pernikahan. Iiiih!

Puas dengan sejumlah belanjaan, Nenek Chloe menyuruhku masuk ke salon. Bukan salon biasa, melainkan jenis salon yang hanya orang berduit saja berani menjejakkan kaki.

“Nenek Cuantik,” sapa seorang cowok yang mengenakan pakaian serbamerah muda. Potongan rambutnya sangat modis. Dia mengenakan riasan dan sesekali mengedip centil kepadaku. “Butuh bantuan?”

BYE, MANTAN! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang