Alga duduk gelisah. Sejak tadi tak bisa tenang memikirkan Nayla. Memikirkan apa yang sedang Nayla lakukan bersama Baim. Apakah Nayla merasa tidak nyaman bersama pria itu atau justru sebaliknya. Alga mendesah, benar-benar resah, gelisah, khawatir juga memikirkan ketakutannya. Alga bahkan berulang kali memperhatikan ponselnya. Kemungkinan ada pesan Nayla nantinya.
"Kenapa, sih, Al?"
Alga tersentak, spontan menoleh ke arah sumber suara, di mana sang ibu bicara.
"Ibu perhatiin dari tadi kamu melamun ... setelahnya mendesah. Lagi mikirin apa?" tanya Ibu Alga kembali.
Alga tidak langsung menjawab, memikirkan terlebih dahulu.
"Oh, cuma mikirin kerjaan, Bu," jawab Alga beralasan.
Ibu Alga mengangguk, lalu menyahut. "Bukan karena lagi mikirin perempuan, kan?" tanyanya menebak dengan benar.
Alga terdiam — terkejut dengan pertanyaan ibunya. Entah sejak kapan ibunya itu menjadi cenayang, hingga mampu mengetahui apa yang menjadi kegelisahan Alga. Belum sempat Alga menjawab, sang ibu sudah melanjutkan.
"Bukan apa-apa ... nggak biasanya kamu kayak gini mau sesibuk apa pun pekerjaan yang kamu dapatkan. Jadi, Ibu sedikit merasa aneh."
Alga diam saja, berpikir sejenak lalu menatap sang ibu. Bagaimana jika ia memberitahukan kepada sang ibu tentang hubungannya dengan Nayla? Ya, Alga tau jika mereka baru saja menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika Alga bercerita sedikit bukan? Toh, ia tidak menceritakan hal itu kepada orang lain.
"Bu," lirih Alga pelan, menatap sang ibu yang saat ini juga balas menatapnya, "gimana pendapat Ibu tentang Nayla?" tanyanya lalu menghela nafas seketika. Sepertinya Alga tidak benar-benar mampu berterus terang. Bukan karena takut ibunya itu tidak setuju. Melainkan Alga harus memastikan Nayla sudah benar-benar menerima dirinya. Bukan karena keterpaksaan, melainkan mutlak keinginannya sendiri.
"Nayla?" tanya ibu Alga, "anaknya Tante Midar?" ibu Alga memperjelas.
Alga mengangguk mengiyakan.
"Kamu suka dia?" sang ibu justru balik bertanya, tapi bukannya menjawab, Alga memutuskan diam saja hingga sang ibu akhirnya memberikan jawaban. "Nayla ... menurut Ibu dia gadis yang baik, sopan, dan pastinya cantik." Ibu Alga kembali menatap putranya dan kembali memastikan. "Kamu beneran suka Nayla?"
Alga menghela nafas. Bukannya memberikan jawaban, tapi justru memprotes ibunya.
"Alga nanya pendapat Ibu tentang Nayla. Kenapa Ibu tiba-tiba jadi wartawan," keluhnya.
"Karena kamu aneh," jawab sang ibu langsung tanpa basa-basi, "biasanya kamu selalu menghindar setiap kali Ibu bicara tentang perempuan, tapi hari ini kamu justru minta pendapat Ibu tentang perempuan."
Alga diam tampak berpikir. Apakah ia benar seperti itu?
"Jadi, gimana pendapat Ibu tentang Nayla?" tanya Alga kembali mendesak jawaban dari sang ibu.
"Bukannya Ibu udah jawab?" Sang ibu justru balik bertanya, mengingatkan Alga juga jika ia sudah berikan jawabannya.
"Cuma itu?" tanya Alga tak yakin — berharap lebih.
Sang ibu mendesah. "Kamu mau Ibu jawab apa lagi?"
Alga diam, menghela nafas pelan. Jawaban yang diberikan sang ibu mungkin sudah cukup bagi perempuan itu, tapi lain halnya dengan Alga. Jawaban yang diberikan sang ibu justru membuat ia berharap akan ada jawaban-jawaban lain.
"Ibu dengar Nayla batalin pertunangannya dengan Damas," sang ibu kembali bersuara setelah kedua diam untuk beberapa saat, "itu bener?" tanyanya.
Alga tidak menjawab, menatap sang ibu dalam diam.
"Pastiin Nayla udah selesai dengan masa lalunya kalau kamu memang mau berhubungan dengannya," lanjut sang ibu. Lagi-lagi Alga hanya diam — mendengarkan. "Mereka udah pacaran lama, kan?" tanya sang ibu lagi. Alga tetap diam. "Jangan berhubungan dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya kalau kamu nggak mau sakit."
Alga hanya diam, entah memikirkan apa.
"Ibu bukannya melarang kamu suka sama Nayla. Ibu cuma nggak mau kamu jadi pelampiasan rasa sakitnya ... sampai saat ini kita nggak tau hubungan Nayla dengan laki-laki itu kayak apa. Belum ada kepastian, kan, sampai sekarang."
"Nayla udah nggak sama Damas, Bu," sahut Alga setelah lama diam mendengarkan ocehan sang ibu. "Nayla juga udah lupa sama Damas."
"Kamu tau dari mana?" tanya sang ibu yang justru membuat Alga terdiam, "kamu denger Nayla ngomong begitu?" tanyanya memastikan, sesaat setelah tersenyum. "Kita nggak tau isi hati seseorang itu kayak apa, Al ... bahkan, Ibu nggak tau isi hati kamu itu kayak apa, dan apa yang kamu pikirin walau pun kamu anak Ibu."
Alga diam, membenarkan perkataan sang ibu, tapi tetap saja ia merasa tidak senang mendengar ibunya itu mencurigai Nayla.
"Tapi, Bu—"
"Ibu nggak melarang kamu," sela sang ibu tak memberikan kesempatan Alga bicara, "jangan pikir Ibu ngomong begini karena Ibu nggak suka Nayla. Jangan pernah berpikir kayak gitu, Al. Ibu sayang kamu. Apa pun keputusan kamu, Ibu akan selalu mendukung. Ibu cuma ngasih sedikit nasehat agar kamu lebih hati-hati ... sebagai orang tua, Ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu, untuk kehidupan kamu."
"Alga, paham, Bu," sahut Alga singkat saja.
Sang ibu menghela nafas menatap Alga. "Kapan kalian siap?" tanyanya. Alga berkerut kening, tak mengerti sama sekali. "Ibu tau kalau selama ini suka sama Nayla. Ibu juga tau kalau selama ini kalian dekat."
Alga terdiam tak bisa berkata-kata.
"Jadi, kalian belum pacaran?" tanya sang ibu begitu mendapati ekspresi kebingungan Alga, lalu ia menghela nafas kemudian. "Kalau udah berhasil, kasih tau Ibu, ya. Dengan senang hati Ibu bakalan melamar Nayla untuk kamu ... tapi, pastinya setelah Nayla selesai dengan masa lalunya." Ibu Alga kembali mengingatkan.
Alga hanya diam, menatap sang ibu yang kembali dengan kegiatannya, lalu melamun. Nayla mau mencoba menjalin hubungan dengan Alga, tapi ia sama sekali tidak benar-benar yakin jika Nayla sudah selesai dengan masa lalunya mengingat baru kemarin Alga menemani perempuan itu ke dermaga, tempat terakhir kali Nayla mengantar kepergian kekasihnya. Akan tetapi, bukankah selama ini Nayla berusaha untuk melupakan Damas? Lantas, apa lagi yang Alga khawatirkan?
Alga menghela nafas. Benar kata sang ibu, menjalin hubungan dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya sangat menyakitkan. Sangat tidak mudah untuk Alga bertahan. Namun, bukankah selama ini Alga telah berjuang? Lantas, setelah Nayla ingin mencoba, Alga ingin melepaskan? Alga menggeleng perlahan. Sudah lebih dari lima tahun Alga menyimpan perasaannya dalam diam. Hanya karena masa lalu yang ingin Nayla lupakan, Alga akan menyerah. Alga mendesah — tersenyum miring — tampak menyepelekan. Jika Nayla berjuang untuk melupakan Damas. Alga juga akan melakukan hal yang sama, berusaha membuat Nayla hanya mengingatnya saja.
Alga tersentak, tersadar dari lamunan saat mendengar ponselnya berdenting tanda pesan masuk. Alga meraih ponsel yang sejak tadi berada di atas meja, tersenyum saat mendapati nama Nayla — perempuan yang sejak tadi membuatnya gelisah.
"Aku udah sampai rumah, Mas. Ini mau mandi. Ketrin ajakin aku makan malam di luar. Mas, mau ikut nggak?"
Alga tersenyum begitu selesai membaca pesan bagian akhir. Sebelumnya Alga berpikir jika ia tidak akan bertemu Nayla hari ini. Tanpa basa-basi Alga langsung mengetikan balasan.
"Dengan senang hati."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA PENANTIAN.
RandomNayla Amira, gadis berusia 27 tahun. Tiga tahun hidupnya, ia habiskan hanya untuk menantikan kepulangan sang kekasih. Sampai ia tidak menyadari telah tenggelam dalam sebuah harapan dan mengabaikan kehidupannya. __________ Alga Wijaya, pria berusia...