6

3.7K 718 28
                                    

Kacau!

Perutku rasanya teraduk-aduk. Padahal semua makanan yang kutelan sewaktu sarapan pasti sudah kumuntahkan, tapi sensasi mual bercampur perih masih saja mengganggu. Tubuhku gemetar, suhu tubuhku seakan mendingin seiring keringat yang bermunculan, dan kedua kaki tidak mampu menopang beban tubuh.

Seperti inilah diriku kini! Terduduk lemas di sofa, membiarkan Nenek Chloe mengoleskan minyak ke perutku, dan kuharap seseorang bersedia menggalikan lubang untukku melarikan diri dari rasa malu!

“Sayang, sudah berapa hari kamu seperti ini?”

Aku tidak sempat menjawab ketika Nenek Chloe yang mulai merepet berkata, “Apa kamu merasa mual di pagi hari? Kapan terakhir kali kamu kedatangan tamu bulanan?”

“Nek, aku nggak hamil!” aku pun memekik. Tenaga yang kupikir lenyap karena muntah pun mendadak kembali. “Sumpah! Aku nggak hamil!”

“Tenanglah, Nenek akan selalu bersamamu.” Ucapan Nenek Chloe semakin meningkatkan kadar emosi dalam darahku! “Apa kamu sudah mengunjungi dokter kandungan? Tenang saja, tawaranku mengenai cucuku masih berlaku. Dia pasti nggak keberatan menerima anakmu, sekalipun dari cowok lain, asal aku yang bilang.”

Denyut di kepalaku makin menjadi. Pasti seperti palu yang menghantam batok kepalaku dengan kekuatan penuh.

“Nek,” kataku sembari memijat pelipis, “aku nggak hamil. Lagi pula, ngapain sih cucu Nenek harus tanggung jawab? Nenek, aku nggak hamil! Pakai tes kehamilan pun hasilnya akan negatif! Sumpah! Sumpah! SUMPAH!”

Nenek Chloe mengelus pelan dadanya seolah jantungnya butuh sumbangan kehangatan melalui sentuhan. “Oke. Sedikit kecewa, tapi nggak apa-apa.”

Nenek, nenekku yang asli, dulu pasti sangat pengertian hingga mampu menoleransi ketidakjelasan dalam diri Nenek Chloe!

“Coba kuambilkan segelas teh hangat,” katanya dengan nada ceria, kemudian melenggang menuju dapur. Dia kembali beberapa menit membawa secangkir teh. “Minum, Sayang.”

Kali ini kuturuti saran Nenek Chloe. Seteguk minuman hangat sedikit melegakan tenggorokkanku. Rasa asam yang tadinya memenuhi mulut pun perlahan memudar dan membuatku sedikit lebih baik.

“Nek, aku nggak hamil,” kataku sembari meletakkan cangkir di meja. “Ya, aku kabur dari rumah. Namun, bukan karena hamil di luar nikah! Nek, tolong dengarkan penjelasanku!”

“Tenang, Nenek paham.”

Aku harus mengurai benang kusut kesalahpahaman yang telanjur ada di kepala Nenek Chloe. Dia pasti membayangkan drama romansa mengenai cewek hamil di luar nikah yang kabur dari keluarganya. Sialan! Ingin rasanya kucuci otak Nenek Chloe dan membersihkannya sampai kinclong!

“Nek, aku memang kabur dari rumah,” ujarku menjelaskan. “Alasannya bukan karena hamil, melainkan ... i-itu karena aku nggak mau berhubungan dengan keluarga Papa. Aku ingin putus dari ikatan apa pun yang dulu mengaitkanku dengan Papa.”

“Apa kamu serius, Nak?”

Aku mengangguk. “Nggak ada cara lain. Bila aku ngotot bertahan di sana, di rumah Papa, pasti ujung-ujungnya nggak baik. Di sana ada Tante, mama tiriku, dan Kiki, putri Tante dengan Papa. Nggak masalah sekalipun hidupku nggak seenak bersama Papa. Di sini jauh lebih baik.”

Nenek Chloe manggut-manggut. “Kamu putus kuliah atau keluar dari pekerjaanmu?”

“Aku belum pernah bekerja di tempat mana pun, Nek,” aku mengakui. “Kuliah pun terpaksa kuputuskan karena nggak mungkin bisa bertahan di kampus sih. Lagi pula, kemampuanku di bawah standar.”

Seulas senyum mengembang di bibir Nenek Chloe. Dia mengulurkan tangan, membelai kepalaku. “Nggak ada manusia di dunia ini yang nggak punya bakat, Nak. Pasti punya. Membuat orang jengkel dan menderita pun termasuk bakat. Bakat yang menjijikkan sih. Nadia, oh kamu jangan kaget gitu dong mendengar Nenek tahu namamu. Kan sudah Nenek bilang kalau aku dan nenekmu itu sahabat karib. Sangat lengket dan akrab.”

Mulutku terkunci rapat.

“Nadia,” katanya melanjutkan, “mungkin Nenek bisa menolong. Apa nggak sayang dengan bakatmu? Maksud Nenek bakatmu dalam bermusik. Nenek nggak keberatan memasukkanmu ke kampus seni. Pegang kata-kata Nenek dan jangan ragu menerima bantuanku. Dulu nenekmu pun yang selalu menolongku di saat muda. Sekarang giliran aku yang menolongmu, cucunya.”

“Nek....”

“Jangan ada tapi,” katanya memberi larangan. Sekarang dia tidak lagi membelai kepalaku. “Kamu bisa melanjutkan proyek di Coconut. Gampang. Nenek bisa menolongmu mengurus—oh iya juga. Masuk posisi teratas pencarian di Coconut pun mudah. Sepele!”

Mengapa rasanya aku seolah melihat tanduk, ekor, dan sepasang sayap pada diri Nenek Chloe? Tinggal tambahkan latar belakang musik jeng-jeng-jeng!

“Sayang, dengarkan,” ucapnya dengan nada lembut. “Kamu butuh mengasah bakat. Di sini ada kampus seni yang nggak kalah bagus daripada kampus di Kota Metro. Kamu masih muda. Sembilan belas tahun, ‘kan? Usia yang masih sangat muda untuk meraih ilmu. Kalau kamu memang mewarisi kecerdikan Amber, pasti kamu kabur keluar dari sana nggak dengan tangan kosong, ‘kan? Apa kamu bawa surat-surat penting?”

“Iya, Nek. Aku amankan ijazah dan akta kelahiranku. Mama nggak pernah ngizinin surat-suratku disimpan Papa.”

“Mamamu, kali ini, cerdas,” pujinya dengan nada bangga. “Nadia, urusan daftar dan kuliah, serahkan ke nenekmu ini. Kamu berhak memutus pertalian dengan mereka. Aku setuju! Jangan merasa rendah diri dan ... oh astaga! Sayangku, kamu punya uang buat makan? Lebih baik kamu pindah ke sini saja!”

“Ta-tapi, rumahku ... eh.”

“Kamu sewakan saja ke orang lain,” dia menyarankan. “Uangnya bisa kamu simpan! Nenekmu nggak mungkin sanggup melihatmu di sana sendirian seperti penyihir jahat. Pindah ke sini. Hehe nanti kalau cucuku mampir, kan, sekalian aku kenalkan.”

Sudah kuduga! Ada udang di balik batu!

“Nek!”

“Aduh, aduh, aduh! Kamu nggak perlu sungkan. Besok kamu pindah ke rumah Nenek. Masalah penyewa rumah? Nenek akan mengurusnya. Nenek pastikan penyewanya orang sehat secara jasmani dan rohani.”

Aku kehilangan tenaga berdebat! Dia punya agenda dan sepertinya tidak akan menyerah walau ada badai dan gempa sekalipun!

“Nadia,” panggilnya dengan lembut, “Nenek berharap kamu kuliah. Belajar dan pengalaman itu penting. Keduanya akan membantumu menghadapi dunia. Tameng dan senjata. Masalah keluargamu....” Sejenak dia menghela napas dan mengembuskannya secara perlahan. “Nenek asumsikan kamu sudah membuang nomor kontak dan menghapus email maupun akun media sosialmu, sebab Amber pasti begitu.”

“Ya,” aku membenarkan.

“Bagus. Kamu nggak salah. Sekarang Nenek tanya, apa salah satu dari mereka ada yang menengokmu ke sini? Mamamu pasti telah memberitahukan alamat ibunya kepada papamu. Dulu sekali dia, kan, budak cinta yang bahkan nggak bisa membedakan kepentingan pribadi dan keselamatan dirinya sendiri.”

Mamaku memang begitu. “Nggak, Nek. Sampai sekarang Papa belum datang ke sini.”

Aku yakin dia tidak akan kemari. Papaku selalu menomorsatukan Kiki. Ekspektasi? Lupakan saja. Ekspektasi hanya akan membunuhku secara perlahan.

“Kamu nggak perlu memikirkan biaya kuliah dan akomodasi,” Nenek Chloe meyakinkan. “Sekarang kamu fokus ke belajar dan menguatkan sayapmu! Sebentar lagi tahun ajaran baru dan kampus akan menerima pendaftaran pelajar. Tertarik memulai langkah baru?”

Insting dalam diriku menyarankan agar aku mengikuti keinginan Nenek Chloe.

Itulah yang kulakukan.

Menguatkan sayapku agar bisa mengarungi dunia.

***
Selesai ditulis pada 30 September 2023.

***
Halo, teman-teman.

:”) Maaf tokoh yang lain belum muncul. Saya kuatkan Nadia dulu. Pengin nengok calon suami uhuk, uhuk, uhuuuuuk, Nadia, yaaaaaaaa?

(0_0) Hmmm gimana, ya? Hmmmm. Hmmmmm.

Jangan lupa jaga kesehatan! Yang suka minum kopi, hayoooooooo jangan lupa makan! Makan! Pokoknya makan agar perutmu nggak sakit ya, teman-teman.

Salam cinta dan kasiiiiiih sayaaaaang!

LOVEEEEEE!

BYE, MANTAN! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang