26

3K 565 17
                                    

“Aku nggak mau,” tegasku menolak tudingan yang diarahkan kepadaku oleh Kiki. “Pulang? Apa di sana pernah jadi ‘rumah’ buatku, hah? Kamu mikir dong, Ki!”

Seharusnya aku bisa mengendalikan kemarahan yang membara dalam dada. Sikap agresif hanya akan membuat Kiki berada di atas awan, sementara aku terjerembap di tanah kasar. Namun, bara api dalam hatiku terlalu panas, bergejolak dan menuntut keadilan yang selama ini tidak kudapatkan baik dari orangtua maupun orang-orang di sekitarku.

“Di sana bukan rumah,” kataku dengan nada gemetar. Kupeluk piala, merapat ke dada, dan tanpa bisa kutahan air mata berjatuhan. “Nggak ada tempat bagiku. Kamu ingin aku mengemis perhatian Papa supaya puas, begitu?”

“Kamu salah sangka, Nadia,” Kiki menolak. Dia berusaha terlihat lemah, menyenderkan tubuh kepada Kai.

Anehnya, Kai menolak. Dia langsung menyingkirkan belitan tangan Kiki. Sikap tersebut, penolakan Kai, membuat Kiki membeku. Kiki biasanya bisa mengendalikan ekspresi, tapi kali ini semua yang biasanya tersembunyi di balik paras cantik miliknya langsung tampak.

“Nadia, ayo pulang.” Justin membimbingku menjauh dari mereka. Aku bahkan mengabaikan teriakan Kai yang berkata, “Empat tahun, Nadia. Selama itulah waktu yang kuberikan kepadamu agar bisa mengejar mimpimu. Sekarang saatnya kamu menghadapi kenyataan. Nadia, tolong.”

Ternyata Kai pantang menyerah. Dia berderap mengekor di belakang kami.

Justin berhenti melangkah, menyokongku dengan tangannya, dan berbalik menghadapi Kai.

Kulihat Kiki duduk di kursi, lemas, dan sepertinya semua hal yang ia sangka ada di pangkuannya ternyata palsu belaka. Baru kali ini aku menyaksikan hal semacam ini: kekalahan di wajah Kiki.

“Jangan sentuh Nadia,” Justin memperingatkan. “Apa kamu nggak pernah diajari tata krama mengenai menjaga diri di hadapan publik?”

“Nadia,” Kai memohon, “aku tahu semua yang menimpamu. Sekarang aku sadar. Tolong kembalilah.”

Aku menolak menatap Kai. “Justin, ayo pergi.”

Sesuai keinginanku, Justin membawaku menjauh dari setan-setan keji. Hanya dia yang bisa kupercayai. Hanya dia seorang yang sanggup menolongku keluar dari kolam lumpur.

Bila bersama Justin, aku tidak takut menghadapi apa pun. Masa depan tidak terlalu menyeramkan, asalkan ada Justin. Selapis demi selapis rasa takut pun mengelupas dari cangkang mimpiku. Dulu aku sedikit ragu menerima pinangan Justin, tetapi sekarang....

Aku tidak takut menerima pernikahan tersebut.

***

Justin tidak langsung mengajakku pulang. Dia mengarahkan sopir agar membawa kami ke La Beauty. Di sana dia memesan segelas minuman manis dan kue-kue mungil berbentuk karakter lucu. “Gula akan membantumu menetralkan hal pahit, Nadia,” begitu katanya kepadaku.

La Beauty ramai oleh pengunjung. Justin sengaja memesan tempat di lantai dua, yang dipenuhi dengan barisan buku dalam rak, dan suasana di sana pun jauh lebih lengang dan damai daripada di lantai bawah.

“Terima kasih,” kataku, tulus.

“Aku akan menerima ucapan terima kasihmu setelah kamu makan, ya.”

Kuputuskan menikmati sebuah kue berbentuk jamur bertotol-totol biru. Rasanya seperti buah, tapi jauh lebih segar ketika masuk ke mulut.

Benar kata Justin, sedikit demi sedikit perasaanku mulai membaik.

“Justin, bagaimana kalau kita lekas menikah saja?”

Saat mengucapkan permintaan tersebut, menikah, aku memberanikan diri menatap langsung ke mata Justin. Kuharap dengan begitu dia bisa melihat kesungguhanku. Aku ingin dia menangkap keseriusanku. Sama seperti caranya memperlakukanku.

BYE, MANTAN! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang