Aku mengikuti saran Justin. Fokus ke masa depan, bukan yang lain. Belajar mengasah kemampuan, mulai mematangkan perihal pemahamanku perkara teori dan alat musik, dan siap menyambut perkuliahan. Prosesnya cukup menyita seluruh perhatian dan tenaga. Namun, hasilnya tidak mengecewakan. Masuk ke kampus impian, membaur dengan mahasiswa, dan menikmati setiap harinya dengan penuh sukacita.
Dulu ketika aku terdaftar sebagai mahasiswi jurusan lain, penalaranku tidak bagus. Aku kesulitan memahami materi, selalu tertinggal di belakang, dan hanya menjadi beban. Nilaiku mengerikan. B minus. C. Papa barangkali tidak mengharapkan apa pun dariku. Mama tiriku lebih parah daripada Papa. Dia akan berkata, “Apa kamu nggak malu? Kiki bisa dapat A sementara kamu? Apa kata orang luar nanti? Putri keluarga Flinn ternyata otak udang!”
Otak udang. Iya sih tidak salah. Bagaimana bisa aku sanggup bertahan demi cinta palsu? Kurelakan harga diri, perasaan, dan kebahagiaanku supaya Kai bersedia memujiku. Tolol!
Sekarang aku bisa menikmati identitas baruku. Seorang mahasiswi jurusan seni musik. Tidak ada satu orang pun di sana, di kampus, yang mengenaliku sebagai peniru Kiki. Aku hanyalah Nadia. Orang biasa. Pelajar!
Sekitar enam bulan kunikmati pembelajaran di kampus. Kadang aku mencoba mengikuti satu dua kegiatan dari kampus. Benar-benar menyenangkan. Lantas suatu hari ada audisi pemain piano. Audisi itu untuk menentukan pemain piano yang akan menyambut kehadiran tamu penting. Tentu saja aku ingin meraih kesempatan emas tersebut.
Jangan sampai terlewat!
Aku pun bertarung melawan sejumlah kandidat. Mati-matian mengeluarkan seluruh amunisi. Hingga akhirnya akulah yang keluar sebagai pemenang! Yeiy!
Tepat di hari H, kampusku pun telah siap menyambut sejumlah tamu. Konon kata salah satu kakak tingkat, acara semacam ini bisa dijadikan sebagai batu loncatan agar “orang penting” tertarik dengan mahasiswa berbakat. Tidak jarang mereka, orang penting, menawarkan kontrak maupun bantuan kepada mahasiswa yang berhasil menarik perhatian.
Tentu saja bukan hanya aku seorang yang akan tampil sebagai penghibur. Kampus kami akan menjamu undangan dengan sejumlah pelajar berbakat. Itulah yang kuincar: kesempatan!
Gedung graha pun disulap oleh tangan berbakat. Panggung, kursi, penerangan, hidangan, dan yang lainnya telah siap. Tidak kalah dengan acara gala yang disiarkan televisi. Aku berada di belakang panggung, siap mendengar pembawa acara memanggil namaku.
Demi malam ini aku sengaja memakai gaun khusus. Gaun sepanjang lutut. Bagian atas memamerkan bahu dan lengan. Kainnya bernuansa biru laut dengan hiasan mutiara mungil di bagian rok. Ada mawar putih yang disematkan tepat di bagian dada. Bahan yang digunakan amat ringan dan lembut. Tidak membuatku gerah maupun gatal.
Lalu, rambut! Rambutku dikepang menyamping dan diikat menggunakan pita sutra berwarna putih. Ada hiasan mawar-mawar mungil yang disematkan di kepangan. Riasanku pun tidak terlalu “berani”. Hihihi aku ingin orang melihatku dengan kesan lembut alih-alih ganas.
Sepatu! Oh itu bagian yang paling kusukai. Nenek Chloe membelikanku sepasang sepatu kaca! Kukira sepatu semacam itu hanya ada dalam dongeng belaka. Ternyata sekarang aku bisa mengenakan sepatu tersebut.
“Tenanglah,” kata salah satu cewek yang bertugas sebagai seksi menyemangati-orang-lain, “kamu pasti bisa.”
“Terima kasih,” balasku sembari tersenyum.
Tidak lama kemudian pembawa acara memanggil namaku.
Dengan semangat dan kepercayaan diri yang melejit bagai roket, aku pun muncul di panggung. Lampu menyorot diriku, membuatku tampak sebagai yang utama. Hanya pencahayaan di panggung saja yang terang, sementara di sekitarnya redup. Aku tidak bisa melihat siapa pun yang duduk di sekitar meja karena fokus ke piano saja.
Jantung berdegup. Aliran darahku berdesir. Aku melangkah mendekati piano. Langsung duduk di bangku dan setelah beberapa detik, barulah kumulai permainan.
Denting pertama mengalun lembut. Jemariku menari di atas tuts dengan lincah. Kubayangkan mengenai laut malam. Langit dihiasi bintang gemilang. Judul lagu yang kumainkan kali ini ialah, Nyanyian Laut. Bercerita mengenai seorang putri duyung yang jatuh hati kepada nelayan miskin. Mereka berdua pada akhirnya tidak bisa bersatu. Keduanya mati dan berubah menjadi bintang.
Cerita tragis. Namun, justru lagu inilah yang menolongku memenangkan pertempuran.
Permainanku pun selesai. Tepuk tangan terdengar bergemuruh. Satu-satunya yang bisa kulihat dengan jelas hanyalah tampilan diriku di layar. Aku hanya mampu tersenyum dan ... yaaa sepertinya aku harus pergi, ‘kan? Iya, ‘kan?
Akan tetapi, si pembawa acara—cowok dan cewek yang kemungkinan besar seniorku—memintaku bertahan di tempat. Mereka mengenakan pakaian bernuansa hitam dan putih. Si cewek mengenakan gaun putih berhias anggrek hitam, sementara si cowok memakai setelan keren.
“Nadia, tadi itu fantastis sekali,” puji si cewek. “Aku sampai meneteskan air mata.”
Aha ... ha. Apa yang harus kukatakan? Senyum manis saja deh.
“Boleh tahu kamu, ehem,” si cowok sepertinya pura-pura batuk, “nomor telepon?”
“Hei,” si cewek mengintrupsi, “kita nggak boleh tanya-tanya informasi. Oh omong-omong, malam ini kamu memainkan salah satu lagu yang jarang dimainkan orang. Apa kamu tahu makna lain dari lagu tersebut?”
Si cowok menyodorkan mic kepadaku. “Kupikir mengenai pemaknaan tergantung pada masing-masing individu,” jawabku, lembut. “Antara satu orang dan yang lain tidak sama. Nyanyian Laut pada awalnya diciptakan oleh sang komposer demi mengenang mendiang istrinya. Jadi, kalaupun aku diminta memberi pendapat mengenai Nyanyian Laut ... surat cinta. Menurutku Nyanyian Laut lebih seperti surat cinta sang komposer kepada istrinya.”
“Itu dalam sekali, Nadia,” sahut si cowok. “Caramu menerjemahkan makna dalam Nyanyian Laut.”
“Surat cinta,” kata si cewek. “Sepertinya malam ini aku akan mulai memikirkan mengenai pasanganku.”
Setelahnya aku diperbolehkan kembali ke belakang panggung.
“Nadia, kamu keren banget!”
“Ih aku nggak nyangka kamu punya bakat diplomasi semacam itu.”
“Lain kali ajari aku cara memainkan Nyanyian Laut versi gitar.”
“Nadia, ayo tukaran nomor telepon!”
Mendadak aku mendapat serangan dari orang-orang. Sekalipun aku berusaha membiasakan diri dengan kondisi ini ... oh tetap saja sesuatu dalam diriku merasa malu! Pada akhirnya aku hanya bisa memberi respons berupa “ha” dan “huh” kepada mereka. Kicauan mereka makin menjadi dan hanya ketika aku bilang harus pulang karena jam malam, barulah mereka membiarkanku melesat pergi.
Huhuhu aku malu! Baru kali ini ada yang memujiku dengan semangat semacam itu. Biasanya hal itu, pujian mewah, hanya menimpa Kiki. Hanya dia, bukan aku.
“Konyol, Nadia,” kataku kepada diri sendiri begitu berada di luar graha. “Nggak boleh merendahkan diri sendiri.”
Aku bukan keong! Tidak perlu menyembunyikan diri di hadapan dunia.
Sayapku semakin kuat. Sekalipun harus melewati gunung dan menyeberangi lautan, aku yakin mampu menghadapi tantangan.
Aku bukan Nadia si cewek tanpa harapan.
Harapan ada di tanganku.
***
Selesai ditulis pada 11 Oktober 2023.***
Malam ini cuacanya panas. :”) Ingin segera hujan. Yang tinggal di daerah dekat pantai apa cuacanya juga puaaaanaaaas?Jangan lupa jaga kesehatan. Oke?
Salam cinta dan kasih sayang.
LOVE.
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...