“O-oke. A-aku mau kembali ke ka-kamar.”
Jangan tanya kelanjutan ucapanku. Aku langsung kabur secepat kilat, atau begitulah yang kupikirkan mengenai berlari pontang-panting tidak keruan. Persis maling.
“Fiuuuuh,” ucapku setelah berhasil kembali ke kamar.
Aku bersender di pintu, perlahan duduk seakan kedua kakiku kehilangan kemampuan mempertahankan bobot tubuh, dan mendadak deguban jantung terasa makin menggila saja.
“Kacau!” Kusentuh dada, memastikan debaran jantung dengan jemari.
Baru kali ini aku merasa sangat pening dan berantakan di hadapan cowok. Cowok? Apa aku amat sinting hingga tidak bisa menahan diri di hadapan cowok cakep? Mungkinkah ledakan hormon memengaruhi kewarasan? Jangan-jangan sesungguhnya aku tipe cewek gampangan? Duh apakah pengalaman ditolak Kai tidak cukup mengajariku bahwa cinta bisa menjerumuskanku pada masalah?
Oke. Okeeeee. Setop pikiran negatif karena itu tidak berguna.
Perlahan-lahan kuhela napas, kemudian kuembuskan melalui mulut seolah semua energi jahat bisa keluar bersama udara.
Justin bukan Kai! Itulah yang harus kutanamkan dalam-dalam dalam hati. Dia bukan Kai! Mereka berdua beda.
Kai tidak pernah satu kali pun bersedia memberiku senyum maupun basa-basi. Bahkan setelah kami tinggal sekamar pun dia tidak pernah mau menyentuhku. Bukan berarti aku tidak mau berusaha memperbaiki jarak di antara kami, melainkan usahaku tidak pernah berbuah manis.
Justin? Dia tidak bisa disamakan dengan Kai! Lihat saja malam ini. Aku bersikap konyol, gelagapan, dan jelas aneh. Namun, dia hanya tersenyum dan berkata ... oh bilang senang aku mau tinggal di sini, ‘kan?
Perlahan-lahan tunas pengharapan mulai tumbuh dalam diriku. Aku ingin berani meyakini omongan Nenek Chloe mengenai kebahagiaan. Namun, memikirkannya saja cukup membuatku gemetar. Aku takut bila terlalu mencintai mereka berdua, Nenek Chloe dan Justin, lantas berharap mereka akan balas menyayangiku ... aku takut hal buruk akan tiba. Seperti ekspektasi yang tidak terjadi.
“Cukup, Nadia,” kataku kepada diriku sendiri, “berhenti bersikap bodoh.”
Sayangnya hatiku masih saja mendambakan perhatian dari Nenek Chloe dan Justin. Suara hatiku berkata bahwa mereka tidak akan mengkhianatiku. Mereka tidak akan pernah menyakitiku.
***
Mati aku!
Aku baru tahu Justin hari ini ikut sarapan.
Apabila tampilan Justin pada malam itu sukses membuatku terserang kebodohan, maka pagi ini diriku kembali mati kutu. Tidak berkutik.
“Nadia, Sayangku,” panggil Nenek Chloe dengan nada suara yang terlalu riang, “kenapa kamu diam saja? Padahal Nenek sengaja mengatur kursinya agar kalian berdua bisa berdekatan.”
Sudah kuduga! Nenek yang satu ini terlibat dalam siasat licik. Bisa-bisanya dia duduk di seberang meja, menikmati sarapan dengan santai, sementara aku bingung mau makan atau menangis.
Aku tidak membual mengenai penampilan Justin! Saat mataku bisa melihat secara utuh dan sempurna tanpa gangguan—astaga, astaga, astaga, astagaaaaaaa! Justin tidak sama dengan cowok mana pun. Dia terlihat tidak nyata! Maksudku, auranya membuaku tercekik! Ada pepatah mengenai pesona bisa menjadi senjata mematikan dan aku sekarat karena Justin!
‘Dulu aku tidak seperti ini deh saat ketemu Kai,’ aku mengeluh dalam hati.
Aneh! Diriku mulai aneh!
“Nadia, sebelum masuk ke kampus,” Justin membuka pembicaraan. Tidak sepertiku, dia amat santai dan tidak butuh pertolongan siapa pun. “Apa kamu tertarik ikut les? Aku bisa mengundang gurunya ke sini. Kamu nggak perlu keluar rumah. fokus saja ke mengasah kemampuan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE, MANTAN! (TAMAT)
RomanceSuamiku tidak mencintaiku, saudari seayah beda ibuku ternyata seekor ular beracun, dan hidupku tidak baik-baik saja. Bahkan suami antagonis dalam sinetron murahan pun jauh lebih baik daripada suamiku yang membuatku sakit, sekarat, lalu mati. Benar-b...